Pengantar Redaksi :
Menyambut bulan Jumadil Akhir yang merupakan bulan kelahiran wanita paling mulia - tepatnya 20 Jumadil Akhir - Sayyidah Fathimah Az-Zahra, redaksi menurunkan dua tulisan utama tentangnya. Tulisan pertama merupakan makalah yang disampaikan pada Seminar Sehari Kajian dan Refleksi atas Kehidupan Fathimah Az-Zahra sebagai Model Intelektual Muslimah pada tanggal 21 November 1996 di Bandung. Tulisan kedua disarikan dari buku Misteri Kehidupan Fathimah Az-Zahra terbitan Mizan, Bandung. Mudah-mudahan keduanya bermanfaat bagi pembaca. []
Az-Zahra : Tuntunan dan Panutan Muslimah
Mariatul Fadhilah*

Dan Muhammad tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan. (QS An-Najm : 4).

20 Jumadil Akhir 6 tahun kenabian Rasulullah, Allah memberikan karunianya yang terbesar bagi umat manusia untuk menjalani fungsi kekhalifahannya di muka bumi ini. Allah menurunkan sebuah bukti kasih-Nya dengan menurunkan umat kebanggaan semesta alam; yang bila manusia berilmu mereka akan tahu bahwa inilah suatu "jalan kehidupan yang lurus", yang harus dipahami untuk kemudian didefinisikan pada diri dalam mendasari semua pola tindak dan pola pikir guna mencapai kebahagiaan pada kehidupan kekal nantinya.

Az-Zahra seolah telah terprogram secara sempurna sejak masuk ke dalam sistem kehidupan ini. Az-Zahra adalah puteri Rasulullah yang dijamin Allah Swt melalui Rasul-Nya, harkatnya dijaga dan dipelihara dalam naungan kenabian dan keimanan. Beliau adalah Muslimah spiritual, Muslimah Ilahiah, manusia sejati. Sebelum kedua benih suci bersatu dalam rahim yang penuh berkah, Allah telah menitipkan sesuatu (makanan) dari surga dan Rasulullah berkata : "Bila aku rindu akan surga, aku cium Fathimah." Az-Zahra adalah manusia dalam wujud Muslimah yang memikul kualitas seorang rasul. Kehidupan Az-Zahra adalah perjuangan. Sejak terlahir Az-Zahra menyaksikan perjuangan demi perjuangan ibu dan ayahnya dalam menegakkan Islam. Tidak jarang tangan mungil itu ikut membersihkan kotoran, najis, dan darah yang mengalir di pundak ayahnya. Az-Zahra yang kecil dididik langsung oleh ibu dan ayahnya yang suci, kejadian demi kejadian menempa Az-Zahra semakin matang. Dengan pandangan dan pikiran sempurna beliau menerima Ali sebagai suami tanpa memperhitungkan apapun pandangan kecuali kebenaran Ilahiah.

Semua perjuangan dan tantangan dalam kehidupannya dikembalikannya pada prinsip dan tuntunan awal, perbedaan ia jadikan awal persamaan. Secara proporsional ia meletakkan dirinya dalam setiap peranan yang ia mainkan, saling mengisi melengkapi satu sama lain dalam mencapai tujuan yang sudaj ditetapkan. Fenomena alami yang merupakan sunatullah, ia jalani dengan sabar dan ikhlas. Ia mengubah kondisi yang begitu menyedihkan di mana kekerasan, beban kerja, dan pelecehan seksual terhadap Muslimah di zaman itu, diantisipasinya dengan ilmu dan akhlak yang tinggi serta keyakinannya atas firman Allah Swt : "Dan sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri." (QS Ar-Ra'du : 11).

Perwujudan sempurna dari dimensi-dimensi keberhasilan manusia terlukis dalam kehidupannya. Dengan dibentengi keimanan yang sempurna, Az-Zahra langsung masuk ke dalam kehidupan duniawi secara total; dengan multifungsinya beliau seolah menggambarkan pada umat manusia pada semua lapisan dan golongan; dengan ilmu dan imannya menjawab semua tantangan, mengisi semua peluang. Tergambar sosok Muslimah sempurna yang dengan kehendak Allah untuk berimprovisasi dalam kehidupan. Az-Zahra dengan tegas dan jelas menggambarkan fungsi, tugas, tanggung jawab, hak, dan posisinya sebagai makhluk yang berperan langsung (Muslimah) dalam menata umat mulai dari dalam kandungan, mendidik anak sehingga dapat menciptakan generasi penerusnya yang istimewa, sebagai isteri yang dapat dijadikan teladan sampai pada posisi sosial kemasyarakatan. Semua itu beliau jalani tidak hanya dengan kata-kata namun dengan akhlak yang amat mulia.

Rasulullah mengingatkan pada umatnya : "Fathimah adalah bagian dariku. Barangsiapa menyakitinya berarti melukaiku. Barangsiapa membuatnya gembira berarti membahagiakanku". Hal ini adalah jaminan yang merupakan isyarat Rasulullah pada manusia merupakan suatu konsep dasar bagi manusia yang berpikir.

Az-Zahra adalah lambang reformasi Muslimah yang sempurna; destruksi ideologis dan sosio-kultural saat itu menjadi tantangan baginya untuk berjuang. Tidak pernah tergambar rasa takut dalam menuntut kebenaran. Az-Zahra tidak pernah menghamba pada penguasa. Dia berjuang mempertahankan haknya, sekalipun harus mengorbankan dirinya. Az-Zahra telah meletakkan keadilan dan kesabaran menjadi senjatanya. Bai'atnya pun tidak ia berikan pada siapapun kecuali pada orang yang berhak secara Ilahiah. Bukan hanya karena cinta semata namun karena menegakkan kebenaran dan untuk menyelamatkan umat sesudahnya. Kehidupan Az-Zahra yang serba singkat dalam visi namun lengkap dan panjang sepanjang sejarah kehidupan manusia. Visi dan misi Az-Zahra haruslah dijadikan model bertindak dan berpikir bagi setiap Muslimah dalam menegakkan keadilan dan mencapai tujuan.

Muslimah yang hidup di era global hendaknya berpikir secara global pula, dengan masuk Islam secara kaffah akan memberikan wawasan yang amat esensi bagi kehidupan global. Mereka harus bersyukur akan nikmat Allah yang telah memberikan secara jelas panutan panutan dan rujukan untuk berkiprah sebagai Muslimah di sepanjang peradaban manusia dengan sosok Az-Zahra yang agung ini.

Dengan kesucian dan keagungannya, Allah telah meniupkan di rahim Az-Zahra manusia-manusia terpilih di sepanjang sejarah, dipercayakan kepadanya membesarkan, mengasuh, mendidik putera-puterinya hingga menjadi umat yang terbaik. Az-Zahra sadar sebagai seorang Muslimah ia mengemban suatu misi yang amat agung. Ia harus menciptakan generasi penerus yang bertanggung jawab terhadap kelestarian agama Allah. Terngiang selalu kata-kata ayahanda tercinta : "Tidaklah dilahirkan seorang anak melainkan atas fitrahnya, maka orang tuanyalah yang menjadikannya Majusi, Yahudi, ataupun Nasrani." Ia buktikan keberhasilannya. Putera-puteri Az-Zahra adalah orang-orang yang terpelajar, bijaksana, dan terhormat, dengan darah mereka berjuang; dengan lidah mereka meruntuhkan kekuasaan yang zalim. Zainab, puteri Az-Zahra, berjuang di tengah genangan darah saudaranya [Imam Husain as- red.] untuk menyelamatkan satu-satunya pewaris Rasulullah. Ia adalah puterinya Az-Zahra.

Muslimah yang hidup dalam peradaban yang berbeda sekarang ini seolah kehilangan panutan. Egoisme pribadi dan kelompok menjadikan mereka ibu-ibu pencipta monster di masa depan. Dengan peluang dan ilmu yang dimiliki, mereka asyik dengan diri mereka sendiri sehingga kebebasan diartikan kenikmatan, bukan suatu kesempatan menata diri. Muslimah seharusnya bercermin pada sejarah kehidupan Az-Zahra, yang dalam setiap gerakannya memberikan manfaaat bagi umat lainnya. Ia merasakan tanggung jawabnya sebagai Muslimah adalah menyelamatkan peradaban. Bukan menyelamatkan diri atau kelompok, ia menyadari semuanya itu merupakan bagian kecil dari peradaban.

Isu gender yang merebak di era global saat ini pun telah diantisipasinya dengan cara bijak sejak dulu, ketidakadilan peran gender ia singkirkan dengan memegang sunatullah. Bersama Rasulullah dan suami tercinta Az-Zahra membuktikan tidak adanya diskriminasi, marginalisasi, subordinasi pada Muslimah dalam Islam. Az-Zahra telah mengembalikan esensi Muslimah yang hakiki. Az-Zahra telah mengembalikan harkat dan martabat Muslimah dan sekaligus membebaskannya dari pelecehan dan penderitaan yang tidak proporsional. Az-Zahra membuktikan dirinya sebagai panutan dan tuntunan Muslimah dalam membentuk jatidirinya.

Sepanjang kehidupannya Az-Zahra selalu menjadi benteng umatnya. Ketika Rasulullah meninggal, ia menyadari umat telah kehilangan pemimpinnya dan penyelewengan di jalan Allah pun sudaj terbayang. Ia bangkit untuk menghidupkan kembali kebenaran itu. Az-Zahra merasakan kewajiban yang begitu besar ada di pundaknya. Beliau datang berkhutbah dari masjid ke masjid untuk mengingatkan penyimpangan-penyimpangan yang telah dilakukan. Az-Zahra menyelamatkan umatnya dan segala kezaliman dan ketidakadilan dengan segala cara. Ia kunjungi rumah-rumah kaum Anshar dan Muhajirin bahkan ke pengadilan untuk menyampaikan dan memberikan ilmu yang langsung beliau dapatkan dari Rasulullah Saww. Az-Zahra tidak pernah sempat memikirkan diri sebelum ia memikirkan umat lainnya. Ia membawa misi yang harus dijabarkan dalam kehidupan Muslimah di era global ini.

Dalam kondisi yang serba memprihatinkan, dalam duka yang dalam dan dalam lingkungan yang jahiliyah, Az-Zahra bangkit menegakkan kebenaran. Perintah Allah dan Rasul-Nya menjadi dasar tindakannya. Dengan hati yang hancur, malam setelah wafatnya Rasulullah, Az-Zahra telah membuktikan jatidirinya. Dalam kebenaran Ilahi, Az-Zahra mempertahankan Firman Allah [33 : 6] yang diperjelas Rasulullah pada Haji Wada' di Ghadir Khum. Dalam perjuangan mempertahankan kebenaran ini, dia rela mengorbankan semuanya demi tegaknya agama Allah, dan dengan menanggung derita inilah Az-Zahra menghadap Allah Swt dan menemui ayahnya tercinta, Rasulullah Saww. Az-Zahra cerminan segolongan umat yang beruntung, yang selalu mengajak ke arah kebaikan dan menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar (3 : 104). Suatu ilustrasi yang maha tinggi yang ditunjukkan Allah Swt melalui Az-Zahra untuk umat yang berpikir.

Tuntutan Az-Zahra yang sangat esensi adalah selalu meletakkan dirinya secara proporsional. Dalam dirinya tercermin jelas keadilan yang digambarkan dalam Alquran. Sebagai seorang puteri Rasul, Az-Zahra membangkitkan dan menerjemahkan cahaya kerasulan itu pada dirinya melalui perkataan dan perbuatannya. Tiada faqir yang terluput dari matanya, tiada derita yang lewat dari pandangannya.

Sepeninggal ibunya Az-Zahra berfungsi maksimal untuk Rasulullah sehingga tercerminkan istilah ummu abiha, dan hari terakhir dalam hidup Az-Zahra, beliau sempat berpesan kepada suami tercintanya : "Saat kematianku hampir tiba. Engkau tentu mengerti mengapa ini aku lakukan. Maafkanlah semua kehendakku. Mereka (anak-anak) telah begitu menderita selama aku sakit dan biarlah mereka bergembira di hari terakhir dalam hidupku. Ali, engkau pun tahu bahwa ini hari terakhir bagiku, aku gembira dan aku juga bersedih. Aku gembira karena segala deritaku akan berakhir dan aku akan bertemu dengan ayahku tercinta, dan aku bersedih karena berpisah denganmu .... Ali, makamkanlah aku di waktu malam dan janganlah sampai orang-orang yang menzalimiku datang semasa pemakamanku. Janganlah kematianku menyakitimu. Engkau mesti berjuang menegakkan Islam dan kemanusiaan untuk masa datang yang panjang. Janganlah penderitaanku ini menambah kepedihan hidupmu. Berjanjilah Ali..." Setelah Az-Zahra menemui Tuhannya, berkatalah Ali as. : "Kematian Az-Zahra melelahkan hatiku dan memperdalam penderitaanku. Setelah ia tiada langit tidak lagi indah dan tiada jalan bagiku untuk melupakan kesedihanku yang begitu mendalam." Tiada keagungan pada wanita, tiada harapan yang lebih utama kecuali mendapatkan posisi dalam keluarga dengan diakui peranannya, dan Az-Zahra bukan hanya sebagai pelengkap namun beliau sebagai sandaran bagi keluarganya, yang kemudian pedoman bagi umat dalam membentuk masyarakat pada zamannya.

Sebagai pencipta generasi penerus, Az-Zahra bagai bidadari yang suci, menyadari kepentingan keluarga dan dengan kasih sayangnya dan cinta yang dalam beliau telah berhasil mendidik dan menjadikan manusia-manusia istimewa sebagai penerus peradaban Islam. Az-Zahra dengan dasar keimanan yang utuh, menjadi obor yang membimbing keluarga dan anak-anaknya serta masyarakat pada masanya dalam membentuk moralitas kebudayaan Qurani.

Muslimah yang hidup dalam sistem yang serba global ini bila ingin berperan sempurna, tiada lain harus mendefinisikan dirinya dalam segala aspek pada kehidupan Az-Zahra yang merupakan cerminan yang utuh dan terjamin dalam menjalankan misi kekhalifahannya di muka bumi ini. Muslimah harus bangkit dengan multifungsinya, menjawab semua tantangan, memilih dan memilah serta menjadi pemasok gagasan serta sekaligus menjadi penjaga gawang peradaban.

Imam Khomeini menegaskan dalam salah satu khutbahnya : "Perempuan adalah makhluk yang mengubah bukan diubah, yang mempengaruhi bukan dipengaruhi. Perempuan harus mampu memahami akibat-akibat pemikiran yang menyimpang tentang hakikat perempuan yang dapat menyebabkan kehancuran sebuah peradaban manusia. Karenanya perempuan harus mampu mengenal dan mengetahui bahwa dirinya adalah maujud yang mampu mencapai derajat manusia yang mulia dan mampu mewarnai sejarah secara abadi."

Jaminan Rasulullah, suami, anak-anak yang suci pada Az-Zahra dan kehidupannya dalam berkiprah sebagai khalifah pada masanya, seharusnyalah umat khususnya Muslimah dalam memanifestasikan diri dalam era global yang penuh dengan peluang dan tantangan ini, menjadikannya sebuah konsep dalam menata kembali atau mengarahkan ke arah kebudayaan manusia yang ada dalam genggamannya menjadi kebudayaan Qurani.

Muslimah memerlukan figur dan panutan abadi yang dapat memotivasi kebangkitan harkat dan martabatnya sepanjang zaman, panutan dan tuntunan seperti ini tidak didapati dari umat lainnya kecuali Muslimah yang telah teruji secara multidimensi, Muslimah Ilahiah, Fathimah Az-Zahra. Wallahu a'lam bishawwab. []

Ya Allah ...limpahkan shalawat-Mu pada Muhammad dan keluarganya
Limpahkanlah rahmat-Mu bagi bidadari surga, puteri Ilahiah
Az-Zahra.....ingin kubasuh muka dan mataku, ingin kukikis kalbuku
Tuk kureguk visimu yang dalam itu, 'tuk kurengkuh misi dan perjuanganmu
Ya ... Ilahi, bila Engkau bangkitkan kami nanti, bangkitkan kami di barisan Az-Zahra
Jangan biarkan kami terus berlari dan berlari
Ya ... Sayyidatanaa, rusukmu yang hancur, utuh dan indah bagi kami
Tanganmu yang patah, kokoh dan lembut meneduhkan kami ...
Dan ... darah dari rahimmu yang gugur, ingin kuraih dan kualirkan dalam rahim-rahim kami
Az-Zahra...
Kami menanti syafaatmu.

Palembang, 21 Desember 1996

___________________
* Penulis adalah pemakalah pada Seminar Sehari Kajian dan Refleksi atas Kehidupan Fathimah Az-Zahra sebagai Model Intelektual Muslimah pada 21 November 1996 di Bandung.[]