BULETIN AL-JAWAD [edisi ke-14/tahun xi/Jumadil akhir 1422 hijriah]

PENGHAMBAT KEBENARAN
Ustadz Husein Alkaff

Manusia untuk sampai pada kesempurnaan dirinya, disamping harus menggunakan akalnya, juga harus meminta bantuan dari wahyu Ilahi, yang terangkum dalam kitab suci, Qur'an, maupun keterangan-keterangan Rasulullah saww. dan Ahlul baitnya yang disucikan. Ketika Rasulullah saww. bersabda, " Aku tinggalkan di tengah kalian dua pusaka yang berat, selagi berpegangan dengannya kalian tidak akan pernah sesat (menyimpang). Kedua pusaka itu adalah, Kitabullah dan Ahlul Bait-ku", beliau ingin menjelaskan bahwa agar kaum muslimin dalam perjalanannya menuju Allah ta'ala tidak sesat dan menyimpang, maka mereka harus berpegangan dengan Qur'an dan ahlul bait. Sedangkan untuk menerima kebenaran ajaran Qur'an dan Rasulullah beserta ahlul baitnya, diperlukan akal pikiran yang jernih. Oleh karena itu, akal mempunyai peranan signifikan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah, atau mana yang baik dan mana yang buruk. Berkenaan dengan akal, Imam Musa Al-Kadzim as. pernah mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai dua petunjuk (hujjah); hujjah dhohiroh (lahiriah) dan hujjah batinah. Ada petunjuk dari dalam diri kita dan ada petunjuk dari luar diri kita.

Hujjah dhohiroh yaitu para Nabi dan kitab-kitab samawi yang bertugas menyinari kegelapan-kegelapan yang menyelimuti jalan menuju Allah swt. Hujjah batinah adalah petunjuk akal. Para mutakallim Imamiah merumuskan petunjuk-petunjuk akal dalam lima dasar agama ( ushulullddin); tauhid (al tawhid), keadilan (al 'adl), kenabian (al nubuwwah), kepemimpinan (al imamah) dan hari akhirat (al ma'ad). Lima dasar agama ini merupakan fondasi yang melandasi semua ajaran-ajaran Islam, dan akar dari sebuah pohon agama yang kokoh, rindang dan berbuah lebat. Salah satu kelebihan imamiah terletak pada lima dasar agama ini.

Pada kesempatan ini, saya tidak ingin membahas ushuluddin yang sebagian darinya sudah kita bahas dan pelajari. Pada kesempatan ini, saya tertarik untuk mengajak ikhwan menyimak keterangan-keterangan orang-orang suci, yang sarat dengan hikmah, kesejukan dan keilmuan yang luas dan dalam. Kita mempunyai hazanah ilmu Ahlul Bait yang sangat luas. Imam Khomeini qs. dalam surat wasiatnya, mensitir tentang khazanah ilmu Ahlul bait yang diwariskan untuk kita semua. Anda bayangkan bagaimana luasnya ilmu Imam Ali as. Beliau pernah mengatakan, " Kekasihku Rasulullah mengajariku seribu cabang ilmu. Dari setiap cabang itu terbagi seribu cabang lagi ". Jadi berapa cabang ilmu yang beliau kuasai, sejuta cabang. Itu menunjukkan banyaknya ilmu yang diajarkan Rasulullah saww. kepada Imam Ali bin Abi Thalib as. lalu secara berurutan kepada imam-imam suci lainnya dari keturunan beliau, baik ilmu tentang ketuhanan, metafisik, juga ilmu-ilmu saintis dan lain sebagainya. Kemudian mereka menyampaikannya kepada orang-orang berdasarkan kapasitas dan kesiapan mereka untuk menerima ilmu-ilmu tersebut, dan disesuaikan pula dengan kondisi dan situasi zaman mereka. Tentu ilmu yang mereka ketahui tidak melalui eksperimen atau laboratorium. Mereka mendapatkannya melalui wahyu atau ilham. Sebagai contoh Nabi Dawud as. diajarkan oleh Allah swt. cara membuat baju ( al Anbiya' : 80) dan membuat pekakas dari besi (Saba' : 10). Bahkan menurut sebuah teori, teknologi ini berasal dari para Nabi atau dari Ahlul Bait. Sekarang ini manusia tinggal mengembangkannya saja. Matematika atau aljabar, sebagai contoh, dirintis oleh Jabir al Hayan, salah seorang murid Imam Ja'far a.s.

Ala kullihal, para Nabi mempunyai ilmu yang luas sekali. Tapi ilmu yang mereka terima tidak seperti yang kita miliki dengan cara belajar atau di laboratorium-laboratorium. Mereka secara langsung menerima ilmu itu dari Allah Swt.

Yang akan kita bahas dalam pertemuan ini, sambil kita ber-tabarruk dengan kata-kata suci Ahlul Bait as., adalah tentang penghambat-penghambat ma'rifah.

Setiap manusia dibekali akal, hati dan indra. Dengan akal manusia dapat mengetahui sejumlah pengetahuan, demikian pula dengan hati dan indranya, dia dapat memiliki ilmu. Dengan akalnya manusia berpikir, yang menghasilkan filsafat, logika, dan sains, sementara dengan pensucian hati, manusia akan mendapatkan ilmu-ilmu tertentu. Allah swt. berfirman, " Dan bertaqwalah kalian kepada Allah niscaya Allah akan mengajar kalian " (al Baqarah : 282). Tentang tiga sarana ilmu tersebut (akal, hati dan indra) Qur'an menjelaskan, " Dan Allah telah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian, sedangkan kalian tidak mengetahui apapun. Lalu Allah menjadikan untuk kalian pendengaran, penglihatan dan hati (atau, akal ) ". (al Nahl : 78)

Masing-masing dari tiga sarana ini mempunyai ruang lingkup pengetahuan yang berbeda-beda. Dan tiga sarana ini akan berfungsi sesuai dengan fungsinya selagi tidak ada hambatan yang menghambatinya. Oleh karena itu, tugas manusia adalah menghilangkan hambatan-hambatan dari tiga sarana ilmu itu, kalau tidak, maka ketiga sarana itu tidak akan menghasilkan pengetahuan.

Pada kesempatan ini, kita batasi pembicaraan kita pada penghambat-penghambat akal dan hati dari fungsinya sebagai sarana pengetahuan. Namun sebelum kita membicarakan masalah itu, saya ingin kutip bagaimana dekatnya para imam Ahlul bait dengan Allah swt. Bagi mereka wujud Allah sangatlah jelas sehingga tidak ada tabir dan hijab antara mereka denganNya. Misalnya Imam al Husain as. dalam salah satu penggalan doanya yang sangat indah sekali di padang Arafah, beliau mengatakan, " Ya Allah kapan Engkau gaib dariku ? sehingga Engkau membutuhkan petunjuk yang akan menunjukkan-Mu. Apakah selainMu memiliki kejelasan yang tidak Engkau miliki ?".

Bagi beliau tidak ada sesuatu yang lebih jelas dari Allah swt. Beliau tidak saja mengetahui wujud Allah swt. melalui akal, tetapi beliau " melihat " dan " merasakan " kehadiranNya secara nyata. Imam Ali as. pernah mengatakan, " Bagaimana aku menyembah Tuhan yang tidak kulihat ? ". Para failusuf muslim mengatakan bahwa Yang benar-benar jelas dan ada adalah Allah swt. SelainNya itu jelas dan ada karenaNya, tanpaNya maka alam semesta tidak akan jelas dan bahkan tidak akan ada. " Allah adalah cahaya langit dan bumi " ( al Nur : 35 ) Gerangan apa yang menjadikan mereka seperti itu ? Mengapa kita tidak dapat melihat dan merasakan kehadiran Allah swt. ?

Para ulama akhlak mengatakan bahwa terdapat hijab dan tabir yang menghalangi kita dari melihat Allah swt. Imam Ali a.s. mengatakan, " Andaikan hijab disingkapkan dari hadapanku maka keyakinanku tidak akan bertambah ". Artinya bagi beliau tidak ada tabir lagi. Andaikan tabir itu disingkapkan sehingga melihat haqiqat-haqiqat, maka itu tidak akan menambah keyakinanya, karena beliau sudah yakin.

Hijab itulah yang menghambat ma'rifah. Ketika kita tidak bisa menyaksikan itu semuanya, yang salah adalah kita. Kita membuat tabir-tabir yang tebal sehingga kita tidak menyaksikan surga, tidak menyaksikan neraka, tidak menyaksikan Allah Ta'ala.

Dalam Nahjul Balaghah disebutkan, ada seorang sahabat Imam Ali as.bernama Hammam. Dia berkata kepada Imam Ali, "Ya Imam tolong jelaskan kepadaku tanda-tanda orang bertaqwa". Imam Ali berkata, "Sabar ya Hamam, jangan tanya masalah itu." Hammam mengulangi permintaannya kepada beliau sampai tiga kali. Kemudian Imam Ali as. menjelaskan tentang ciri-ciri orang bertaqwa. Salah satu cirinya adalah " Orang bertaqwa adalah orang yang seakan-akan menyaksikan surga sehingga dia merasa terhibur dengan surga, dia seakan-akan telah menyaksikan neraka sehingga tersiksa ketika melihatnya ".

Jadi orang-orang bertaqwa itu sudah menyaksikan surga dan neraka. Itulah ciri orang bertaqwa. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pernah Rasulullah saww. ketika shalat, beliau maju ke depan kemudian mundur lagi. Lalu beliau ditanya oleh sahabat, " Mengapa ketika shalat, Anda maju ke depan lalu mundur kembali, ya Rasulullah ? ". Nabi menjawab, " Aku melihat surga di hadapanku ".

Dalam riwayat lain, Nabi saww. pergi ke mesjid berjumpa dengan seorang pemuda yang kurus dan pucat mukanya. Nabi bertanya, "Bagaimana keadaan anda di pagi hari ini ? " Dia menjawab, " Alhamdulillah, di pagi hari ini aku beriman kepada Allah swt". Nabi bertanya lagi, " Apa tanda keyakinanmu wahai pemuda ?". Jawabnya, " Ya Rasulullah, sekarang aku menyaksikan surga dan di hadapan mataku". Pemuda itu menyaksikan surga sekarang ini dan menyaksikan neraka.

Jadi sebenarnya, Allah, surga, neraka dan hal-hal lain yang dianggap gaib bagi Nabi saww., Ahlul bait as. dan orang yang bertaqwa tidaklah gaib. Bagi kita hal itu gaib karena adanya hijab atau tabir yang menghalangi kita. Sekarang apa saja penghambat-penghambat itu. Saya akan bacakan beberapa Hadis dari Rasulullah saww. atau dari Ahlul Bait as.

Imam Ali as. berkata, " Barang siapa belum mendidik jiwanya, maka dia tidak memanfaatkan akalnya "( kitab al Hayat ). Artinya seorang itu akan menggunakan akalnya ketika dia telah mendidik jiwanya. Namun ketika hatinya kotor dosanya banyak, maka segala informasi tentang hak atau kebenaran tidak akan ia terima dan akan ia tolak.

Boleh jadi Abu Jahal setiap hari melihat Nabi saww. dan sering mendengarkan ajakan beliau, bahkan dia tahu kemulian akhlak dan kejujuran beliau. Tetapi kenapa Abu Jahal tidak meyakini Nabi Muhammad sebagai utusan Allah swt. ? itu tidak lain karena hatinya yang kotor. Dia punya akal tetapi tidak digunakan untuk berpikir, dia punya telinga tetapi tidak dipakai untuk mendengarkan kebenaran. Itu semua karena dia belum mendidik jiwanya dan membersihkan hatinya. Jadi ketika seorang tidak mendidik jiwanya, maka tidak akan bisa menggunakan akal secara maksimal.

Kemudian termasuk penghambat ilmu atau ma'rifah adalah hawa-nafsu. Imam Ali as. mengatakan, " Musuh akal adalah hawa nafsu."( idem). Seringkali seseorang, karena hawa nafsunya yang telah menguasai dirinya, atau nafsu ammarah telah mengalahkan akalnya, menolak kebenaran. Hawa nafsu yang tidak bisa dikendalikan akan menyebabkan seseorang tidak menerima ajakan akal pikirannya dan akan menentangnya.

Juga penghambat ma'rifah adalah cinta kepada selain Allah swt. Nabi bersabda, "Kecintaanmu pada sesuatu itu menyebabkan kebutaan dan ketulian "( idem). Kalau kita mencintai sesuatu secara berlebihan, akhirnya segala bentuk nasihat tidak akan didengar.

Juga Imam Ali a.s. mengatakan, "Mata orang yang mencinta itu menjadi buta ketika menyaksikan keburukan orang yang dia cintai, dan telinganya menjadi tuli terhadap kejelekan kekasihny "( idem). Ini merupakan kata lain dari fanatisme.

Juga Imam Ali mengatakan, "Tidak ada akal bersama syahwat."( idem). Jadi, akal dengan syahwat tidak mungkin beriringan. Ketika syahwat menguasai maka akalnya kalah. Ketika akal menguasai maka syahwatnya akan dikendalikan. Oleh karena itu ada sebuah hadis, " Tidak mungkin seseorang berzina, dikala berzina dia mukmin". Ketika seseorang berzina, maka dia tidak dalam keadaan beriman. Selesai berzina mungkin dia kembali beriman, dan menyesali perbuatannya itu.

Imam Shadiq a.s. meriwayatkan, bahwa Imam Ali a.s. pernah mengirim surat pada salah seorang sahabatnya memberi nasihat : "Tolaklah dunia, karena mencintai dunia akan membuatmu buta dan tuli." (idem)

Imam Ali a.s. mengatakan, "Barang siapa yang mengagumi ilmu-ilmunya, maka akan dikalahkan oleh musuh-musuhnya." Selanjutnya Imam Ali a.s. mengatakan, "Tidak ada kesendirian yang lebih menakutkan dari 'ujub " . Kalau boleh saya menafsirkan, orang ketika ujub dalam hatinya merasa dirinya hebat, akhirnya dia berpikir tentang kehebatan dirinya sendiri sehingga muncul penyakit lain namanya ghurur. Akhirnya tidak akan menerima nasihat, karena merasa dirinya hebat.

Ada orang-orang yang kena penyakit ghurur, merasa dirinya paling hebat sehingga setiap nasihat dari orang lain itu dianggapnya remeh atau salah. Setan adalah contoh makhlul yang 'ujub dan ghurur. Dia mengatakan, mengapa aku harus bersujud di hadapan Adam, aku dari api dia dari tanah ? Saya lebih hebat dari Adam dan lebih kuat dari Adam, kenapa disuruh sujud kepada Adam ?. Sehingga dia meremehkan Adam. Itulah penyakit 'ujub dan ghurur. []


index buletin