Pengantar :
Sudah sering rasanya doa-doa kita panjatkan kepada Allah Swt. Baik berupa doa harian, doa mingguan (seperti doa Kumayl), doa bulanan (seperti Munajat Sya’baniyyah atau doa Iftitah di bulan Ramadhan), maupun berupa doa tahunan. Tapi tak jarang kita hanya terpaku pada bagaimana mengucapkan huruf-huruf dari doa itu sebaik-baiknya, sehingga hal ini mengabaikan kandungan doa itu sendiri. Pada gilirannya, kita merasa cukup dengan "hanya membaca doa". Tentu perlu pemaknaan yang lebih serius atas setiap doa kita. Nah, agar dalam pemaknaan doa itu tidak kering dari makna terdalamnya, redaksi menurunkan artikel seputar doa dalam tatapan filosofis. Semoga ini bisa bermanfaat.
MAKNA FILOSOFIS DOA
 
Terlepas dari pahala doa dan terlepas dari efek jawaban terhadap jawaban yang dihasilkan oleh doa – dengan menganggap bahwa doa itu tidak hanya sekadar pengucapan atau pembacaan dan telah menjadi satu dengan hati sehingga ruhani manusia membumbung naik – doa itu sendiri mengandung aspek ruhani yang sangat luhur. Seakan-akan manusia melihat dirinya sendiri tersampul cahaya, dan hanya pada saat itulah ia memahami arti kesucian dari permata kemanusiaan. Lalu ia memahami betapa rendahnya, betapa hina dan aibnya urusan-urusan kecil yang menyibukkan dan mengganggu dia pada saat-saat lainnya.
Apabila seseorang meminta sesuatu kepada selain Allah maka ia merasa hina dina dan aib. Namun ketika memohon kepada Yang Mahatinggi, ia merasakan suatu perasaan kekuatan dan kemuliaan. Oleh karena itu, maka doa adalah adalah pencarian dan yang dicari sekaligus. Para pecinta Allah tidak menyukai sesuatu lainnya lebih daripada doa. Mereka mempercayakan seluruh hasrat dan keinginannya kepada Yang Tercinta yang sesungguhnya. Dan mereka menekankan pentingnya lebih besar kepada pencarian, hasrat, dan doa lebih dari yang mereka inginkan dan mereka hasratkan.
Mereka tidak pernah merasa kepayahan, dalam kata-kata Imam ‘Ali as kepada Kumail bin Ziyad An-Nakha’i : "pengetahuan dan pengertian akan Kebenaran yang selengkapnya tercurah kepada mereka dan mereka mengalami kegembiraan akan kepastian dan kebenarannya. Orang-orang ini merasa bahagia dengan apa yang ditakuti oleh manusia-manusia berjiwa duniawi dan oleh mereka dipandang sebagai yang tidak menyenangkan dan menyulitkan, dan orang-orang ini merasakannya sebagai menyenangkan. Mereka menjadi mengenal apa yang membuat orang-orang yang tidak mengenalnya lari, dan bertemu dengan orang-orang yang badan-badan dan jiwanya terhubungkan dengan dunia kerajaan yang tinggi."
 
 
Jalan dari Hati kepada Tuhan
Setiap orang mempunyai jalan menuju Tuhan dari hatinya, suatu pintu pada setiap hati yang menuju Tuhan. Dalam keadaan-keadaan sulit dan sukar, ketika tidak nampak adanya harapan atau sesuatu jalan apapun lainnya, bahkan orang-orang yang paling jahat sekalipun akan menyadari dan meminta pertolongan Tuhan. Ada suatu kecenderungan dalam hakikat wujud manusia yang kadang-kadang diliputi dosa dan kekejaman. Pada saat-saat sulit dan terdesak, penghalang ini tersingkir dan naluri alami manusia dengan sendirinya menjadi hidup.
Pada suatu saat orang bertanya kepada Imam Ja’far Ash-Shadiq tentang bukti adanya Tuhan. Imam as bertanya kepadanya, "Pernahkah Anda menumpang kapal ?" Orang itu mengiakannya.
Imam Ja’far bertanya lagi, "Pernahkah terjadi badai yang mengancam tenggalamnya kapal itu sehingga seluruh harapan Anda putus sama sekali ?" Orang itu mengiakan, "Sesungguhnyalah peristiwa semacam itu telah terjadi."
"Pada saat-saat seperti itu, " kata Imam Ja’far, "hati Anda terpusat ke suatu titik dari mana Anda mengharapkan suatu pertolongan dan perlindungan, Anda memohon kepada ‘titik’ itu untuk menyelamatkan Anda ?" Orang itu pun mengiakannya.
Imam Ja’far menunjukkan kepadanya bahwa Tuhan, melalui hatinya sendiri : "dan pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tiada memperhatikannya ?" (QS 51 : 21). Kecenderungan dan perhatian dalam wujud manusia inilah yang mengarahkan dia kepada Yang Mahakuasa. Kekuatan yang mahabesar yang berada di atas jalan-jalan dan sebab-sebab yang dangkal, pada suatu saat ketika segala jalan lainnya telah musnah, merupakan bukti adanya Kekuasaan itu. Apabila tidak ada kekuatan semacam itu, maka tidak akan ada kecenderungan itu.
Tentu saja ada suatu perbedaan antara kecenderungan yanga ada dalam wujud suatu pribadi dengan pribadi yang sepenuhnya menyadari akan hal itu dan mengetahui tujuan dari kesadaran itu. Hasrat dan keinginan menyusu terdapat pada bayi sejak awal mula kehidupannya. Apabila saja ia merasa lapar dan timbul kebutuhan itu pada dirinya, hasrat dan keinginannya itu dimotivasikan dan membimbingnya untuk mencari puting susu ibunya yang belum pernah dilihatnya sebelum ini, tidak dipahami dan tidak dikenalnya. Kecenderungan itu sendiri membimbingnya, mendorongnya untuk membuka mulutnya untuk mencari makanannya, apabila ia tidak mendapatkannya maka ia pun menangis. Menangis itu sendiri adalah meminta pertolongan dari ibunya, si ibu yang masih asing baginya dan eksistensinya belum disadarinya. Si bayi itu sendiri tidak mengetahui tujuan di balik kecenderungannya, sasaran dari tangisannya. Ia tidak mengetahui sebab dari kecenderungan yang muncul pada dirinya. Ia tidak mengerti akan sistem pencernaan dan bahwa sistem pencernaan itu membutuhkan makanan. Si bayi itu malah tidak mengetahui bahwa ia menghendaki makanan. Ia tidak menyadari bahwa sebab di balik tangisannya itu adalah pemberitahuan kepada ibunya, bahwa ibu yang tidak dikenalnya itu, tetapi yang secara berangsur-angsur akan dikenalnya, tentang lapar dan kebutuhannya itu.
Dalam hal manusia ia mempunyai kecenderungan untuk mencari Tuhan untuk berdoa dan memohon kepada Tuhan yang belum pernah dilihatnya, kita berada dalam posisi yang sama seperti si bayi yang mencari tetek ibunya yang belum pernah dilihatnya dan menangis kepada ibunya yang tidak dikenal dan tidak diketahuinya.
"Sesungguhnya kita adalah dari Allah dan kepada-Nyalah kita akan kembali (QS 2 : 156).
"Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan" (2 : 210)
Tentu saja sekiranya buah dada si ibu dan susu yang sesuai dengan perut si bayi tidak ada, maka instinknya tidak akan membawa dia ke arah itu. Ada suatu mata rantai hubungan antara instink ini dan adanya makanan itu. Hal yang sama seperti itu pun berlaku dengan segala macam kecenderungan yang tertanam dalam wujud diri tanpa suatu maksud dan tujuan. Sebaliknya, segala kecenderungan itu tertanam karena adanya kebutuhan dan pemenuhan atas kebutuhan itu.
 
Isolasi yang Dipaksakan dan Penyendirian Karena Pilihan
Manusia mungkin mencari Tuhan dalam dua situasi. Salah satu daripadanya ialah ketika segala jalan dan usaha telah terputus dan dia terlibat kesulitan dan kemudaratan, dan yang lainnya ialah ketika ruhaninya membumbung dan dia memisahkan dirinya sendiri dari jalan-jalan dan sebab-sebab itu. Pada saat-saat kemudaratan ketika ia tidak memperoleh jalan sendiri, manusia secara otomatis bergerak menuju Tuhan, tanpa perlu diminta untuk berbuat demikian. Namun ini bukanlah suatu penyempurnaan dari jiwa manusia itu sendiri, penyempurnaan dari jiwanya terjadi apabila ia dengan sengaja memutuskan dirinya dari hubungan dengan yang duniawi dan membumbung ke atas [yakni penyendirian karena pilihan – red].
 
Syarat-syarat Doa
Perbuatan berdoa mempunyai persyaratan. Syarat yang pertama ialah bahwa hasrat dan kehendak sesungguhnya muncul dalam eksistensi manusia itu sendiri, sehingga setiap unsur dalam dirinya menjadi manifestasi hasrat dan apa yang dikehendakinya menjadi suatu kebutuhan yang mendesak. Tepat ketika suatu kebutuhan muncul pada suatu bagian dari badan manusia, maka organ-organ dan anggota-anggota badan yang lain mulai bekerja untuk memenuhi kebutuhan itu, bahkan mungkin suatu organ mengurangi sebagian besar kegiatannya karena adanya kebutuhan yang muncul pada bagian tubuh yang lainnya, seperti umpamanya, ketika haus menguasai manusia; efek kehausan itu muncul di pipinya sementara kerongkongannya, hati, perut, bibir, dan lidahnya semuanya menyerukan "Air !", sehingga seseorang yang tidur dalam keadaan haus semacam itu akan memimpikan air, sehingga kebutuhan ruhani manusia itu – yang merupakan bagian dari suatu dunia penciptaan – adalah sama halnya dalam hubungan dengan seluruh dunia. Ruhani manusia adalah bagian dari dunia eksistensi, dan apabila suatu hasrat dan keinginan muncul dalam dirinya, sistem yang agung dari dunia penciptaan tidak akan meninggalkannya.
Ada terdapat suatu perbedaan besar antara sekadar mengucapkan suatu doa dan permohonan doa yang sesungguhnya. Hasrat dan kebutuhan haruslah sungguh-sungguh dan sebenar-benarnya muncul dari hati manusia itu. Seorang penyair telah mengatakan :
Apabila tumbuh, tumbuh dari kebutuhannya
Maka si pencari mendapatkan
Apa yang dicarinya
Barangsiapa menjadi pencari,
Untuk mendapatkan tujuan
Bahannya sakit
Dan prinsipnya ridha
Apabila ada obat bagi
Kemalangannya
Ke sanalah perginya
Apabila ada bumi yang rendah
Ke sanalah air mengalir
Jarang mencari air
Dan haus diperoleh
Sehingga apabila air di dalam
Wujudmu
Menggeledah dari atas dan
Bawah. Seperti itulah Alquran
Mengatakan kepada kita :
....siapakah yang
memperkenankan doa
orang kecemasan di dalam
kebutuhan ?" (QS 27 : 62)
 
Iman dan Keyakinan Akan Dikabulkan
Suatu syarat doa lainnya ialah iman dan keyakinan. Iman akan rahman dan rahim yang tiada batasnya dari Yang Mahaesa, iman bahwa tidak ada rintangan bagi-Nya untuk melimpahkan rahmat-Nya, iman bahwa pintu Ridha Allah tidak pernah tertutup bagi hamba-hamba-Nya dan bahwa kekurangan dan kesalahan terletak pada makhluk. Telah disebutkan dalam suatu hadis : "Apabila Anda berdoa memohon sesuatu, maka anggaplah bahwa apa yang Anda hasratkan itu sesungguhnya terletak di balik pintu."
Imam Zainal ‘Abidin dalam doanya yang dikenal sebagai Doa Abi Hamzah Ats-Tsimali yang membumbung dengan harapan dan keyakinan serta yang didoakannya pada waktu sahur menjelang subuh dalam bulan Ramadhan yang penuh berkah, berkata kepada Tuhan :
Ya Allah, aku melihat jalan-jalan
Permohonan kepada-Mu terbuka dan terbentang
Aku melihat pengairan dari
Harapan dalam diri-Mu
Berlimpah-limpah
Aku melihat pertolongan dari
Rahmat-Mu
Dan keridhaan-Mu
Oleh orang yang mengharap
Pada-Mu
Untuk diperkenankan, dan
Melihat pintu-pintu doa terbuka
Bagi orang yang berseru
Kepada-Mu
Dan aku yakin bahwa Engkau
Sedia menjawab doa
Orang-orang yang berdoa
Dan memberikan perlindungan
Kepada yang mencarinya
Dan aku tahu dengan yakin,
Bahwa mencari pertolongan
Dalam Kemahakuasaan-Mu
Dan dipuaskan dengan keputusan-Mu
Mencukupi kekurangan
Dari kemelaratan si melarat
Dan penindasan si penindas
Kesesuaian Sistem Penciptaan dan Sunatullah
Suatu persyaratan doa lainnya adalah bahwa doa itu tidak boleh bertentangan dengan sistem penciptaan dan sunnah Ilahi. Doa adalah untuk mencari pertolongan dan bantuan agar manusia itu mencapai tujuan-tujuan yang telah dispesifikasikan baginya dalam kerangka penciptaan dan dalam sunatullah yang sejalan dengan hukum alam dan penciptaan. Apabila doa itu demikian, maka ia mengambil bentuk kebutuhan yang alami dan orang yang berdoa itu ditolong dan dibantu oleh sistem penciptaan yang, karena keseimbangan dan keharmonisan yang dianugerahkan kepadanya, memeberikan rahmat dan kebaikan apabila ada kebutuhan. Namun, sekiranya meminta dan menuntut suatu hal tertentu bertentangan dengan tujuan penciptaan dan sunatullah, seperti umpamanya meminta hidup abadi di dunia ini, maka permintaan semacam itu bukanlah sesungguhnya doa, dan tidak akan dikabulkan.
 
Sesuai dengan Keadaan Orang yang Berdoa
Satu persyaratan lainnya ialah bah situasi-situasi lainnya dari kehidupan orang yang berdoa itu seharmoni dengan tujuan-tujuan penciptaan dan sunnah Allah. Hati harus suci dan bersih, nafkah hidupnya harus diperoleh dengan jalan yang halal, dan orang yang berdoa itu tidak boleh berbeban dengan apa yang diperolehnya dari manusia secara haram. Imam Ja’far Ash-Shadiq as mengatakan : "Apabila seseorang di antara kamu menghendaki agar doanya dikabulkan, ia harus membersihkan pekerjaannya dan membersihkan dirinya dari apa yang diperolehnya secara tidak halal dari manusia. Karena Allah tidak menerima doa dari seorang hamba yang mengandung sesuatu yang diperoleh menjadi miliknya dari orang lain secara tidak halal."
 
Keadaan si Pemohon Bukanlah sebagai Akibat Dosanya
Salah satu syarat lainnya lagi ialah bahwa keadaan orang yang berdoa itu, yang diharapkannya akan berubah dan dipulihkan, bukanlah sebagai akibat yang langsung dari pelanggarannya atas tanggung jawab dan kewajibannya. Dengan kata lain, keadaan dari mana si pendoa itu mengharapkan kelepasannya bukanlah hukuman dan akibat yang logis dari dosa-dosanya; karena apabila demikian halnya maka keadaannya tidak akan berubah sampai dia bertobat dan memperbaiki dirinya. Umpamanya amar makruf nahi munkar adalah suatu kewajiban. Kesejahteraan dan kerusakan masyarakat sepenuhnya tergantung pada terlaksana atau tidaknya prinsip ini. Konsekuensi yang logis dari sikap mengabaikan amar makruf nahi munkar ini ialah terbukanya jalan bagi para penjahat untuk menguasai masyarakat.
Apabila orang lalai memenuhi kewajiban ini dan tertimpa akibat yang logis dari dosa karena kelalaian mereka, kemudian mereka hendak melepaskan diri dari penderitaannya melalui doa, maka hal itu adalah sesuatu yang mustahil. Satu-satunya jalan dalam hal ini ialah bertobat dan kembali lagi kepada prinsip amar makruf nahi munkar dengan segala kemampuannya. Dalam hal ini secara berangsur-angsur mereka akan mencapai tujuannya serta maksud yang didambakannya. "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (13 : 11).
Sunnah Allah berarti bahwa sementara orang tidak menghendaki untuk mengubah kondisi mereka sendiri dalam hal-hal yang berhubungan dengan mereka, maka Tuhan tidak akan mengubah kondisi-kondisi itu bagi mereka. Dikatakan dalam suatu hadis yang sahih : "Kamu harus menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran atau (apabila tidak demikian maka) Allah pasti akan menempatkan kejahatan itu di antara kamu, lalu orang-orang yang baik di antara kamu akan berdoa tetapi doa mereka tidak akan dikabulkan." Sesungguhnya doa seperti itu juga bertentangan dengan sistem penciptaan dan sunnah Allah.
Hal yang sama juga berlaku apabila seorang manusia hanya semata-mata berdoa dan tidak berusaha dengan tindakan. Orang ini pun melakukan sesuatu yang bertentangan dengan sistem penciptaan dan sunatullah. Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib as mengatakan : "Orang yang berdoa tapi tidak berbuat adalah ibarat orang yang hendak memanahkan anak panah dengan busur tanpa tali pelentingnya." Ini berarti bahwa tindakan dan perbuatan saling mengisi dan doa tanpa tindakan tidaklah efektif.
 
Doa Tidak Boleh Dijadikan Pengganti Tindakan
Suatu syarat lain ialah bahwa doa itu haruslah merupakan manifestasi kebutuhan yang sesungguhnya, dalam keadaan di mana manusia tidak mempunyai jalan untuk memperoleh apa yang didambakannya, ketika ia tidak berdaya dan tidak berkemampuan. Apabila Allah telah menganugerahkan kepada manusia kunci bagi kebutuhannya, namun ia menyia-nyiakan rahmat itu dan tidak hendak menggunakan kunci itu lalu memohon kepada Tuhan untuk membukakan pintu itu dengan kunci yang telah ada di tangannya sendiri dan membebaskannya dari beban untuk menggunakan kunci itu, maka tentu saja doa semacam itu tidak patut dikabulkan.
Doa-doa seperti itu harus pula dimasukkan dalam kategori doa yang menentang sistem penciptaan. Doa adalah untuk mendapatkan kemampuan, dan berdoa ketika Tuhan telah menganugerahkan kemampuan yang dikehendaki itu kepada manusia, samalah halnya dengan berusaha untuk mendapatkan apa yang sesungguhnya telah diperolehnya. Hal itu adalah ibarat orang yang berjalan di sepanjang tembok miring yang akan runtuh sambil mendoakan agar tembok itu tidak runtuh dan menimpanya; ia melihat tembok itu hendak runtuh, tetapi ia tidak hendak menyingkir dari situ, sambil terus berdoa supaya tembok itu tidak runtuh dan menimpanya. Atau, ibarat orang yang duduk-duduk di dalam rumah, tidak mau bekerja, dan terus berdoa kepada Tuhan untuk memberikan nafkah kepadanya. Dalam hal-hal seperti ini doa itu tidak ada gunanya dan kosong dari kejiwaan. Hal-hal semacam ini disebutkan di sini sebagai contoh-contoh untuk saat-saat ketika seorang manusia mampu mencapai tujuan dan maksudnya melalui tindakan, kebijaksanaan, dan penalaran pikiran, namun hendak menggantikan tindakan dan usaha dengan doa. Ini tidak benar. Dalam sistem penciptaan, doa bukanlah pengganti usaha dan tindakan, tetapi sebagai pelengkap yang melengkapi usaha dan tindakan.
 
Nikmatnya Doa
Orang-orang yang menikmati kesenangan berdoa dan membebaskan diri dari segala ciptaan, untuk bergerak ke arah Al-Khaliq (Pencipta), tidak akan mengenal kebahagiaan dan nikmat yang lebih besar dari itu. Bagi orang-orang seperti ini doa mencapai puncak kekuatan, kemuliaan, keluhuran, dan berkat. Hal itu meliputi orang yang berdoa itu dalam kelapangan dan ia melihat bahwa suatu keridhaan Ilahi yang istimewa meliputi dirinya. Ia menyaksikan akibat dari doanya dikabulkan : Allah, anugerahkanlah kiranya kepada saya nikmat yang sebaik-baiknya atas apa yang saya keluhkan kepada-Mu, dan karuniakanlah kiranya kepada saya merasakan rasa kemurahan dalam anugerah-Mu atau apa yang saya mohonkan daripada-Mu.
Orang-orang yang bijaksana mengatakan bahwa ada perbedaan antara pengetahuan yang yakin (ilmul yaqin), penglihatan yang pasti (‘ainul yaqin) dan kepastian yang sesungguhnya (haqqul yaqin). Mereka mengajukan contoh sebagai berikut : bayangkanlah akan api; ada saatnya ketika Anda melihat akibat dari api. Umpamanya, Anda melihat gumpalan asap. Anda tahu bahwa di sana ada api darimana asap itu membumbung ke langit; ini pengetahuan yang pasti, ‘ilmul yaqin. Pada saat lainnya, Anda melihat api itu sendiri dari dekat; ini penglihatan yang pasti dan lebih tinggi tarafnya dari ‘ilmul yaqin, karena ini berarti penyaksian sendiri. Pada saat yang lain Anda berada demikian dekatnya kepada api itu sehingga Anda merasakan hangat dan panasnya; ini namanya haqqul yaqin.
Manusia mungkin dengan sepenuhnya menyadari akan Tuhan serta percaya dengan mengakui Ada-Nya, tetapi dalam kehidupannya sehari-hari ia tidak berhasil melihat kenikmatan-kenikmatan yang istimewa yang ada saat-saatnya dianugerahkan Tuhan kepada hamba-hamba-Nya. Ini tingkatan yang dinamakan tingkat ‘ilmul yaqin. Tetapi ada saat-saatnya ketika ia sesungguhnya menyaksikan efek-efek dari Tauhid dan ia melihat doa-doanya terkabul. Ia percaya dan berandal kepada Tuhan, ia menolak kepercayaan kepada yang lain kecuali Tuhan, dan sepanjang hidupnya ia melihat efek-efek dari keyakinan dan kepercayaannya. Singkatnya, ia menyaksikan efek-efek Tauhid (Ketuhanan Yang Mahaesa), inilah ‘ainul yaqin. Hamba-hamba Allah yang beruntung mencapai tahap ini, yang yakin dan percaya kepada Allah dan menyaksikan efek-efek dari doa-doanya. Mereka merasakan kenikmatan-kenikmatan yang sangat tinggi yang sukar untuk kita bayangkan. Tahap yang lebih tinggi tentu saja ialah apabila orang yang berdoa itu melihat dirinya sendiri mempunyai kontak yang langsung dengan Hakikat Ilahi. Sesungguhnya ia tidak lagi melihat dirinya sendiri, ia melihat tindakan itu sebagai Tindakan-Nya, atribut-atribut itu sebagai Atribut-Nya, dan, singkatnya, ia melihat Tuhan dalam segala sesuatu.
Apabila seorang manusia mempelajari suatu kerajinan (craft), belajar ilmu pengetahuan dan teknologi, kemudian setelah belajar selama bertahun-tahun dengan sakit dan susah payahnya, ia melihat untuk pertama kalinya hasil karyanya – umpamanya ia melihat pasien yang disembuhkannya, bangunan yang didirikan sesuai dengan perhitungannya – maka ia akan merasa senang. Ia merasakan suatu kebanggaan dalam dirinya, dan ini merupakan suatu bentuk kenikmatan yang dirasakan apabila seorang manusia melihat hasil usahanya sendiri.
Alangkah bahagianya seorang manusia apabila ia menyaksikan hasil dari imannya ! Apabila ia melihat kenikmatan yang khusus dari Allah ! Kehormatan yang dirasakan seorang manusia karena berhasil di dalam jalan Tauhid ! Sungguh kenikmatan dan kebesaran hati yang dialami dalam keadaan seperti itu adalah seribu kali lebih besar, lebih nikmat, dan lebih manis dibanding dengan keadaan bagaimanapun juga. Semoga Allah memandang kita sebagai yang patut berdoa dan memohon kepada-Nya untuk menikmati manfaat dari kemajuan ruhani yang suci itu.[]