IDOLA
Arif Mulyadi

Sebagian orang bertanya mengapa di kalangan pencinta Ahlul Bait senantiasa ada peringatan kelahiran dan kematian keluarga Nabi. Padahal di kalangan lainnya tidak dikenal peringatan-peringatan semacam itu. Bahkan sebagian pihak cenderung mengatakan bahwa hal semacam itu termasuk adat tradisi dari kalangan non-Islam.

Memang bila kita perhatikan tampak sekali bahwa di kalangan pengikut Ahlul Bait Nabi sangat banyak peringatan terhadap hari-hari besar Islam (yang terlupakan). Untuk bulan Rajab saja, ada delapan macam peringatan, baik peringatan kelahiran ataupun kematian. Ataupun peringatan di luar keduanya (seperti hari raya Al-Ghadir, hari Mubahalah dst). Tanggal 1 Rajab, hari kelahiran Imam Muhammad Al-Baqir; 3 Rajab hari syahadahnya Imam Ali Al-Hadi; 7 Rajab hari lahir Abbas bin Abi Thalib; 10 Rajab hari kelahiran Imam Muhammad Al-Jawad; 13 Rajab hari kelahiran Imam Ali bin Abi Thalib; 25 Rajab hari syahadah Imam Musa Al-Kazhim; 27 Rajab hari bi’tsah dan mi’raj Nabi Muhammad – shalawat dan salam Allah atas mereka semua.

Jelas peringatan-peringatan seperti ini bukanlah tanpa maksud dan tujuan. Pembahasan tentang pentingnya peringatan-peringatan ini tidak memadai dengan perspektif legalisme-syariat yang kaku. Dengan kata lain, kita membutuhkan alasan-alasan yang mencukupi perlunya peringatan seperti itu.

Hal yang patut kita jadikan alasan, pertama, adalah bahwa manusia secara fitrah membutuhkan idola, panutan atau teladan. Idola – orang seringkali menyebutnya sebagai kultus individu – diperlukan sebagai cermin dalam perilaku kita sehari-hari. Kita akan membuktikan kecintaan kita yang sangat kepada kekasih dan pasangan kita dengan menuruti keinginannya. Pakaian yang dia sukai akan kita belikan, buku yang digemarinya akan kita paksakan untuk dibaca, film yang ia doyani kita doyani pula (sekalipun bertentangan dengan kesukaan kita). Mungkin dari sinilah lahir dari istilah love is blind (cinta itu buta).

Islam memahami fitrah manusia – mencari idola – seperti itu sehingga jalan Tuhan ini memberikan figur-figur mana yang pantas diteladani atau dijadikan idola. Dengan bimbingan Islamlah maka kecintaan kita bukanlah kecintaan yang buta (: sembarang orang dijadikan pusat idola). Maka pilihan pun jatuh kepada para utusan Allah yang ditutup dengan kenabian Al-Mushthafa Muhammad Saww. Selanjutnya, Nabi Islam menunjuk para penggantinya mulai dari Ali sampai Al-Mahdi Al-Muntazhar – semoga Allah menyegerakan kehadirannya.

Alasan kedua, bahwa dengan adanya ritus peringatan, khususnya kelahiran atau syahadah, akan memberikan ikatan emosional antara yang diidolai dengan mereka yang mengidolakan. Memperingati syahadah Fathimah Az-Zahra’ – salam atasnya - bermakna memperbaiki janji setia atau bai’at kita sebagai pencintanya sehingga dengan upacara peringatan tersebut kita mengukur sejauhmana kadar kepengikutan kita kepada Hazhrat Az-Zahra’. Menjadi pencinta atau pengikut Ahlul Bait -meminjam istilah Erich Fromm - bukanlah sekadar to have them (memiliki mereka), tapi harus to be them (menjadi mereka).

Modus hidup "to have" akan mengarah kepada kebanggaan subyektif yang maya sifatnya. Orang merasa bangga bahwa ia hapal sejarah Nabi dan para imam, senang dengan buku-buku tentang mereka, tapi mereka lalai dalam mengaktualisasikan integritas kepribadian mereka. Melaksanakan ajaran syariat mereka, seyogyanya disertai dengan mengamalkan ajaran akhlak mereka. Tiada keterpisahan antara syariat dan akhlak.

Dengan dua alasan tersebut, paling tidak, peringatan demi peringatan tentang kelahiran dan kematian para ma’shumin serta peristiwa bersejarah lainnya bukanlah sesuatu yang muspra. Sia-sia. Tetapi semakin menumbuhkan kedekatan emosional antara kita sebagai pengikut dengan mereka sebagai pemimpin. Dengan kata lain, memperingati hari-hari bersejarah Ahlul Bait merupakan upaya menghadirkan kembali peran historis mereka yang memuncak kepada hasrat persatuan dengan mereka.

Maka, rayakanlah dengan kekhusyukan dan khidmat .[]

Wallahu a’lam bishawwab.

*) Diinspirasi dari ceramah Ustadz Husein Shahab dalam peringatan syahadah Imam Ali Al-Hadi di Yayasan Al-Jawad. Interpretasi ceramah sepenuhnya tanggung jawab penulis.