BULETIN AL-JAWAD [edisi ke-16/tahun XI/Sya'ban-Ramadhan 1422 hijriah]

  Isi Buletin :

  1. Ahlul Bait adalah Pintu Kebenaran

  2. Kenikmatan Duniawi Tidak Terlarang Selama Diiringi Niat Dan Amal Baik

  3. Macam-macam Puasa

AHLUL BAIT ADALAH PINTU KEBENARAN

Ustadz Husein Alkaff

Disebutkan dalam Ziarah al Jami'ah,” Aku bersaksi bahwa kalian adalah pintu-pintu Allah dan kunci-kunci RahmatNya”. Ahlul Bait a.s. merupakan pintu-pintu yang mengantarkan kita kepada Allah Swt. Mereka bukan sekedar pintu kota ilmu Rasulullah Saww saja, tetapi mereka juga pintu-pintu yang melalui mereka kita dapat memahami dengan baik ajaran Allah Swt dan pesan-pesan Rasulullah Saww dalam segala hal.
Ketika Rasulullah Saww berkali-kali dan dalam berbagai kesempatan bersabda tentang pentingnya al-tsaqalain - dua pusaka besar dan berat yang beliau tinggalkan untuk umat Islam, dan bahwasanya hanya dengan dua pusaka inilah manusia tidak akan sesat dan menyimpang dari kebenaran, “Selagi kalian berpegangan dengan keduanya, maka selamanya kalian tidak akan tersesat.” Kedua pusaka itu adalah kitab Allah Swt. dan Ahlul Bait as. Artinya, beliau ingin menekankan bahwa kalau kita ingin memahami Qur'an dengan baik, maka satu-satunya jalan atau satu-satunya pintu adalah Ahlul Bait, tanpa lewat pintu mereka maka pemahaman kita tentang maksud-maksud Qur'an tidak terjamin kebenarannya. 
Berkaitan dengan itu, Allah Swt. berfirman, “Laa yamassuhu illal muthohharuun”, Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan (QS. Al-Waqiah : 79). Saya ingin mengajak anda semuanya sejenak merenungkan dengan baik tentang tafsiran atau makna dari ayat, “Laa yamassuhu illal muthohharuun.”
Banyak dari kaum muslimin menjadikan ayat ini sebagai dalil tidak dibolehkannya seseorang menyentuh ayat Qur'an kecuali dalam keadaan suci, baik dari hadas kecil maupun hadas besar. Seorang yang tidak mempunyai wudhu tidak boleh menyentuh Qur'an. Demikian pula seorang yang dalam keadaan junub atau haidh, maka tidak boleh menyentuh ayat Qur'an. 
Di sini saya tidak ingin menjelaskan masalah boleh atau tidak bolehnya menyentuh ayat Qur'an tanpa wudhu. Itu adalah masalah fiqih. Yang pasti bahwa dalam fatwa ulama Ahlul Bait seorang yang tidak dalam keadaan suci tidak boleh menyentuh ayat Qur'an. Tetapi benarkah atau bisakah ayat ini dijadikan dasar untuk fatwa tersebut ?. Ini sebuah permasalahan tersendiri yang dibahas secara detail dalam kajian ushul fiqih atau kajian fiqih argumentatif. Di sini saya mencoba untuk membahas ayat Laa yamassuhuu illal muthohharuun secara ringkas saja menurut apa yang pernah saya ketahui dari kitab tafsir.
Pertama, Perlu diketahui bahwa kata “Laa ” mempunyai dua arti ;“ jangan “ (nafy, nahy) dan “ tidak “ (nafy). Sekarang, kata “ laa “ di sini, berarti larangan (jangan) atau berarti nafy (tidak) ?. Untuk mengetahui itu, kita harus melihat bentuk kata setelahnya. Kata “ laa ” yang berarti “jangan,“ pada umumnya, berada sebelum fi'il mudhore mukhotob (maksudnya, bentuk kata kerja yang sedang atau akan dilakukan untuk kata ganti kedua ). Misalnya, laa tasyrob ( Anda jangan minum ). Selain itu, kata kerja yang berada setelahnya juga harus diharakati sukun, tidak fathah, kasrah maupun dhommah, seperti contoh tadi. Nah, oleh karena kata kerja setelah “ laa ” dalam ayat tadi adalah kata kerja yang menunjukkan ghaib (orang ketiga), dan tidak diharakati sukun, maka kata “ laa ” itu berarti “ tidak “. Dengan demikian, arti ayat tadi adalah “ Tidak ada yang menyentuhnya…” bukan “ Jangan menyentuhnya “. 
Kedua, kata “ yamassuhu “. Kata ini derivasi dari kata “ massa “. Dalam bahasa Arab, ada kata lain yang mempunyai makna yang sama dengan massa-yamassu, yakni lamasa-yalmasu . Makna dari kedua kata ini ialah menyentuh, memegang, tetapi dalam pemakaiannya berbeda, khususnya dalam Qur'an. Kata lamasa yalmasu dipakai untuk sentuhan fisik, sedangkan kata massa yamassu untuk sentuhan psikis atau sentuhan yang non fisik. 
Mari kita lihat dalam ayat yang lain, Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa jika sekelompok setan menyentuh mereka, maka mereka segera sadar dan ingat kepada Allah Swt.”. (al A'raf 201), atau ayat-ayat yang lain (lihat, 7:95, 10:12, 17:83, 3:120 dll). Menarik sekali, dalam ayat ini Allah menggunakan kata massa. Artinya, orang-orang bertaqwa jika disentuh oleh setan, maka mereka segera sadar dan ingat kepada Allah Swt. Sentuhan setan di sini tidak bisa kita artikan sentuhan fisik, karena setan secara genesus ( atau jins ) berbeda dengan manusia. Sentuhan setan artinya setan menguasai, mempengaruhi dan membisiki mereka. 
Kembali ke pembahasan ayat, Laa yamassuhu illal muthohharuun. Di sini lebih tepat kata sentuhan diartikan dengan sentuhan yang non fisik. Artinya, tidak ada yang memahami Qur'an, atau tidak ada yang menguasai Qur'an kecuali orang-orang yang muthohharuun
Ketiga, kata “ muthohharuun “ adalah kata benda ( isim ) yang berbentuk maf'uul (bentuk kata yang berarti penderita). Misalnya, manshur ( yang ditolong ) madzlum ( yang didzalimi ). Muthohharuun berarti orang-orang yang disucikan, bukan orang-orang yang bersuci. Kalau muthohharuun artinya orang-orang yang bersuci, maka lebih tepat redaksi ayat tadi berobah menjadi “ Laa yamassuhu illal muthohhiruun “ (Tidak ada yang memahaminya kecuali orang yang bersuci ). Kenyataannya, Allah Swt. menggunakan kata muthohharuun, artinya yang disucikan, yang dibersihkan. Artinya tidak ada yang menguasai Qur'an kecuali orang-orang yang disucikan, bukan orang yang bersuci.
Kemudian Siapakah orang-orang yang disucikan itu ? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat ayat yang berbunyi, “ Innamaa Yuriidullohu liyudzhiba ankum-ulrijsa, Ahla-l Baiti wa yuthohhirokum tathhiiron ” (Sesungguhnya Allah hendak membersihkan dari kalian dosa, wahai Ahlul Bait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya ) [ QS. Al-Ahzab : 33 ]. Yang dimaksud dengan Ahlul Bait disini, sebagaimana yang dijelaskan dalam banyak hadis Nabi Saww, adalah keluarga Nabi Saww. (Ali bin Abi Thalib, Fathimah al Zahra', al Hasan, al Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad al Baqir, Ja'far al Shodiq, Musa al Kadzim, Ali al Ridho, Muhammad al Jawad, Ali al Hadi, Hasan al Askari dan Muhammad al Mahdi -salam sejahtera atas mereka semua). Mereka adalah orang-orang yang telah disucikan oleh Allah Swt. Dengan kehendak takwini dan tasyri'i-Nya. Oleh karena itu, hanya mereka pulalah yang benar-benar menguasai dengan sepenuhnya dan memahami secara benar maksud dan arti ayat-ayat Qur'an. Mereka lah, sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah Saww dalam hadis al tsaqalain, pendamping Qur'an dan penerjemahnya. Imam Ali bin Abi Thalib as. pernah mengatakan di hadapan pasukannya ketika sebagian di antara mereka ada yang terpedaya oleh Amr bin 'Ash ketika mengangkat Qur'an di ujung pedangnya dalam perang Shiffin, “ Sayalah Qur'an yang berbicara “.
Qur'an yang mulia meskipun tinggi dan luas maknanya, dan indah bahasanya hal itu diakui baik oleh muslim maupun non muslim, namun pada saat yang sama bisa dipahami oleh setiap orang yang paham bahasa Arab. Allah Swt. Berfirman, “ Sesungguhnya Kami telah mempermudah Qur'an untuk dipahami (diingat), maka apakah ada yang memikirkan ( mengingat ) ? “
[QS, al Qomar : 32].

Setiap orang boleh saja menafsirkan Qur'an selagi segala persyaratannya telah terpenuhi, bahkan dari kita yang memahami bahasa Arab yang paling rendah sekalipun akan dengan mudah memahami kata alhamdulillah hirobbil alamin. Tentu pemahaman terhadap Qur'an tergantung sejauh mana penguasaan mereka terhadap persyaratan-persyaratannya. Namun, yang menjadi permasalahan adalah apakah pemahaman kita terhadap Qur'an terjamin kebenarannya ? 
Ketika pertanyaan ini mengemuka, maka tidak ada satupun dapat bersesumbar bahwa dialah yang benar dan tepat dalam memahami dan menafsirkan Qur'an. Allamah Muhammad Thaba'thabai dalam pendahuluannya untuk kitab tafsir “al Mizan“ menjelaskan tentang beberapa karakteristik penafsiran Qur'an. Setelah beliau menunjukkan kelemahan-kelemahan yang ada pada karakteristik-karakteristik itu, beliau mencoba untuk menafsirkan Qur'an dengan Qur'an sambil meyakini bahwa methode itulah yang digariskan oleh Nabi Saww. dan Ahlul Baitnya. ( Sesungguhnya sebagian ayat Qur'an menafsirkan sebagian yang lain,- Imam Ali as. ). Kemudian juga beliau sering mengembalikan ayat-ayat Qur'an ke hadis-hadis Nabi Saww. dan Ahlul Baitnya as.
Dengan melihat ayat pertama “ Laa yamassuhu illal muthohharuun “ dan ayat “ Innamaa yuriidullohu …” maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa hanya Ahlul Bait sajalah yang pemahamannya tentang Qur'an pasti benar. Selain mereka sekalipun seorang ulama besar, maka tidak ada jaminan bahwa penafsirannya benar kecuali mereka bersandarkan pada Qur'an atau hadis-hadis orang-orang suci. 
Kemudian selain Ahlul Bait as. itu sebagai pintu untuk kita memahami Qur'an, juga mereka adalah pintu bagaimana kita meminta, memohon dan berdoa kepada Allah Swt. Dalam hal ini, telah diwariskan kepada kita doa-doa Ahlul Bait as. yang sangat indah dan menyentuh hati kita. Doa mereka benar-benar mewakili jeritan dan rintihan hati kita di hadapan Allah Swt, sehingga kita tidak perlu lagi menyusun kata-kata untuk meminta sesuatu dari Allah Swt. Mereka telah menawarkan kepada kita pilihan-pilihan doa yang pendek maupun panjang. Coba kita lihat Mafaatiihul Jinaan, al Muntakhab al hasani, al Misbah dan lainnya yang memuat doa-doa mereka.
Ala kulli hal, Ahlul Bait as. adalah pintu yang mengantarkan kita kepada Allah Swt. Dan pintu yang membukakan di hadapan kita untuk memahami ajaran suci yang dibawa oleh Rasulullah Saww. Merekalah yang lebih mengetahui tentang kehidupan Nabi Saww. ; ibadah dan mu'amalah-nya. []

__________
Ceramah Ustad pada acara Doa Kumail bersama, 12 Juli 2001.Ditranskrip oleh : Donny Somadijaya, SH.

 

Kenikmatan Duniawi Tidak Terlarang 
Selama Diiringi Niat Dan Amal Baik

Pada suatu hari Imam Ali r.a. menjenguk seorang sahabatnya bernama Ala bin Ziyad Al-Haritsi. Ketika memasuki rumahnya yang amat luas itu, ia terheran-heran dan berkata kepadanya:
“Apa sebenarnya yang hendak Anda lakukan dengan rumah seluas ini di dunia ? Bukankah Anda lebih baik memerlukan seperti ini di akhirat nanti ?
“Namun, jika ingin, Anda dapat mencapai kebahagiaan akhirat dengannya, yaitu bila di dalamnya Anda menjamu dan menghormati para tamu, berbuat kebaikan terhadap sanak kerabat, serta menampakkan kebenaran yang harus ditampakkan. Dengan begitu Anda telah menjadikannya sarana baik guna mencapai akhirat !”
Kemudian, Ala si pemilik rumah berkata kepadanya :
“Wahai Amirul Mukminin, aku ingin mengadukan saudaraku, Ashim bin Ziyad, kepadamu.”
“Apa gerangan yang dilakukannya ?”
“Ia kini mengenakan aba'ah (pakaian orang miskin dari bahan amat kasar) dan meninggalkan sama sekali kenikmatan hidup dunia.”
“Panggilah ia kemari !”
Setelah Ashim datang, Imam Ali berkata kepadanya :
“Hai musuh kecil dirinya sendiri ! Sesungguhnya kau telah disesatkan oleh si jahat (yakni setan). Tidakkah kau mengasihani istri dan anak-anakmu ? Apakah, menurut perkiraanmu, Allah SWT telah menghalalkan bagimu segala yang baik, lalu Ia tidak menyukai engkau menikmatinya…? Sungguh, dirimu terlalu kecil untuk dituntut melakukan seperti itu oleh-Nya !”
“Tapi, wahai Amirul Mukminin,” ujar Ashim, “Anda sendiri memberi contoh dengan mengenakan pakaian amat kasar dan memakan makanan yang kering !”

“Ketahuilah, jawab Imam Ali, diriku bukan seperti dirimu.” Sebab Allah telah mewajibkan atas para pemimpin yang benar agar mengukur dirinya dengan keadaan rakyat yang lemah, sehingga orang miskin tidak sampai tersengat oleh kepedihan kemiskinannya !”

[Dikutip dari Mutiara Nahjul Balaghah] 

MACAM-MACAM PUASA

Puasa wajib
1. Puasa bulan Ramadhan
2. Puasa Qadha
3. Puasa kafarat (membayar kafarat)
4. Puasa seorang yang tidak mampu membeli hewan kurban pada haji Tamattu
5. Puasa hari ketiga I'tikaf
6. Puasa Nadzar

Puasa Mustahab (Sunat)
1. Puasa tiga hari setiap bulan (Hijriyah)
2. Puasa pada hari-hari putih ( tiap tanggal 13, 14 dan 15 Hijriyah)
3. Puasa pada hari al-Ghadir (18 Dzulhijjah)
4. Puasa pada hari lahir Rasululah saww. (17 Rabiul Awal)
5. Puasa pada hari Kenabian Rasululah saww. (27 Rajab)
6. Puasa pada hari Arafah ( 9 Dhulhijjah )
7. Puasa pada hari Mubahalah (24 Dhulhijjah)
8. Puasa pada hari Kamis dan Jum'at
9. Puasa pada tanggal 1-9 Dhulhijah
10. Puasa pada hari pertama dan ketiga bulan Muharram 
11.Puasa pada seluruh hari dalam setahun, kecuali hari-hari yang diharamkan dan dimakruhkan berpuasa di dalamnya. (Taudhih al- Masail, masa-lah 1748)


Puasa Makruh
1. Puasa sunat yang dilakukan seorang tamu tanpa seijin tuan rumah, atau tuan rumah melarangnya berpuasa.
2. Puasa seorang anak (yang belum akil baligh) tanpa seijin ayahnya dan puasa itu akan membahayakan dirinya.
3. Puasa seorang anak yang dilarang ayahnya berpuasa, walaupun puasanya itu tidak akan membahayakan dirinya.
4. Puasa seorang anak yang dilarang ibunya berpuasa, walaupun jika puasa itu dilakukan tidak akan membahayakan dirinya .
5. Puasa hari Arafah bagi orang yang bila ia berpuasa akan menyebabkan badannya lemah, sehingga tidak mampu membaca doa.

Puasa wajib
1. Puasa bulan Ramadhan
2. Puasa Qadha
3. Puasa kafarat (membayar kafarat)
4. Puasa seorang yang tidak mampu membeli hewan kurban pada haji Tamattu
5. Puasa hari ketiga I'tikaf
6. Puasa Nadzar

Puasa Mustahab (Sunat)
1. Puasa tiga hari setiap bulan (Hijriyah)
2. Puasa pada hari-hari putih ( tiap tanggal 13, 14 dan 15 Hijriyah)
3. Puasa pada hari al-Ghadir (18 Dzulhijjah)
4. Puasa pada hari lahir Rasululah saww. (17 Rabiul Awal)
5. Puasa pada hari Kenabian Rasululah saww. (27 Rajab)
6. Puasa pada hari Arafah ( 9 Dhulhijjah )
7. Puasa pada hari Mubahalah (24 Dhulhijjah)
8. Puasa pada hari Kamis dan Jum'at
9. Puasa pada tanggal 1-9 Dhulhijah
10. Puasa pada hari pertama dan ketiga bulan Muharram 
11.Puasa pada seluruh hari dalam setahun, kecuali hari-hari yang diharamkan dan dimakruhkan berpuasa di dalamnya. (Taudhih al- Masail, masa-lah 1748)


Puasa Makruh
1. Puasa sunat yang dilakukan seorang tamu tanpa seijin tuan rumah, atau tuan rumah melarangnya berpuasa.
2. Puasa seorang anak (yang belum akil baligh) tanpa seijin ayahnya dan puasa itu akan membahayakan dirinya.
3. Puasa seorang anak yang dilarang ayahnya berpuasa, walaupun puasanya itu tidak akan membahayakan dirinya.
4. Puasa seorang anak yang dilarang ibunya berpuasa, walaupun jika puasa itu dilakukan tidak akan membahayakan dirinya .
5. Puasa hari Arafah bagi orang yang bila ia berpuasa akan menyebabkan badannya lemah, sehingga tidak mampu membaca doa.

 


index buletin