Keadilan Ilahi (1)
Ust. Husein Al-Kaff

Kata keadilan dan maksudnya sudah tidak asing lagi bagi setiap insan. Ia merupakan sesuatu yang sangat diharapkan dan didambakan oleh orang-orang yang merasakan kehidupan sosial sudah tidak wajar lagi. Demonstrasi digelar, seminar diadakan, LSM didirikan dan negara ditegakkan demi untuk keadilan. Keadilan begitu berharga sehingga darah, harta, nyawa dan lainnya harus dikorbankan. Berbicara tentang keadilan tidak mengenal batas, ruang dan waktu. Dimana saja komunitas manusia berada, maka kata keadilan akan muncul bersamaan dengannya. Gerangan apa sebenarnya keadilan itu? Bagaimana Islam memandang keadilan? dan apa yang telah Islam upayakan dalam menegakkan keadilan.
Memang kata keadilan mempunyai makna yang luas dan banyak tergantung terminologi yang kita pakai untuk memaknainya. Dalam salah satu terminologi, keadilan bermakna meletakkan sesuatu pada tempatnya, dalam terminologi yang lain keadilan diartikan memberikan hak kepada pemiliknya, dan juga berarti sebuah bawaan dalam diri seseorang untuk senantiasa menjaga konsekuensi-konsekuensi taqwa dan lain sebagainya. Dalam tulisan yang sederhana ini, kami tidak akan membahas semua substansi keadilan dengan berbagai terminologi-nya. Kami akan membatasi tulisan ini pada keadilan yang berkaitan dengan sifat Allah (Keadilan Ilahi) dan implikasinya dalam kehidupan umat manusia.
 
Keadilan adalah Sifat Allah SWT
Kaum muslimin bersepakat bahwa Allah adalah Zat Yang Mahaadil dan Mahabijaksana. Karena Quran dalam beberapa ayatnya mengata-kan tentang hal itu dan menafikan sifat zhalim dari Allah. Meski mereka bersepakat tentang masalah ini, namun pada kajian teologi Islam terdahulu sempat terjadi perdebatan yang sangat seru antara golongan yang mengatakan dirinya sebagai "Adliyyah" dan golongan yang disebut dengan "Non Adliyyah".
Perbedaan tersebut muncul karena perbedaan frame untuk melihat apa atau siapa yang menentukan baik dan buruknya perbuatan dasar manusia. Sehubungan dengan keadilan, golongan pertama berpendapat bahwa Allah tidak berbuat sesuatu kecuali dengan adil dan bijak, sementara yang kedua mengatakan bahwa segala perbuatan Allah pasti berdasarkan keadilan. Sekilas dua pernyataan tadi sama, tetapi sebenarnya berbeda. Dan perbedaan itu terletak pada yang telah disebutkan tadi (Untuk lebih jelasnya pembaca bisa membaca literatur yang secara khusus membahas tentang keadilan seperti "Keadilan Ilahi karya Muthahari dan lainnya).
Dalam pandangan Imamiyyah-Ahlil Bait, masalah keadilan menduduki posisi yang amat sangat penting sekali dan mereka menjadikannya sebagai dasar agama setelah "Tauhid". Perlu diinformasikan bahwa dalam kajian awal tentang ilmu akidah Imamiyyah diterangkan lima dasar agama (Ushuluddin al khamsah): Tauhid, Keadilan, Kenabian, Kepemimpinan, dan Ma’ad. Menurut mereka, sifat adil dijadikan sebagai salah satu dari dasar-dasar agama sementara sifat-sifat lainnya tidak, karena beberapa alasan berikut ini;
Diantara sifat-sifat dan asma Allah, keadilan mempunyai keistimewaan tersendiri karena menurut Syaikh Makarim Syirazi, beberapa sifat-sifat Allah kembali kepada sifat adil seperti sifat kasih sayang, pemberi rezeki, bijaksana dan lainnya.
 
1. Oleh karena cabang-cabang agama (baca; syariat) merupakan pancaran dari dasar-dasar agama dan syariat diturunkan sebagai upaya Tuhan untuk  menegakkan keadilan di tengah masyarakat umat manusia. maka sifat adil Tuhan menjadi lebih menonjol dibandingkan sifat-sifat lainnya.
2. Menjadikan sifat adil sebagai salah satu dasar dari agama memberikan indikasi secara eksplisit bahwa keadilan harus ditegakkan dan itu termasuk dari anjuran hadits Qudsi, "Berakhlaklah dengan akhlak Allah".
Lebih jelasnya keadilan merupakan poros dari seluruh ajaran agama, dan juga sebagai penyebab diutusnya para Nabi, diturunkannya kitab-kitab dan dibangkitkannya manusia di alam mahsyar dan alam akhirat, atau dengan kata lain, elemen-elemen agama seperti syariat, kenabian, kepemimpinan dan kebangkitan hari akhirat merupakan konsekuensi logis dari keadilan Ilahi. Karena jika Allah tidak mengutus para Nabi dan tidak menurunkan kitab, maka tujuan dari penciptaan manusia (yaitu kesempurnaan manusia dengan kembali kepada-Nya) tidak akan tercapai, atau paling tidak, sangat sulit, sehingga dengan sendirinya, penciptaan manusia dan alam sekitarnya akan menjadi sia-sia. Demikian pula jika tidak ada hari pembalasan, maka Allah sangatlah tidak adil karena karena Ia membiarkan orang-orang yang berbuat kejahatan dan penindasan tanpa balasan dan membiarkan orang-orang yang tertindas tidak mendapat menyaksikan balasan atas-orang-orang yang pernah menindas mereka. Nah untuk itu semua, Allah Yang Mahaadil mengutus para Nabi, menurunkan kitab dan membangkitkan manusia di alam akhirat.
Keadilan Ilahi tidak hanya berkaitan dengan moral dan peraturan sosial-kemanusiaan (baca: masalah-masalah keagamaan) saja, tetapi keadilan Ilahi berlaku juga dalam menciptakan alam raya lahiriah ini. Nabi Muhammad saaw. bersabda, "Dengan keadilan langit dan bumi ditegakkan". Artinya tanpa keadilan, ekosistem alam semesta ini tidak akan tegak atau malah alam ini tidak akan ada sama sekali. Jadi alam raya ini ada karena keadilan, dan sistem yang berlaku di dalamnya juga dengan adil (baca; seimbang).
Oleh karena itu, sifat adil menjadi sifat yang paling nyata dan paling berperan dalam perbuatan-perbuatan Allah, baik yang berkaitan dengan karya alami yang lahiriah atau filosofi penciptaan.
 
Mengapa Allah Mahaadil?
Biasanya para Ulama menyebutkan anonim dari keadilan yaitu kezhaliman. Kata kezhaliman mempunyai arti yang banyak sebanyak arti kata keadilan itu sendiri. Allah SWT sebagai Zat Yang Mahaadil sangat jauh dari sifat zhalim (lihat surat Yunus: 144, Al Nisa: 40, Al Anbiya: 47 dan Qaf: 29). Jadi dua kata ini tidak mungkin kumpul dalam diri satu zat. Ketika Allah disifati adil berarti Dia tidak zhalim. Yang menarik, para ulama ketika hendak membuktikan keadilan Allah biasanya mereka terlebih dahulu menafikan dari-Nya faktor-faktor perbuatan zhalim. Diantara faktor-faktor tersebut adalah:
a. Kebodohan
Terkadang seseorang berbuat kezhaliman atau kesalahan karena dia tidak mengetahui bahwa yang dia lakukan itu adalah salah atau zhalim. Oleh karena Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu, maka tidak mungkin Dia tidak mengetahui perbuatan yang zhalim dan salah itu.
b. Kebutuhan
Faktor lain seseorang berbuat kezhaliman atau kesalahan adalah dia membutuhkan sesuatu yang tidak dia miliki, lalu dia mencoba mengambilnya secara zhalim. Allah Mahakaya sehingga Dia tidak membutuhkan kepada selain diri-Nya sendiri.
c. Kelemahan
Seseorang karena tidak berdaya untuk menghindari kezhaliman atau kesalahan, maka dia terpaksa melakukannya. Allah Zat Yang Mahakuasa untuk berbuat sesuatu sehingga tidak ada sesuatupun yang memaksa-Nya.
d. Main-main
Seringkali seseorang berbuat kezhaliman atau kesalahan hanya karena main-main atau iseng. Allah jauh dari mempunyai motivasi seperti itu, karena motivasi ini timbul dari seseorang yang tidak mempunyai tujuan dalam perbuatannya.
Tentu empat faktor tadi tidak ada pada Zat Allah, maka Dia tidak akan pernah berbuat kezhaliman atau dengan kata lain, Dia selalu berbuat sesuatu dengan adil.
Atas dasar asumsi ini, maka segala fenomena alam eksternal seperti gempa bumi, gunung berapi dan lainnya ataupun internal seperti cacat fisik, kelaparan dan lainnya bukanlah fenomena-fenomena yang dikecualikan dari keadilan Ilahi.
Secara general dan global fenomena-fenomena itu mengandung sebuah nilai sains-filosofis yang sebagian darinya telah terungkap. Allah berfirman: "Yang telah baik menciptakan segala sesuatu" (Qs. Sajdah: 7). Karena tidak ada alasan dan faktor bagi Allah untuk melakukan kesalahan dan kezhaliman, seperti tersebut tadi.
Jadi jika ada fenomena khususnya yang internal bukanlah kesalahan atau kezhaliman dari Allah, tapi itu merupakan kesalahan manusia kalau tidak, ia mengandung sebuah kemashlahatan.
 
Wallahu a’lam