BULETIN AL-JAWAD [edisi ke-11/tahun xi/shafar 1422 hijriah]

Kaum Bughot
Sebuah Tinjaun Teologis dan Historis

Ustadz Husein Alkaff

Menyusul desakan agar Gus Dur mundur dari jabatan presiden dari berbagai kalangan, para pendukung berat Gus Dur yang rata-rata berasal dari kalangan Nahdhiyyin, tidak tanggung-tanggung, bersedia menjadi relawan sampai tetes darah terakhir untuk membela Gus Dur. Hal itu diyakininya sebagai jihad, dan mati karenanya adalah mati syahid. Menurut mereka, bahwa kalangan yang meminta , atau memaksa Gus Dur turun merupakan kaum bughot yang harus diperangi. Sampai saat ditulisnya tulisan ini, para kyai NU tengah mengadakan bahtsul masaail di Cilegon, salah satu tema bahasannya adalah sikap para relawan yang siap jihad dan mati demi pemerintahan yang sah.

Sejak Gus Dur menduduki jabatan kepresidenan yang diiringi dengan menaiknya pamor NU dan bertambahnya kiprah para santri di panggung politik, telah muncul istilah dan kata baru yang memperkaya perbedaharaan kamus bahasa Indonesia. Istilah dan kata yang biasa berputar di antara para kyai dan pesantren, yang mereka ambil dari kitab-kitab kuning, sekarang menjadi konsumsi kalangan luar pesantren dan acapkali dipakai dalam media cetak dan elektronik. Diantara istilah pesantren itu, kata "bughot". Kata ini tidak saya dapatkan dari buku Kamus Besar Bahasa Indonesia. Untuk memahami kata itu, saya harus membuka kamus Bahasa Arab yang paling lengkap, Lisan al 'Arab. Saya mendapatkan keterangan yang menarik dari kamus Lisan al 'Arab sehubungan dengan kata "bughot" ini.

Oleh karena itu, tulisan ini ingin menjelaskan makna " bughot " dari sisi etimologi, dan yang lebih penting dari itu, tulisan ini menyoroti kata ini dari sisi kajian teologis dan historis. Mengapa demikian ?. Karena sejak Gus Dur jadi presiden seringkali simbol-simbol keagamaan diangkat, meskipun Gus Dur sendiri tidak setuju dengan itu. Namun, de facto dan hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa bagaimanapun juga beliau adalah seorang kyai yang membawahi ratusan kyai, ribuan santri dan jutaan kaum muslimin tradisionil. Beliau dengan kelompok NU tidak bisa dipisahkan dari simbol-simbol keagamaan. Beliau seorang yang dilahirkan dan dibesarkan dari lingkungan pesantren NU yang sangat konsisten dan mempunyai komitmen yang tinggi dengan doktrin Ahlu sunnah wal jama'ah ( baca: ASWAJA). Doktrin inilah yang melandasi seluruh gerak dan sikap NU. Manusia dalam kehidupan sosialnya tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan, apakah ia berkuasa atau dikuasai. Doktrin ASWAJA yang merupakan interpretasi dari Qur'an dan sunnah nabi, mempunyai pandangan tersendiri tentang kekuasaan dan kepemimpinan. NU sebagai refresentasi dari doktrin ASWAJA mempunyai sikap yang jelas terhadap kekuasaan dan kepemimpinan, baik disaat mereka berkuasa dan memimpin , maupun disaat mereka dikuasai dan dipimpin.

Oleh karena itu, pembahasan tentang "bughot" ,yang berkaitan dengan kekuasaan, dari sisi teologi ASWAJA layak dikaji secara saksama. Demikian pula, kata " bughot " harus ditinjau dari sisi kesejarahan, karena kata ini tidak muncul belakangan ini saja. Kata ini telah ada sejak dari generasi pertama kaum muslimin.

Makna Bughot
Bughot bentuk jamak ( plural ) dari baaghii ( muzakkar ) atau baghiyah ( muannats ) yang berarti orang yang melakukan kerusakan atau kedzaliman. Ibnu Mandzur al Afriqi dalam kamusnya, Lisan al 'Arab, berkata, " al fi'ah al baghiyah hiya al dhalimah al kharijah 'an al imam al 'adil " (Kelompok baghiyah adalah kelompok dzalim yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin yang adil ) { lihat Lisan al 'Arab pada kata " bagha " }.

Yang menarik, Ibnu Mandzur memberikan contoh dari kata " baghiyah " dengan mengutip sebuah hadis Nabi saww. " Beruntunglah 'Ammar putra Sumayyah, yang akan dibunuh oleh kelompok baghiyah ". Hadis ini diriwayatkan dalam beberapa kitab hadis dan sejarah, seperti al Thabari dan al Kamil fi al Tarikh.

Kalau boleh saya uraikan bahwa bughot adalah kelompok yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin yang adil, atau kelompok yang melawan pemimpin yang adil. Mereka keluar dan melawan pemimpin yang adil secara dzalim dan untuk melakukan kerusakan dan kekacauan. Atau dengan keterangan lain, ketika ada sekelompok manusia yang menentang dan memerangi pemimpin yang sah ( konstitusional ) dan bersikap adil, tidak dzalim, maka kelompok itu dianggap sebagai kelompok baghiyah.

Bughot dalam Tinjauan Teologis
Saya ingin mengutip pandangan para Mutakallimin dari kaum Salaf dan Khalaf yang termaktub dalam kitab-kitab kuning, dengan tujuan agar orang luar pesantren juga mengetahui isi dari kitab kuning yang dijadikan sebagai referensi oleh para kyai NU dalam forum bahtsul masaail yang sering mereka gelar. Namun sebelum itu, perlu dijelaskan bahwa NU dalam masalah doktrin teologi (aqidah) mengikuti Abu al Hasan al Asy'ari ( 270- 324 Hijriyah ) dan Abu al Manshur al Maturidi ( wafat 333 Hijriyah ) yang kemudian doktrin teologi dua tokoh ini dikenal dengan doktrin kaum khalaf. Sedangkan kaum salaf dikembangkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal ( 213-290 Hijriyah ), seorang imam mazhab fiqih dan mutakallim, dan dilanjutkan oleh Ahmad bin Taymiyah ( wafat 728 Hijriyah), kemudian terakhir oleh Muhammad bin Abdul Wahhab ( 1115-1206 Hijriyyah ). Diantara dua aliran teologi ini ( Salaf dan Khalaf ) terdapat perbedaan yang signifikan dalam masalah-masalah teologis. Mari kita simak pernyataan Imam Ahmad bin Hanbal, tokoh kaum salafi, tentang masalah kepemimpinan, " Dan khilafah (kepemimpinan) berada pada kaum Quraisy selagi masih ada dua orang manusia. Tidak diperbolehkan seorangpun dari umat manusia merebutnya dari mereka dan tidak boleh melawan mereka ".

Kemudian mengatakan, " Dan ( wajib) mentaati orang yang telah diangkat oleh Allah untuk mengurusi urusan kalian. Kamu tidak boleh mencabut tangan ( menolak )dari mentaatinya dan tidak boleh keluar melawannya dengan pedangmu. Kamu harus mendengarkan dan mentaatinya. Jika penguasa memerintahkan kamu dengan sebuah perintah, padahal perintah itu kemaksiatan bagi Allah, maka kamu tidak boleh mentaatinya dan tidak boleh juga melawannya ".( al Sunnah, Ahmad bin Hanbal 44 ) Beliau juga berkata, " Dan barangsiapa keluar melawan seorang pemimpian dari pemimpin-pemimpin kaum muslimin, dan umat manusia telah sepakat dan mengakuinya dengan cara apapun, baik dengan suka rela maupun dengan kekuatan, maka orang yang melawan itu telah meretakkan tongkat kaum muslimin dan melanggar sunnah Rasulullah. Jika orang yang melawan itu mati, maka mati seperti mati jahiliyyah ". ( Tarikh al Madzahib al Islamiyyah, Abu Zahrah jilid 2 halaman 322 ).

Imam Abu al Hasan al Asy'ari, tokoh kaum khalaf, menyatakan bahwa mereka (ASWAJA) berpendapat boleh sholat ied, jum'at dan jama'ah dibelakang setiap imam yang baik maupun fasik. Mereka juga berpendapat boleh mendoakan para pemimpin kaum muslimin dengan kebaikan ,dan mereka tidak membolehkan keluar terhadap mereka ( para pemimpin ) dengan pedang ". (Maqaalaat al Islaamiyyin halaman 323 ).

Berdasarkan kitab-kitab kuning tersebut dan kitab kuning lainnya, NU berpendapat dilarang melawan pemerintah, selagi pemerintahan itu terbentuk secara sah (konstitusional ). Oleh karena itu, mereka tidak pernah melawan pemerintah setelah kemerdekaan. Mereka berdamai dan mendukung pemerintahan yang sah, dengan alasan bahwa pemerintah yang sah adalah ulil amri yang harus ditaati. Dengan demikian segala bentuk perlawanan terhadap pemerintahan yang sah dianggap makar atau bughot yang harus diperangi. Apalagi pemerintahan RI sekarang ini di tangan salah seorang tokoh terbesar mereka, KH. Abdurahman Wahid.

Bughot dalam Tinjauan Historis
Seperti yang dicontohkan oleh Ibnu Mandzur dalam Lisan al 'Arab diatas tadi, bahwa 'Ammar bin Yasir akan dibunuh oleh kelompok baghiyah ( bughot ). Ammar bin Yasir adalah seorang sahabat nabi saww. yang mulia dan setia. Ayahnya adalah Yasir yang mati sebagai syahid dibunuh oleh kaum musyrik Quraisy. Demikian pula ibunya Sumayyah, seorang wanita syahid pertama dalam Islam dibunuh oleh mereka. Keduanya dibunuh di depan mata 'Ammar. 'Ammar dikarunia usia yang panjang sehingga dapat menyaksikan berbagai peristiwa yang menimpa kaum muslimin setelah ditinggalkan oleh Nabi Muhammad saww. Peristiwa yang paling memilukan, yang disaksikan oleh 'Ammar, adalah perpecahan yang mengakibatkan perang saudara pada masa khilafah Amirul mukminin, Ali bin Abi Thalib ra.

Setelah terbunuhnya khalifah ketiga, Usman bin 'Affan, kaum muslimin secara aklamasi meminta Ali bin Abu Thalib untuk tampil sabagai khalifah untuk menggantikan Usman bin 'Affan yang terbunuh. Ali bin Abi Thalib pada mulanya menolak untuk menjadi khalifah mengingat perpecahan di tengah kaum muslimin makin meluas, dan tugas khalifah saat itu amat sangat berat. Namun karena desakan mereka cukup kuat, maka beliaupun menerima permintaan dan harapan mereka. Beliau adalah satu-satunya khalifah dari empat khalifah kaum muslimin yang diangkat secara aklamasi.

Pada masa khilafah beliau yang berlangsung selama kurang-lebih lima tahun ( 35-40 Hijriyah ), telah terjadi tiga perang saudara; antara beliau dengan kelompok lain. Pada perang Jamal ( Unta ), beliau berhadapan dengan Thalhah dan Zubair yang didukung oleh 'Aisyah, istri Nabi saww.; pada perang Shiffin antara beliau dengan Mua'wiyah bin Abu Sufyan, dan pada perang Nahrawan antara beliau dengan kaum Khawarij.

Banyak dari kaum muslimin mendapatkan kesulitan dalam menilai, ketika terjadi peperangan antara kaum muslimin yang melibatkan beberapa sahabat nabi saww., manakah diantara dua kubu yang bertikai itu yang benar dan yang salah ?. Di satu sisi, Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah yang sah, dan juga sahabat dekat nabi saww., tidak boleh diperangi sesuai dengan doktrin ASWAJA, dan di sisi yang lain, terdapat sejumlah sahabat nabi saww.

Hadis Nabi saww. tentang akan terbunuhnya 'Ammar bin Yasir oleh kelompok baghiyah telah memberikan kepada kita tolok ukur kebenaran, sehingga dapat diketahui kelompok manakah yang benar.

Para ahli sejarah bersepakat bahwa ketika perang Shiffin meletus pada tahun 37 Hijriyah, 'Ammar bin Yasir dalam usianya yang sudah lanjut berada bersama pasukan Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib ra. dan ikut serta memerangi Mua'wiyah bin Abu Sufyan. Dalam perang ini, beliau menghembuskan nafas terakhirnya karena dibunuh oleh pasukan Mu'awiyah.

Al Thabari dan Ibnu al Atsir mengungkapkan dalam kitab tarikh mereka, " Ketika 'Ammar bin Yasir hendak berangkat perang berkata, " Hari ini aku akan menjumpai para kekasihku ; Muhammad dan golongangannya ".( Tarikh al Thabari 3 /28 dan al Kamil fi al Tarikh 2/371)

Dalam kedua kitab ini juga diceritakan bahwa ketika disampaikan kepada Muawiyah bahwa 'Ammar dibunuh oleh pasukannya, dan disampaikan pula kepadanya hadis nabi tersebut, dia berkata bahwa sebenarnya yang membunuh 'Ammar bukanlah dia, tetapi kelompok yang membawanya perang, yakni Amirul mukminin Ali bin Abu Thalib ra.

Dengan melihat hadis nabi saww. dan keterangan para ahli sejarah, bahwa kata " bughot " atau "baghiyah" menjadi istilah untuk kelompok yang memerangi pemimpin yang sah dan adil. Dalam hal ini, Mu'awiyah adalah contoh konkrit dari kelompok bughot.

Relevankan Kata " Bughot " Dalam Konteks Pemerintahan RI ?
Keterangan di atas tadi adalah doktrin ASWAJA dan bagian dari sejarah Islam. Untuk konteks Indonesia, tentu istilah itu tidak relevan diberikan kepada pihak-pihak yang menghendaki mundurnya Gus Dur, karena istilah ini berlaku dalam sebuah pemerintahan Islam, sementara Indonesia bukanlah pemerintahan Islam sebagaimana yang diakuinya sendiri oleh Gus Dur dan NU. Dalam sistem pemerintahan Islam, yang dijelaskan dalam kitab-kitab kuning, proses pengangkatan pemimpin tidaklah sama dengan yang sekarang berkembang di dunia modern ini. Kemudian cap bughot sendiri berlaku untuk kelompok yang memerangi pemimpin dengan cara yang dzalim dan dengan berbuat kerusakan, seperti yang dilakukan oleh Mu'awiyah, sementara pihak-pihak yang menghendaki turunnya Gus Dur apakah sudah melakukan hal itu ?. Wallahu a'lam. []

 


index buletin