Imamah : Bimbingan Ilahi Menuju Kesempurnaan Wujud
Ust. Husein Al-Kaff

Bahasan tentang masalah imamah atau khilafah masih cukup aktual dan relevan, karena bahasan tentangnya secara langsung berkaitan dengan kelangsungan dan integritas Islam itu sendiri. Sulit kiranya memisahkan antara Islam dan imamah., baik secara teologis maupun sosiologis. Secara teologis, imamah merupakan kelanjutan dari kenabian dalam arti bahwa Islam sebagai agama yang paling akhir dan untuk semua manusia dan transgenerasi memerlukan figur-figur yang dapat menerima tongkat estafet kepemimpinan dari Nabi, karena Islam, kendati sebuah sistem yang paling baik, tidak bisa dipisahkan dari peranan pemimpinnya.. Kalau Islam itu hanya sebuah sistem yang minus imamah, maka Alquran saja cukup untuk mengatur dunia. Tetapi kenyataannya Alquran membutuhkan seorang yang mampu menjelaskan maksudnya dan mewujudkankannya dalam kehidupan yang riil. Di sinilah diperlukan seorang nabi. Alquran atau Islam minus imamah tidak cukup. Oleh karena itu ketika kaum muslimin hanya berpegangan dengan sistem saja tanpa kepemimpinan yang benar, maka perbedaan persepsi dan interpretasi, yang tidak jarang mengakibatkan perpecahan dan konflik, tidak dapat terelakkan..(seperti sekarang ini ?)
Kemudian secara sosiologis, Islam sebagai agama yang paripurna dan komprehensif dalam mengatur semua aspek kehidupan umat manusia, yang salah satunya dan yang paling penting, adalah masalah sosial-komunal. Kepemimpinan adalah masalah yang paling signifikan dalam urusan kemasyarakatan. Sebuah masyarakat tidak akan stabil dan menjadi anarkis tanpa pemimpin. Pentingnya masalah kepemimpinan sosial tidak perlu dibahas, karena ia merupakan kebutuhan yang paling primer dalam kehidupan bermasyarakat. Islam juga ikut memberikan pemikiran dan solusi kepada masyarakat umat manusia tentang masalah siapa yang layak menjadi pemimpin apa saja kriteria-kriterianya. Dalam tulisan ini kami tidak akan membahas masalah imamah dari sisi pandang sosiologis. Kami lebih tertarik membahasnya dari sisi pandang teologis.
Membahas imamah dari sudut pandang teologis tidak bisa dipisahkan dari bahasan tentang filosofi penciptaan alam raya, Kemahabijaksanaan (keadilan) Tuhan dan kenabian. Imamah dan tiga masalah ini sangat saling berkaitan dan beruntun.
 
Pertama, alam raya dalam arti seluruh elemennya, diciptakan untuk sebuah tujuan. Tujuan itu berupa kesempurnaan yang harus dicapai olehnya sendiri. Kesempurnaan setiap benda di alam raya sesuai dengan kapasitas (baca: batas atau mahiyah) wujud yang ia miliki dari tingkat-tingkat wujud. Kesempurnaan tumbuh-tumbuhan lebih rendah dari kesempurnaan binatang dan kesempurnaan binatang lebih rendah dari kesempurnaan manusia.. Tumbuh-tumbuhan tidak akan melebihi kesempurnaan kapasitas wujudnya sampai seperti binatang. Demikan pula binatang tidak akan bisa melebihi kesempurnaan kapasitas wujudnya sehingga seperti manusia. Itulah yang dimaksud dengan filosofi penciptaan alam raya.
 
Kedua, untuk mencapai kesempurnaan, Allah Yang Mahaadil dan Bijaksana memberikan bimbingan kepada mereka agar sampai kepada tujuan mereka masing-masing. Tanpa bimbingan-Nya mustahil kesempurnaan akan tercapai. Dan ini merupakan tuntutan dari Kemahaadilan dan Kemahabijaksanaan Allah Swt. Tentang kedua hal ini, Alquran yang mulia berfirman:
"Sesungguhnya Allah menyampaikan (kesempurnaan) urusanNya (ciptaan-Nya). Sesungguhnya Dia telah menciptakan untuk segala sesuatu kadarnya (ukurannya) " (QS Al- Thalaq, 65 : 3).
 
"Dan (Dia) telah menciptakan segala sesuatu dan menetapkan kadar-kadarnya " (QS Al- Furqan, 25 : 2)
"Tuhan kami yang telah memberikan ciptaan kepada segala sesuatu kemudian membimbingnya ".(QS Thaha, 50 : 30).
Manusia sebagai makhluk Allah yang paling mulia diciptakan untuk tujuan kesempurnaan yang lebih tinggi dari makhluk-makhluk lainnya, hatta malaikat. Manusia diciptakan untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi ini (lihat Al-Baqarah : 30). Manusia dipercaya oleh Allah untuk mengatur alam raya ini (lihat Al-Ahzab, 33 : 27) Untuk sampai kepada tujuan itu, manusia dibimbing oleh Allah melalui akalnya dan para nabi. Mengapa tidak cukup dengan akal saja ?
Pada dasarnya akal dapat mengetahui kebaikan dan kebenaran, namun tidak semua manusia mengoptimalkan akalnya. Banyak dari mereka yang dikuasai oleh hawa nafsunya sehingga tidak mengetahui kebenaran, atau juga, meskipun akal dapat mengetahui kebenaran, tetapi ia tidak mengetahui cara untuk sampai ke kebenaran. Oleh karena itu, kehadiran para nabi sangatlah diperlukan.
 
Mengapa Imamah ?
Dari penjelasan di atas tampak bahwa bimbingan Tuhan sangatlah penting untuk kehidupan manusia demi mencapai tujuannya. Dengan wafatnya Rasulullah Saww. sebagai nabi terakhir, bimbingan Tuhan tidak berhenti. Karena jika bimbingan-Nya berhenti maka umat Islam pasca Rasulullah tidak akan sampai kepada kesempurnaannya, dan itu menyalahi filosofi penciptaan dan keadilan Tuhan. Lalu siapakah yang akan berperan menjadi pembimbing-pembimbing Ilahi setelah Rasulullah Saww. ? Apakah mungkin ada pembimbing Ilahi sementara wahyu dari Allah telah putus dengan wafatnya Rasulullah saww. ?
Untuk menjawab dua pertanyaan tersebut perlu diketahui bahwa kehadiran pembimbing Ilahi itu dibutuhkan umat manusia dan dia tidak harus seorang nabi atau rasul, karena :
 
Pertama, tidak ada keterangan yang menyatakan hal seperti itu. Siapapun bisa menjadi pembimbing Ilahi. Yang penting adalah bahwa orang itu telah memenuhi syarat-syarat sebagai pembimbing yang dapat mengantarkan manusia menuju kesempurnaan. Allah Swt. sendiri mengajarkan kita untuk berdoa, "Ya Tuhan kami, berilah kepada kami istri-istri dan keturunan kami yang menjadi penyenang kami (penyejuk mata) dan jadikanlah kami sebagai pemimpin (pembimbing) bagi orang-orang yang bertaqwa ".(QS Al-Furqan, 25 : 74). Dalam ayat lain Allah Swt. menyatakan bahwa bimbingan Ilahi tidak harus nabi, yang penting dia tidak pernah melakukan kezaliman dan kesalahan, "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat , lalu ia menyelesaikannya, maka (Tuhan) berfirman, "Kami hendak menjadikanmu pembimbing bagi umat manusia ". Ibrahim bersusul, "Juga dari keturunanku ". Tuhan menjawab, "Amanatku ini (‘ahdi) tidak diperolehkan kepada orang-orang yang zalim ".(QS Al-Baqarah : 124). Jadi dari jawaban Allah Swt atas usulan Ibrahim as. dapat dipahami menjadi pembimbing Ilahi bisa siapa saja dari keturunan Ibrahim asal tidak pernah berbuat kezaliman.
Kedua, untuk menjaga keutuhan agama dan ajaran Ilahi diperlukan manusia yang menjaganya. Sehubungan dengan itu, Imam Ali Al-Ridha’ as. menjelaskan tentang sebab-sebab perlunya seorang pembimbing yang harus ditaati, di antaranya : "Jika Allah tidak mengangkat seorang pembimbing yang terpercaya niscaya binasalah umat, sirnalah agama dan rusaklah sunnah (ajaran ) ". (Mizan Al-Hikmah 1: 166).
 
Ketiga, pertarungan antara kebenaran dan kebatilan dari sejak diciptakannya manusia sampai hari kiamat terus berlangsung. Untuk itu, diperlukan figur yang representatif sebagai sosok yang benar tanpa keraguan, sehingga manusia tidak bimbang mengetahui dan mengikuti kebenaran. Imam Ja’far Al-Shadiq as mengatakan, "Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan bumi ini tanpa adanya seorang yang berilmu (ulama), karena jika tidak ada, maka kebenaran tidak dapat dikenal dari kebatilan. " ( ibid 165).
 
Kriteria-kriteria Pembimbing Ilahi.
Mengingat pentingnya kehadiran pembimbing Ilahi di setiap zaman yang dapat mengantarkan manusia kepada kesempurnaan wujudnya, maka siapakah para pembimbing itu ? Dan oleh karena tugas dan fungsi pembimbing Ilahi itu berat dan suci (yakni mengantarkan manusia kepada kesempurnaan wujudnya), tentu tidak sembarang orang dapat mengembannya, lalu apa saja syarat-syarat untuk menjadi pembimbing Ilahi ?
Kriteria yang paling utama dan awal adalah seorang pembimbing sebelum mengantarkan yang lain harus terlebih dahulu sampai kepada kesempurnaan wujudnya. Dirinya harus menjadi yang paling baik di antara umat manusia sehingga menjadi panutan dan teladan bagi mereka, atau dengan bahasa agamanya, adalah orang yang paling takwa, karena orang yang paling takwa adalah orang yang paling mulia di sisi Allah (QS Al-Hujurat, 49 : 13). Orang yang bertakwa adalah seorang yang secara total meletakkan dirinya dalam kehendak Allah Swt. Dalam arti dia tidak akan berbuat dan bertindak kecuali sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah swt. Kemudian seorang pembimbing selain harus yang paling takwa, juga harus yang paling ‘alim tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan perjalanan (sayr) manusia menuju kesempurnaan wujudnya; cara yang harus ditempuh, hambatan-hambatannya dan cara mengatasi hambatan-hambatan itu. Sehingga umat manusia akan merasa tenang dan pasti ketika mengikuti bimbingannya. Tanpa dua syarat itu, mustahil dia menjadi pembimbing yang benar.
Kemudian siapakah yang berhak menentukan atau mengangkat pembimbing Ilahi ? Yang berhak menentukan dan mengangkat pembimbing Ilahi adalah yang paling mengetahui orang yang paling takwa dan paling ‘alim, dan itu tidak lain adalah Allah Swt. Adapun pilihan manusia seringkali tidak tepat dan selalu akan menimbulkan perbedaan persepsi dalam memilih. Atas dasar itu dan atas dasar Kemahaadilan Allah Swt., Dia harus mengumumkan kepada umat manusia orang-orang yang menjadi pembimbing Ilahi agar tidak ada alasan (hujjah) bagi manusia untuk tidak sampai kepada kesempurnaan wujudnya, sehingga dengan demikian sempurnalah hujjah-Nya. ( fa lillahi al-hujjatul balighah ). Sebagaimana halnya para nabi dan rasul diangkat oleh Allah, para pembimbing Ilahipun diangkat oleh-Nya. Oleh karena itu, tidak ada dalam sejarah, seorang nabi diangkat oleh sekelompok manusia, kecuali nabi palsu yang mengklaim dirinya sebagai nabi.
Adalah tugas kita mencari tahu dari keterangan-keterangan agama tentang pribadi-pribadi yang telah diangkat oleh Allah Swt. menjadi pembimbing umat manusia menuju kesempurnaan untuk kita ikuti dan taati segala bimbingan-Nya. Kita tidak perlu, bahkan tidak dibenarkan, mencari-cari sendiri pembimbing Ilahi karena tidak ada jaminan pilihan kita itu benar. Dalam Alquran disebutkan ada penjelasan-penjelasan tentang pembimbing-pembimbing Ilahi dan kriteria-kriterianya, di antaranya :
1) Al-Baqarah ayat 124 tentang pengangkatan Ibrahim as. sebagai pembimbing beserta keturunannya yang tidak berbuat kezaliman (sebagaimana yang telah disebutkan).
2) Al-Maidah ayat 55 :
" Sesungguhnya wali (pembimbing ) kalian adalah Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku’ ".
Dalam ayat ini jelas bahwa pembimbing kaum muslimin adalah Allah, Rasulullah dan orang yang beriman. Namun menarik untuk diperhatikan bahwa ayat ini menyatakan pembimbing kalian adalah orang yang beriman, yang mendiriksan sholat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku’. Dari kata-kata " dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku’ " dapat dipahami bahwa ayat ini sedang mengungkapkan sebuah kasus parsial yang pernah terjadi pada waktu diturunkannya ayat ini. Dalam kitab-kitab hadis dan tafsir dijelaskan bahwa yang melakukan perbuatan itu ialah Imam Ali bin Abi Thalib as.
3) pada tempat yang lain Allah swt. berfirman,
" Wahai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rsaul dan para pengurus urusan (pemimpin) dari kalian " ( QS An- Nisa’, 4 : 59).
 
Ayat ini secara implisit menyatakan bahwa para pembimbing Ilahi itu suci (ma’shum), karena kalau mereka itu bersalah, maka tidak boleh ditaati. Ketaatan kepada mereka mutlak sifatnya.
Bagi yang berkepentingan untuk mencapai kesempurnaan wujud insani harus mencari pribadi-pribadi yang telah disiapkan oleh Allah Swt untuk membimbing umat manusia menuju kesempurnaan. Allah yang Mahaadil dan Mahabijaksana tidak mungkin menyembunyikan dan merahasiakan mereka.[]