USAHA DAN REZEKI
Muhammad Ali Al-Hasan

Kalau kita perhatikan definisi rezeki, maka jelaslah bagi kita kesalahan yang telah tersebar, bahwa usaha itu adalah penyebab datangnya rezeki. Asumsi yang seperti ini, adalah asumsi yang salah sama sekali. Karena kita masih banyak menyaksikan orang yang dengan gigih berusaha untuk mendapatkan rezeki yang ia inginkan, namun rezeki itu tidak kunjung datang. Kita juga masih banyak melihat orang yang tidak berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan rezeki, namun rezeki itu datang kepadanya dengan tanpa disangka-sangka. Di dalam Alquran juga telah ada tuntunan yang dapat memperkokoh pendapat ini. Allah Swt telah menceritakan kepada kita, tentang sebuah kejadian antara Nabi Musa as, dengan seorang hamba yang saleh dan telah diberi ilmu pengetahuan oleh Allah Swt. sebagaimana firman-Nya:

"Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak muda yang yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya seorang yang shaleh, maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya, dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu, dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya."(QS. Al-Kahfi: 82).

Harta simpanan orang saleh tersebut berada di sebuah kota, di mana penduduknya sangat kikir, dan tidak mau memberi makan terhadap Nabi Musa as dan Nabi Khidhir as., sementara bangunan yang di bawahnya terdapat sebuah simpanan harta benda yang hampir roboh. Kemudian Nabi Khidhir as. membangunnya kembali, sehingga bangunan itu tidak roboh, kecuali setelah kedua anak itu dewasa dan dapat menjaga harta simpanan itu dengan sebaik-baiknya. Padahal kalau kita berpikir sejenak, maukah kita membangun sebuah bangunan dengan tanpa ongkos atau upah? Namun ternyata Nabi Khidhir ini membangun sebuah bangunan dengan tanpa mengharapkan ongkos dan upah sama sekali, atas perintah Allah Swt, agar harta simpanan kedua anak itu dapat terjaga dengan baik. Harta simpanan itu sendiri merupakan rezeki bagi orang-orang miskin yang berada di tengah-tengah penduduk yang kikir itu.

Kisah yang dipetik dari Alquran tersebut, maupun kisah-kisah nyata lainnya yang terjadi di tengah-tengah kita, dapat memberi kejelasan bagi kita, bahwa usaha itu bukanlah penyebab datangnya rezeki. Karena sebuah sebab dapat memberikan nilai terhadap musabab. Kita dapat menyaksikan Alquran menceritakan kisah tersebut, kemudian diperkuat dengan kejadian-kejadian yang terpampang di depan mata kita, bahwa ada orang yang tidak berusaha, namun dia mendapatkan rezeki. Maka hal ini dapat memperkokoh keyakinan kita, bahwa usaha itu bukanlah penyebab datangnya rezeki. Namun dapat kita katakan, bahwa usaha itu merupakan keadaan dan hiasan serta pembungkus yang dapat memberikan nilai tersendiri terhadap rezeki. Sebab rezeki itu sendiri tidak datang dari usaha [kita semata-mata].

Jadi rezeki merupakan cakupan keagungan Allah Swt, yang di dalamnya terdapat hikmah yang sempurna, namun kita masih belum memahaminya.1 Kita lihat bahwa rezeki itu tidak datang dengan adanya usaha kita, dan dia juga tidak hilang dengan keinginan kita. Di dalam suatu kesempatan, kita dapat melihat beberapa kasus tentang nilai sebuah usaha terhadap eksistensi rezeki. Di dalam kesempatan lain kita juga melihat beberapa kasus, di mana sebuah usaha kita tidak mempunyai nilai sama sekali terhadap eksistensi rezeki. Beberapa kasus yang dapat kita lihat tersebut, dapat memberikan pelajaran kepada kita bahwa di balik usaha itu terdapat sebuah kekuatan yang dapat mengatur perjalanan dan eksistensi rezeki itu sendiri. Kekuatan itu dapat diketahui melalui perasaan, dan eksistensinya dapat diketahui dengan adanya tanda-tanda yang ditimbulkannya. Sebagaimana kita mengetahui bahwa Allah Swt itu ada, dengan adanya makhluk yang ada di alam semesta ini. Al-Ghazali pernah berkata: "Barangsiapa yang memperhatikan perjalanan sunnatullah, maka dia akan mengetahui bahwa rezeki itu datang bukanlah disebabkan oleh adanya usaha. Pada suatu hari, datanglah seorang yang telah kehilangan semangat kepada seorang hakim, lantas menanyakan tentang mengapa ada seorang yang bodoh, namun dia mendapatkan rezeki yang layak, sedangkan di sisi lain, ada seorang yang mempunyai otak cemerlang, namun tidak mendapatkan rezeki yang layak. Mendengar pertanyaan itu, sang hakim menjawab: "Jika setiap orang yang mempunyai otak cemerlang mendapat rezeki yang layak, dan setiap orang yang bodoh tidak mendapatkan rezeki yang layak, maka akan timbul sebuah asumsi, bahwa seorang yang mempunyai otak cemerlang dapat memberikan rezeki terhadap temannya. Akibatnya, setelah orang lain tahu dan berpandangan bahwa yang dapat memberikan rezeki itu adalah temannya sendiri, maka tidak ada artinya usaha yang mereka lakukan untuk mendapatkan rezeki tersebut." 2 Seorang penyair pernah melantunkan syairnya:

Kalaulah semua rezeki hanya berjalan di telapak tangan orang cemerlang,

maka hancurlah binatang-binatang yang bodoh.

Adapun tanggung jawab terhadap sebuah pekerjaan, merupakan sebuah keharusan bagi setiap manusia. Namun yang tidak dapat dilupakan adalah bahwa Allah Swt mempunyai hak untuk mengatur rezeki bagi setiap manusia. Faktor yang kedua inilah yang sangat menentukan dibandingkan usaha yang direalisasikan oleh manusia. Bahkan masuknya rezeki tidak dapat diperhitungkan, begitu juga dengan keluarnya. Dia datang dan pergi di luar sepengetahuan manusia. Hal itu disebabkan adanya rezeki itu di bumi, sedangkan penyebabnya berada di langit. Sebagaimana firman Allah Swt di dalam kitab suci Alquran:

"Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu (rezeki yang ada di langit seperti turunnya hujan yang dapat menyuburkan tanaman-tanaman yang menjadi sebab rezekimu dan sebagainya) dan terdapat (pula) ada yang dijanjikan kepadamu (ialah takdir Allah terhadap tiap-tiap manusia yang telah ditulis di Lauhul Mahfudz). Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan." (QS. Adz-Dzâriyat: 22-23).

Ayat di atas dapat memperkuat pandangan bahwa rezeki itu berada di tangan Allah Swt. dan di dalam ayat tersebut, ada beberapa alat untuk memperkuat kandungan yang terdapat di dalamnya, sebagaimana yang telah diterangkan oleh para ulama, bahwa tidak ada taklid yang lebih kuat dibandingkan taklid yang ada di dalam ayat yang menerangkan tentang rezeki. Untuk lebih jelasnya, marilah kita lihat sejenak tentang taklid yang berada di dalam ayat di atas. Pertama, Allah memperkuat ayat itu dengan bersumpah. Hal ini dapat kita lihat di dalam firman-Nya:

"Demi Tuhan langit dan bumi."

Kemudian Dia yang mentaklidnya dengan huruf ( ), kita tahu bahwa huruf itu merupakan Harfu Taukidin wa Nashbin. Kemudian Dia juga memperkuatnya dengan meletakkan huruf ( ) di dalam firman-Nya ( ). Dan huruf Lam tersebut merupakan huruf taukid, karena dia adalah Lam Muzhalaqah, sebagaimana yang telah dikatakan oleh para ahli bahasa. Kemudian Allah Swt juga memperkuatnya dengan memberikannya dengan memberikan huruf ( ) di dalam firman-Nya ( ). Dan akhirnya Dia menguatkannya dengan firman-Nya ( ) dengan tidak berfirman ( ) atau ( ). Adanya taklid yang begitu banyak dan beruntun tersebut, menunjukkan betapa eratnya ( ) (sesuatu yang dibicarakan) dengan ( ) (rezeki). Dari sinilah dapat kita katakan, bahwa pembicaraan tentang rezeki dan mendapatkan rezeki itu berasal dari satu tempat. Sebagaimana jika kita tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain, maka kita tidak akan mendapat rezeki dari orang lain tersebut.

Adanya taklid yang begitu banyak dan beruntun itu, membuat orang Arab desa yang membaca ayat tersebut berkata: "Apakah gerangan yang menjadikan Zat Yang Mahaagung marah sehingga Dia bersumpah. Mungkinkah karena banyak orang yang tidak mempercayai firman-Nya, sehingga Dia bersumpah." Setelah berkata demikian, orang itu membaca ayat tersebut, seraya menghela nafasnya dalam-dalam3. Setelah kita bahas tentang hakikat ini secara panjang lebar, maka dapatlah kita simpulkan bahwa usaha itu bukanlah rezeki dan bahwa usaha tidak berarti akhirnya akan menghasilkan rezeki. Oleh karena itu, sebuah usaha bukanlah penyebab datangnya rezeki, meskipun dia juga sangat dibutuhkan dalam mencari rezeki, namun tidak berarti dia [satu-satunya] akan dapat menambah rezeki. Maksudnya, bukan berarti menghapus peranan usaha, akan tetapi sikap menerima terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah Swt. Ada seorang ulama yang berkata: "Sebenarnya, ketentuan rezekimu tidak mewajibkan kamu untuk bekerja sampai melupkan urusan akhiratmu. Sebab kamu tidak akan mendapatkan masalah duniawi, kecuali sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah Swt."4

Pembicaraan kita tentang rezeki ini, dimaksudkan untuk membendung asumsi-asumsi salah, yang sengaja disebarluaskan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Di antara asumsi-asumsi yang salah tersebut adalah:

Pertama, ada sebuah asumsi yang mengatakan, bahwa rezeki akan berkurang jika dia diinfakkan di jalan yang benar, seperti jihad di jalan Allah, memberi makan terhadap orang-orang fakir dan miskin dan lain sebagainya, yang termasuk ke dalam kategori jalan yang sesuai dengan syariat Islam. Asumsi yang salah ini telah banyak meracuni manusia di zaman modern ini. Bahkan juga telah banyak meracuni orang-orang terdahulu, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Ayyub.

Al-Alusi pernah berkata: "Telah diriwayatkan oleh beberapa orang, dari 'Imran bin Hushain, dia berkata: "Kami pernah berada di Konstantinopel, kemudian, keluarlah satu barisan manusia dengan jumlah yang sangat besar dan terdiri dari orang-orang Romawi, sehingga terbawalah seseorang dari orang-orang Muslim dan masuk ke dalam barisan mereka. Kemudian orang-orang berkata: "Dia telah menjatuhkan dirinya kepada kebinasaan, akibat ulahnya sendiri." Mendengar ucapan itu, berdirilah Abu Ayyub Al-Anshari, seraya berkata: "Sesungguhnya, kalian telah mentakwilkan ayat ini dengan takwilan yang kalian lontarkan. Ayat ini sesungguhnya turun terhadap kami kaum Anshar. Sebab setelah Allah Swt menjadikan agama ini agung dan penolongnya pun banyak, sebagian dari kami berkata terhadap sebagian yang lain dengan secara rahasia dan tanpa melaporkan hal ini kepada Rasulullah saw: "Sesungguhnya harta-harta kita telah hilang dan Allah Swt telah mengagungkan agama ini dan penolongnya pun telah banyak. Kemudian apakah salahnya jika kita bekerja untuk membangun harta kami, dan memperbaiki harta yang telah hilang dari kita."

Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi tentang hal yang serupa, dari Al-Hasan: "Sesungguhnya ucapan kebinasaan itu mempunyai arti kekikiran. Karena kekikiran itu dapat menyebabkan kebinasaan yang kekal."5 Jadi, yang masuk kepada jurang kebinasaan bukanlah orang yang memerangi musuh sehingga dia terbunuh, dan bukan pula orang-orang yang menafkahkan sebagian hartanya atau keseluruhannya di jalan Allah Swt. Namun, yang dimaksud kebinasaan ini adalah meninggalkan jihad di jalan Allah dan infak di jalan-Nya, sebab keduanya tidak akan pernah mengurangi jatah rezeki, sebagaimana yang banyak diasumsikan oleh kebanyakan orang.

Kedua, ada sebuah asumsi bahwa dengan bertambahnya anak, berarti berkurangnya rezeki mereka dan rezeki anak-anak mereka. Sebab, menurut mereka, rezeki yang dibagikan kepada empat orang tidak sama dengan rezeki yang dibagikan kepada lima orang. Maka kalau kita perhatikan, adanya asumsi bertambahnya anak dapat mengurangi rezeki, adalah menyangkut masalah logaritma. Seperti sepertiga tidak sama dengan seperempat, dan seperlima tidak sama dengan seperenam.

Sebelum kita membicarakan tentang bagaimana kita membendung asumsi yang salah ini, terlebih dahulu kita membicarakan tentang hakikat yang dapat kami tentukan di sini bahwa diperbolehkan bagi seorang laki-laki dan perempuan merencanakan tentang jumlah anak-anaknya. Kepada mereka diperbolehkan pula untuk menempuh cara-cara yang dapat mencegah bertambahnya anak, baik cara itu adalah cara-cara yang lama, maupun cara-cara yang modern, baik cara itu dengan cara 'azl (mencabut kemaluan laki-laki dari kemaluan perempuan sebelum keluarnya sperma) seperti yang dilakukan oleh para sahabat, sebagaimana diriwayatkan: "Kami pernah melakukan 'Azl, sedangkan pada saat itu Alquran turun, seandainya pekerjaan itu merupakan sebuah larangan, niscaya Rasulullah saw akan melarang kami." Atau mempergunakan sesuatu yang semisal dengan 'azl, sebagaimana usaha-usaha yang dilakukan di zaman modern sekarang ini.

Masalah ini adalah boleh hukumnya, menurut pandangan syariat. Sebab hal ini bukanlah dakwah untuk membatasi keturunan, sebagaimana yang telah banyak dibicarakan di zaman sekarang, dan dia juga bukanlah sesuatu yang diharamkan oleh syara' secara keseluruhannya. Kita menentukan hal ini dengan syarat 'azl dan yang semisal dengannya itu, dilakukan khususnya jika terdapat 'udzur yang dapat membolehkannya, dan untuk menjaga kesehatan sang istri. Namun, kami tidak menerima sama sekali, jika hal itu dilakukan karena rasa takut berkurangnya rezeki. Di dalam Alquran ada dua ayat yang sangat bertentangan dengan asumsi yang salah ini. Karena kedua ayat ini disebutkan dengan nada yang sama, maka ada sebagian orientalis yang mengatakan, bahwa pengulangan ayat tersebut tidak ada gunanya sama sekali. Bahkan sebagian orang Muslim yang mempunyai asumsi bahwa bertambahnya anak dapat mengurangi jatah rezeki, juga meragukan eksistensi pengulangan kedua ayat tersebut.

Sedangkan kedua ayat tersebut satu di antaranya berada di dalam surat Al-Isrâ, sebagaimana firman-Nya: "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu..." (QS. Al-Isrâ': 31)

Sedangkan ayat yang kedua terdapat di dalam surat Al-An'âm, sebagaimana firman-Nya:

"...Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka..." (QS. Al-An'âm: 151).

Karena adanya rasa takut ini, maka seorang ayah sibuk mencari rezeki, agar dia tidak terjerumus ke dalam jurang kemiskinan yang ia takuti itu. Padahal Allah Swt telah berfirman : "...Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka." (QS. Al-An'âm :151).

Maksud dari ayat ini adalah, jagalah stabilitas rezekimu, maka tidak akan pernah berkurang, kemudian akan datang rezeki yang baru untuk anak-anakmu.

Itulah perbedaan di antara kedua ayat tersebut, yang menurut sebagian orientalis kedua ayat tersebut adalah sebuah pengulangan, yang tidak mempunyai faedah sama sekali di dalam Alquran. Untuk menjawab asumsi mereka itu, maka kita dapat katakan bahwa tidak ada sebuah pengulangan di dalam Alquran yang tidak ada faedahnya, namun setiap ayat datang untuk memperbaiki sebuah keadaan yang belum diperbaiki oleh ayat-ayat lain. Allah Swt dengan mengemukakan kedua ayat tersebut adalah untuk membalikkan pandangan kita bahwa rezeki meskipun dia datang secara mujamal, namun dia harus digunakan secara terpisah. []

Catatan Kaki :
1. Asy-Syaikh Asy-Sya'rawi, Ar-Rizq, edisi 1, hal.15.
2. Al-Ghazali, At-Tauhid wa at-Tawakkal, hal.107.
3. Al-Alusi, Ruhul Ma'ani, jilid 27, hal.10.
4. Al-Ghazali, At-Tauhid wa at-Tawakkal, hal.17.
5. Al-Alusi, Ruhul Ma'ani, hal.77.