Kaitan Antara Syahadah dan Istiqamah
Arif Mulyadi

Apa kaitan antara konsep syahadah (kesyahidan) dengan istiqamah ? Dalam tulisan ini penulis mencoba untuk memaparkan kaitan antara syahadah dengan istiqamah. Dalam hal ini, keduanya akan merujuk kepada salah satu fundamen Islam yakni konsep yaumil akhir.

Dalam beberapa ayatnya, Allah SWT seringkali menga-takan bahwa apabila manusia mengimani-Nya serta meng-imani hari akhir (yaumil akhir), kemudian beramal saleh maka perbuatannya itu akan mengantarkan orang itu kepada ke-ridhaan-Nya. Dengan ayat-ayat seperti itu, berarti beramal saleh yang berlandaskan pada tauhid serta yaumil akhir me-rupakan jaminan dan syarat diterimanya amal.

Apabila manusia mencoba merenungkan secara lebih mendalam ia akan mengetahui bahwa tidak satu pun wujud atau eksistensi yang terlepas dari penciptaan dan pengaturan. kaum Muslim menyebut pencipta dan pengatur alam semesta ini adalah Allah. Bahkan, sebelum manusia berada di dunia ini pun, ruh-ruh manusia sudah dimintai kesaksiannya tentang Allah ‘Azza wa Jalla.

Mengenai hal ini Alquran mengatakan, "Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhanmu ?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (QS Al-A’raaf, 7 : 172).

Mukmin sejati tidak cukup hanya dengan mengatakan, "Ya, Engkau Tuhan kami !" Namun, ia akan mengorientasikan hidupnya pada kehidupan hari akhir. Allah SWT sendiri mengatakan, "(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) orang-orang yang lengah terhadap hal ini (keesaan Tuhan).’" (QS Al-A’raaf, 7 :172).

Dengan demikian, kepercayaan serta kesaksian terhadap keesaan Tuhan akan melahirkan sikap hidup yang berorientasi yaumil akhir (qiyamah). Hidup yang berorientasi qiyamah berarti keyakinan bahwa semua perbuatan dan kehidupannya di dunia ini akan dimintai pertanggungjawabannya dihadapan Allah SWT. Sekiranya dia ingin selamat, tentu ia akan me-menuhi serta mewarnai perbuatannya dengan kebajikan-ke-bajikan dan bukan sebaliknya. Bila ini dilakukan secara kon-sisten ia mempunyai kemungkinan "terbebas dari dosa dan kesalahan" (ma’shum). Tentu hanya sedikit orang yang mampu mencapainya. Para ulama menyebut sikap seperti ini seba-gai sikap istiqamah.

 

Tiga Muatan Makna

Dalam istiqamah terkandung tiga muatan makna integratif. Yakni, pertama, istiqamah dalam men-dawam-kan kalimah syahadah (tauhid) (Al-Mudaawamatu ‘ala asy-syahadah). Implementasi sikap ini adalah kekuatan kon-sistensinya dalam dakwah pada setiap kondisi. Ia menyeru manusia untuk menuju kalimat tauhid dan tidak dibatasi ruang dan waktu. Setiap gerak keseharian seorang mustaqim (orang yang beristiqamah) adalah rangkaian kalimat persuasi kepada manusia untuk menuju dan menyegarkan kembali pemahaman tauhid yang terkontaminasi berhala-berhala baru peradaban moderen. Baik itu teknologi yang polutif, sains yang mengalienasikan manusia, ataupun filsafat yang tidak berakar kepada ketuhanan.

Contoh terbaik mengenai hal ini adalah riwayat Imam ‘Ali Al-Murtadha yang ditanya pengikutnya mengenai Tuhan. Saat itu Imam ‘Ali as. beserta pasukannya sedang menghadapi peperangan. Orang-orang yang ada di sekitar beliau segera memprotes pertanyaan ter-sebut karena kondisinya tidak tepat. Namun beliau melerai mereka dan menjawab pertanyaan sahabat yang bertanya itu dengan jawaban yang argumentatif. Dari sini, menegakkan kalimat tauhid tidak dibatasi ruang dan waktu. Walau dalam peperangan sekalipun. Bukankah memerangi orang yang memusuhi Islam merupakan pengejawantahan dari menegakkan kalimat tauhid ?

Kedua, istiqamah dalam membuktikan kebenaran kalimat syahadah (Al-Mudaawamatu ‘ala shidqi al-iradah). Sikap ini mensifati keseharian Mukmin sejati dengan terus membuktikan kalimat-Nya. Istiqamah jenis ini terefleksikan pada kerinduan untuk menyongsong "kematian" sebagai seorang syahid dalam peperangan. Fenomena bom-manusia (human bomb) dalam melawan Zionis Israel seperti yang dilakukan oleh pejuang Palestina ataupun pasukan Hizbullah di Libanon dalam melawan tentara Israel dapat dicermati dari konteks ini. Dan itu sama sekali bukan bunuh diri. Jadi, bagi seorang mustaqim, menjemput atau dijemput kematian, tidak adanya yakni guna membuktikan dan menyaksikan kebenaran dan keesaan Tuhan. Dalam hal ini, para Imam Ahlul Bayt as. merupakan hujjatullahi ‘ala khalqihi, bukti Allah atas makhluk-makhluk-Nya. Karena di dalam diri mereka-lah, refleksi kebenaran kalimat syahadah terpancar dan mewangi di langit sejarah.

Ketiga, istiqamah dalam ketaatan (kepada Imam atau pemimpin) dan ibadah (kepada Allah). Imam Al-Syafi’i pernah menyampaikan bahwa orang awam yang mengikuti (ber-taqlid) petunjuk imam akan selamat di hari kiamat. Tentu, taqlid ini sebatas pada petunjuk-petunjuk ibadah (‘ubudiyyah) yang ditujukan kepada orang awam yang tidak mengetahui ilmunya. Adapun untuk urusan akidah, seyogyanya orang awam berpikir mandiri dan dilarang ber-taqlid. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa syarat-syarat ulama (fukaha) yang dapat diikuti petunjuknya adalah mereka yang menjaga dirinya, menjaga agamanya, tidak mengikuti hawa nafsunya, dan taat terhadap Tuhannya.

Dengan demikian, ber-taqlid bukanlah suatu perbuatan tercela. Bahkan merupakan suatu keniscayaan bagi orang yang awam terhadap petunjuk-petunjuk ibadah. Sama halnya sikap orang awam terhadap masalah kesehatan, dia mesti merujuk kepada ahli kesehatan.

Keterkaitan antara taat kepada imam serta ibadah kepada Allah bisa diikuti isyaratnya dari beberapa ayat. Alquran mengatakan,"Wahai orang-orang yang beriman ! Taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, dan Ulil Amri kalian..." (QS An-Nisa’, 4 : 59). Allamah Thabathaba’i dalam Al-Mizan-nya setelah mengkritik pendapat mufasir lain dalam menafsirkan pengertian Ulil Amri mengatakan, "...Tiada lain yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah suatu kesatuan orang-orang ma’shum yang seluruh ucapan mereka wajib ditaati. Oleh karena itu untuk mengetahui siapa mereka ini sebenarnya memerlukan ketetapan dari firman Allah SWT atau sabda Nabi-Nya. Ternyata menurut riwayat-riwayat yang berjalur kepada para Imam Ahlul Bayt as. , Ulil Amri adalah mereka ini." Lebih jauh Allamah menyebutkan, "...maka hukum menaati Ulil Amri dengan menaati Rasulullah sebagaimana ditunjukkan oleh ayat ini (surah An-Nisa’, 4:59). Dengan kata lain, di sini ada hirarki ketaatan yakni taat kepada Ulil Amri ( Imam –red.) berarti taat kepada Rasulullah Saww. dan taat kepada Rasulullah Saww. berarti taat kepada Allah SWT. Adapun mengikuti petunjuk dari fuqaha yang memenuhi empat syarat seperti dalam hadis tersebut, merupakan salah satu refleksi ketaatan kepada Allah juga.

Sebagaimana Imam Al-Syafi’i, Muhsin Qira’ati (1996) menyebutkan bahwa taat kepada imam merupakan salah satu syarat diterimanya amal saleh. Inilah sikap istiqamah yang sejati. Riwayat berikut merupakan salah satu bukti betapa ketaatan kepada imam atau pemimpin yang sah amatlah diperlukan.

Dikisahkan pada suatu saat Sahl bin Hasan Al-Khurasani menemui Imam Ja’far Al-Shadiq dan bertanya kepadanya, "Wahai putra Rasulullah ! Anda tidak pantas duduk berpangku tangan menyaksikan hak Anda (telah dirampas), sedangkan di Khurasan ada seratus ribu orang siap berperang di samping Anda dan membela Syi’ah Anda."
Imam Ja’far as. menjawab, "Wahai Sahl, apakah kamu termasuk bagian dari mereka ?"
"Benar dan saya berani bersumpah."
Lantas Imam mepersilakannya duduk dan menyuruh pelayannya untuk menyalakan api di sebuah tungku besar. Setelah api yang ada di tungku itu membara, Imam menoleh kepada Sahl seraya berkata, "Apakah kamu termasuk orang yang akan mengikuti perintahku ?"
"Benar dan saya berani bersumpah," jawab Sahl.

Maka Imam Al-Shadiq pun menyuruhnya berdiri dan masuk ke dalam tungku tadi. Sahl mengelak, "Wahai putra

Rasulullah ! Apakah Anda akan membunuhku ?"

"Sebenarnya kamu telah terbunuh," kata Imam.

Pada waktu yang bersamaan, Abu Harun datang. Begitu selesai mengucap-kan salam, Imam menyuruhnya agar masuk ke dalam tungku tersebut. Tanpa bertanya Abu Harun memenuhi perin-tah Imam. Ia segera menanggalkan sandal dan bajunya dan masuk ke dalam tungku yang menyala itu. Lantas Imam menyuruh pelayannya untuk menutupnya. Imam menoleh kepada Sahl bin Hasan yang memohon untuk memeperlihatkan keadaan yang bakal terjadi pada Abu Harun.

Kemudian beliau dan Sahl datang ke tempat semula dan membuka tungku yang masih tertutup. Di dalamnya didapati Abu Harun sedang duduk di atas tumpukan abu yang telah padam. Imam menyuruhnya keluar dari tungku itu. Abu Harun dalam keadaan tetap segar bugar, tidak kurang suatu apapun. Imam berkata,"Wahai Sahl, apakah kamu menjumpai orang seperti ini di Khurasan ?"

"Tidak pernah aku menjumpai yang seperti itu di sana, wahai putra Rasul," jawab Sahl.

Dari riwayat tersebut betapa taat kepada imam atau pemimpin yang sah merupakan syarat mutlak dalam perjuangan Islam. Dalam aras tertentu, secara mistis, ketaatan kepada imam membawa karamah-karamah tertentu yang sangat tidak terduga.
 
Kesimpulan

Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa : (1) Mukmin sejati secara ideal harus mengejawantahkan syahadah primordialnya dalam kehidupan sehari-hari; (2) Mukmin sejati mewarnai seluruh kehidupannya mulai dengan meyaksikan keesaan Tuhan (syahadah) sampai dengan mengorientasikan hidup pada yaumil akhir (hari akhir) sebagai pembuktian keesaan Tuhannya; (3) Mukmin sejati adalah seorang yang beristiqamah (mustaqim) yang konsisten terhadap pen-dawam-an kalimat syahadah, konsisten terhadap pembuktian kebenaran kalimat syahadah, serta konsisten dalam ketaatan kepada imam atau ulama serta ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Wallahu a’lam bishawab