BULETIN AL-JAWAD [edisi ke-4/tahun x/jumadil awal - jumadil akhir 1421 hijriah]

JENJANG - JENJANG SPIRITUAL
Sebuah Pengantar Tentang Irfan

Seperti yang sudah saya jelaskan atau mungkin belum, bahwa setiap disiplin ilmu itu mempunyai istilah-istilah tersendiri yang mereka gunakan untuk mempermudah orang-orang yang akan atau sedang mendalami ilmu tersebut.

Dalam kajian tentang ‘irfan atau tasawuf juga ada beberapa istilah tasawuf yang mesti diketahui oleh orang yang ingin mempelajari tasawuf. Meskipun mengetahui istilah tidak berarti telah menguasai atau mengalami irfan.

Saya akan keluar sedikit dari tema pembicaraan. Pernah menantu Imam Khomeini bernama Sayyidah Fatimah Thabathaba’i - kalau tidak salah, dia seorang doktor dan dosen di sebuah Universitas Teheran - meminta kepada Imam Khomeini sebagai mertuanya, untuk mengajarkan filsafat. Imam Khomeini menjawab dengan sebuah syair berbahasa Persia yang intinya, bahwa yang sekarang kamu ketahui ini, wahai Fatimah, adalah : fa, lam, sin, fa, ta saja (maksudnya falsafah). Jadi Anda hanya baru mengetahui kulit atau istilah-istilah filsafat saja. Anda belum memahami inti dari filsafat.

Dalam ‘irfan atau tasawuf; ada istilah-istilah yang digunakan untuk menjelaskan latihan-latihan ( riyadhah ) dan pengalaman-pengalaman spritual. Seseorang bisa saja menguasai istilah-istilah ‘irfan dan tasawuf tetapi belum tentu dia mengalami dan menjalankan riyadhah. Atau dengan kata lain, ada orang yang ahli tentang ‘irfan dan ada pula orang ‘arif atau shufi. Perbedaan ini muncul, diantaranya, karena istilah merupakan bagian dari ilmu hushuli sedangkan pengalaman-pengalaman spiritual adalah ilmu hudhuri. Syeikh Taqi Misbah Yazdi dalam menjelaskan kedua macam ilmu ini mengatakan, bahwa ilmu hushuli adalah ilmu yang diperoleh oleh seseorang melalui media atau perantara. Sedangkan ilmu hudhuri adalah ilmu yang diperoleh tanpa melalui media dan perantara. Meskipun demikian, bukan berarti istilah tidak diperlukan. Istilah perlu diketahui guna mempermudah penyampaian tentang sebuah ilmu pengetahuan, khususnya masalah Tasawuf. Al-Qusyairi, seorang tokoh sufi, dalam bukunya Risalah Al-Qusyairiyyah – sebuah buku yang menjadi referensi atau rujukan para sufi, baik Sunnah atau Syi’ah – mencantumkan istilah-istilah yang tidak bisa dipahami kecuali oleh orang yang belajar secara khusus tentang tasawuf. Ketika ditanya, Mengapa demikian ? Dia menjawab,”Saya sengaja sebutkan istilah-istilah ini supaya tasawuf itu tidak menjadi buku kacangan atau buku bacaan pengantar tidur.”. Oleh karenanya beliau sengaja menaruh istilah-istilah yang sulit supaya tidak semua orang membacanya dengan sendiri. Mesti ada seseorang yang menjadi pembimbing dalam memahami istilah-istilah tersebut, atau, paling tidak, seorang yang hendak membaca irfan, hendaknya memiliki dasar-dasar irfan dan filsafat yang cukup.

Saya kira dalam semua disiplin ilmu juga seperti itu. Dalam ilmu kedokteran misalnya, ada istilah-istilah yang mereka gunakan yang tidak dipahami oleh kalangan luar mereka. Saya sebagai orang awam tentang kedokteran, tidak mengerti istilah-istilah kedokteran itu. Itu adalah hal yang wajar. Mereka, para dokter saja yang memahami istilah-istilah itu. Atau Anda yang berkecimpung di dunia tekhnik misalnya, juga memahami istilah-istilah tekhnik. Sangatlah wajar kalau saya tidak memahami istilah-istilah tersebut. Demikian pula halnya dengan tasawuf. Tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu mempunyai terminologi atau istilah yang khusus diketahui oleh orang-orang yang belajar tentang itu saja.

Maqaamat dan Ahwaal
Ala kulli hal, secara umum ada dua istilah yang beredar di kalangan urafa, yaitu maqaamat dan ahwal. Maqaamat ( bentuk jamak dari maqam )adalah jenjang-jenjang atau tahapan-tahapan spritual. Ahwal atau hal-hal adalah keadaan spritual yang dialami pesuluk . Dua istilah ini cukup populer di kalangan mereka. Dalam hampir semua kitab irfan dan tasawuf, mereka menjelaskan tentang maqam-maqam dan hal-hal. Meskipun dalam penjelasannya berbeda-beda, tetapi intinya sama. Boleh jadi perbedaan itu karena, mungkin, pengalaman-pengalaman mereka yang tidak sama atau perbedaan itu muncul karena perbedaan dalam mengungkapkan pengalaman spiritual mereka ketika berjumpa (liqa') dengan Allah Ta’ala.. Mereka benar semuanya selagi tidak keluar dari koridor syariat. Apa itu maqaamaat dan apa itu ahwal atau hal-hal ? Disebutkan dalam kitab Manaazil al Saairiin, bahwa maqaamaat adalah tahapan-tahapan, atau, disebut juga, manazil yakni jenjang-jenjang spiritual yang dilalui seorang pesuluk menuju Allah. Seorang pesuluk ketika sampai ke satu jenjang, dia berhenti sejenak atau beberapa waktu sambil ber-mujahadah dalam jenjang tersebut, sampai sekiranya Allah SWT mempersiapkan untuknya jalan untuk mencapai jenjang yang kedua dan jenjang berikutnya. Itulah definisi maqam, yaitu jenjang atau tahapan yang dilalui oleh seorang pesuluk. Ber-mujahadahpada setiap jenjang spritual artinya dia bersungguh-sungguh membersihkan hati, mengontrol jiwa, agar tidak terjerumus dalam kehancuran, dan agar tidak turun kembali dari jenjang yang sudah dilalui. Kemudian setelah dia istiqomah dalam bermujahadah, Allah mempersiapkan baginya untuk mencapai maqam berikutnya atau jenjang berikutnya. Dia terus ber-mi'raj dan menaik dari satu maqam yang mulia ke maqam yang lebih mulia. Tsumma dana fatadalla fakaana qooba qawsaini aw adna.

Sebagai contoh, ada yang dinamakan maqam taubat . Taubat merupakan sebuah tahapan. Untuk sampai pada maqam ini tidak sekedar mengucapkan astaghfirullah saja, tetapi seorang pesuluk harus meninggalkan segala bentuk dosa dan kemaksiatan. Juga berada pada maqam ini perlu beberapa waktu dalam keadaan tidak bebrbuat dosa dan kemaksiatan. Bertaubat sejenak atau beberapa saat saja, misalnya menyesali dosa dan kemaksiatan dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi pada malam al qadar, lalu hari esoknya itu kembali berbuat dosa, hal demikian tidak menjadikan dia masuk ke maqam taubat.. Maqam taubat di sini adalah menjaga diri dari berbuat dosa setelah menyesalai dan meninggalkannya untuk sekian waktu. Untuk berapa lama ? Saya tidak paham.

Kemudian setelah dia istiqomah dalam taubat, Allah swt. mempersipkan baginya untuk menaik ke maqam berikutnya, maqam wara’ misalnya. Pada maqam ini juga dia harus istiqomah dengan wara' untuk tempo tertentu.. Tidak sehari atau dua hari tentunya. Setelah itu, Allah mempersiapkan ke maqam berikutnya, maqam az-Zuhud, misalnya dan seterusnya.

Jadi dalam perpindahan dari satu maqam atau tahapan ke tahapan yang lain itu perlu waktu, tidak sebentar, karena yang penting yang penting dalam bersuluk adalah istiqamah. Di sini saya tertarik dengan ungkapan dalam buku ini ( Manaazil al Saairin -ed), “ sehingga Allah mempersiapkan ”. Allah swt. yang mempersiapkan. Bukan si pesuluk atau siapapun, tetapi Allah yang mempersiapkan. Allah yang mengangkat dia ke maqam berikutnya. Allah yang memberi satu maqam kepadanya bukan dia yang mencari maqam. Jadi perpindahan dari satu maqam ke maqam yang lain, secara otomatis atau, sifatnya alami. Oleh karena itu, tidak mungkin seseorang langsung ke maqam wara’ sebelum melewati maqam taubat. Tadi saya katakan, " Allah yang mempersiapkan bukan siapapun selainnya ". Jadi yang menentukan dia pindah ke maqam wara’, siapa yang menentukan ? Allah SWT. Bukan si pesuluk tapi Allah Ta’ala yang menentukan. Itulah artinya maqam-maqam atau jenjang-jenjang spiritual.

Adapun ahwal atau hal-hal adalah hembusan-hembusan spiritual yang dihirup oleh seorang pesuluk, sehingga jiwa si pesuluk mendapatkan kesegaran ketika menghirup hembusan-hembusan spritual Ilahi (nasamaat ruhiyyah) tersebut. Hembusan ini tidak lama. Ia akan berlalu dan pergi hilang. Jiwa pesuluk terus mendambakan kembalinya hembusan Ilahi. Ahwal sifatnya sementara dan sejenak. Salah satu bentuk ahwal ialah, apa yang mereka sebut, Al-‘Unus billah. ‘Unus itu artinya perasaan asyik, artinya ber-asyik-ma'syuk dengan Allah swt. Misalnya, ketika dia shalat, dia merasakan kenikmatan shalat. Dalam berdoa merasa kenikmatan.. Mungkin kita pun pernah mengalami hal demikian, tentu dengan kadar yang berbeda, meskipun kita belum bersuluk. Allah kadang-kadang memberi kepada kita hembusanNya sehingga kita menikmati ibadah dengan khusyu, senang, namun hilang lagi. Untuk mencoba seperti itu lagi tidak bisa. Imam Ali as. pernah mengatakan, “Ketahuilah bahwa Allah mempunyai hembusan di hari-harimu.” Artinya di hari-hari kita ini, Allah memberikan hembusan kepada kita.

Contoh lain dari ahwal adalah mukasyafah atau kasyaf. Sewaktu-waktu Allah bukakan kepada seorang pesuluk tabir sehingga dia mengetahui haqiqat segala sesuatu. Penglihatannya menembus dimensi-dimensi materi. Mukasyafah juga sifatnya insidental, sejenak dan temporer. Ahwal tidak dicari tapi Allah yang memberinya kepada seorang pesuluk dan tidak datang sekehendak pesuluk.

Al-Junaid, salah seorang ‘arif mengatakan, “Hal adalah datang ke hati tapi tidak kekal, ia akan hilang.” Sebentar ia datang kemudian hilang lagi. Ahwal ini datang kepada seseorang yang sedang mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Abu Nashr Al-Thusi menjelaskan bahwa maqaamaat ruuhiyyah, seperti, wara’, zuhud, faqr, sabar, ridha, tawakal dan yang lainnya adalah jenjang-jenjang pesuluk. Kemudian dia meneruskan, "Adapun ahwal adalah sesuatu yang datang ke dalam hati karena kesucian zikir dan tidak lama, sebentar saja. Hal diperoleh bukan melalui mujahadah atau ibadah. Tidak seperti maqam yang diperoleh dengan mujahadah. Hal datang secara tiba-tiba. Tiba-tiba seorang pesuluk merindukan Allah, menangis, khusyu, musyahadah.

Maqam Yaqadzah
Urafa mengatakan bahwa maqam pertama adalah yaqazhah, kesadaran, bangun atau keterjagaan. Jadi maqam pertama adalah yaqazhah, sadar atau dia jaga, tidak lengah. Yaqazhah lawan dari ghaflah (kelengahan) Yaqazhah sadar atau terjaga dari kelengahan spiritual. Dia sadar bahwa dia itu diciptakan oleh Allah Ta’ala, bahwa dia di sini untuk menyembah Allah. Ghaflah di sini artinya ghaflah dari Allah karena hanya memikirkan dunia saja, memikirkan materi sehingga lengah dan lupa kepada Allah SWT. Ghaflah adalah penyakit ruhani yang besar. Allah berfirman : “Mereka melupakan Allah (mereka ghaflah kepada Allah), maka Allah lupakan mereka.

Seorang ketika lupa kepada Allah, dia berada pada titik bahaya. Sebagai akibatnya, dia akan melupakan dirinya sendiri dan melupakan segalanya sehingga jauh dari kebenaran. Itulah ghaflah sebagai lawan dari yaqazhah.

Jadi tahap pertama, yaqazhah artinya bangkit dari tidur, dari kelengahan. Para ‘urafai mengawali kitab-kitabnya dengan menyebutkan masalah yaqazhah, masalah kesadaran. Kesadaran atau keterjagaan modal pertama, karena tanpa ini orang tidak mungkin melanjutkan perjalanan spiritualnya kepada Allah SWT. Perjalanan menuju Allah swt harus dimulai dengan sadar.. Sekarang bagaimana agar kita ini yaqazhah ? Ada tiga cara agar kita masuk ke maqam pertama, yaqazhah.

Pertama, memperhatikan atau menyadari nikmat atau kenikmatan-kenikmatan Allah SWT. Memperhatikan atau menyadari karunia-karunia Allah SWT yang begitu besar dan banyak sehingga timbul kesadaran bahwa dia tidak mampu mensyukuri karunia-karunia Allah SWT. Dia sadar bahwa begitu banyak karunia Tuhan dan dia pun sadar bahwa dia tidak mampu mensyukuri semua kenikmatan dari Allah SWT. Sadar akan ketidak berdayaan mensyukuri nikmat Allah adalah modal perjalanan menuju Allah Swt.

Allah SWT berfirman : "Kalau kalian menghitung-hitung nikmat Allah, kalian tidak akan mampu menghitungnya.” Seseorang yang akan sampai ke maqam pertama, maqam yaqazhah, dia harus tahu betapa banyaknya nikmat Tuhan sehingga dia mengakui bahwa dia tidak bisa mensyukurinya. Kesadaran bahwa dia tidak berdaya dalam mensyukuri nikmat Tuhan itulah cara yang pertama untuk yaqazhah. Sebaliknya orang yang merasa mampu dan berdaya adalah awal petaka seorang manusia. Allah berfirman :“Sesungguhnya manusia itu akan berbuat taghut, berbuat zalim, berbuat kesalahan, ketika melihat dirinya cukup.”. Saya hebat, saya mampu ", ketika merasa dirinya cukup dan tidak menyadari karunia-karunia karunia Allah, maka itulah awal pertama seseorang menjadi zalim, orang yang ghaflah.

Jadi, agar sampai ke maqam yaqazhah seorang pesuluk harus belajar menyadari dan belajar mengetahui betapa banyaknya karunia Allah SWT. Betapa banyaknya kebaikan Allah Ta’ala yang diberikan kepada kita. Karunia Allah bermacam-macam, tidak hanya berbentuk materi. Namun kebanyakan manusia itu mengukur nikmat dengan materi. Dia bersyukur ketika mendapatkan dapat rezeki, ketika tidak mendapatkan rezeki, tidak bersyukur. Padahal siapa tahu ketika dia tidak mendapat rezeki, dia malah lebih khusyu ibadahnya. Kenikmatan Allah sering dianggap hanya berbentuk materi. Kenikmatan yang berbentuk spiritual tidak dianggap kenikmatan. Kenikmatan dari Allah bisa berbentuk materi dan non-materi..

Ketika orang ingin sampai ke maqam yaqazhah, harus menyadari bahwa begitu banyak karunia Allah Ta’ala yang luas. Tidak hanya berbentuk materi tapi juga non materi. Coba kita bayangkan masalah syukur. Tatkala seseorang bersyukur kepada Allah Ta’ala, menyadari begitu banyaknya karunia Allah Ta’ala dan dia sadar bahwa dia tidak mampu menghitungnya, akhirnya bersyukur alhamdulillah. Syukur ini bisa kita ungkapkan lewat ucapan, dan itu yang   minimal, dan bisa juga dengan tindakan..

Kedua, untuk sampai ke maqam yaqazhah adalah mempelajari dosa-dosa, mempelajari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, dan menyadari tentang bahaya dari dosa. Artinya mengetahui perbuatan-perbuatan yang tidak baik, apa saja hal-hal yang bisa memperkeruh hati, apa akibat dari perbuatan. Setiap yang kita lakukan itu ada akibatnya, apapun juga, kebaikan atau kejahatan. Jadi dosa yang kita kerjakan itu bisa melahirkan satu akibat.Kita mesti mempelajari dosa-dosa dan apa akibat yang akan muncul dari dosa tersebut. Dalam doa Kumail ada kalimat : “Ya Allah ampunilah dosa-dosa yang merobek-robek keterjagaan.",Ampunilah dosa-dosa yang menyebabkan turunnya bala", " Ampunilahdosa-dosa yang menghalangi doa ".

Kita tidak khusyu dalam ibadah, bisa jadi akibat dosa. Orang yang makan khumus dan orang yang tidak mengeluarkan khumus tidak akan khusyu ibadahnya. Allah akan menarik kekhusyuan dari orang yang makan khumus atau tidak mengeluarkan khumus. Orang yang tidak shalat apa akibatnya ?, orang yang tidak zakat apa akibatnya?, orang yang berbuat kemaksiatan apa akibatnya?. Semua itu mesti dipelajari sehingga timbul yaqadzah. Kemudian setelah mengetahui dosa-dosa, kita mengencangkan langkah kita untuk meninggalkan dosa. Melepaskan dari ikatan-ikatan dosa dan minta kepada Allah agar diselamatkan dari dosa. Ini adalah cara kedua untuk yaqazhah.

Seorang sahabat Nabi saww. bernama Abu Hudzaifah Al-Yamani yang digelari sebagai shahibul sirr Nabi atau pemilik rahasia Nabi, yang mengetahui rahasia-rahasia Nabi.Dia mengetahui siapa sahabat-sahabat Nabi yang munafik. Setelah Nabi saww. wafat, salah seorang sahabat yang terkenal kebesarannya bertanya, “Sebutkan, apakah saya termasuk yang munafik atau tidak?”. "Abu Hudzaifah tidak menjawab karena Nabi mewasiatkan untuk tidak membuka rahasia. Setelah Nabi meninggal, dia pengikut Imam Ali as. yang setia. Dia mengatakan, dalam riwayat yang populer di kalangan Sunnah dan Syi’ah, "Saya bertanya kepada Nabi tentang hal-hal yang tidak baik, tentang dosa-dosa. Aku menanyakan hal ini kepada Nabi agar aku bisa menghindarinya atau meninggalkannya ".Mempelajari dosa bukan untuk melakukannya tapi untuk menghindarinya. Hal itu dilakukan agar sampai ke maqam yaqazhah.

Kemudian cara yang Ketiga, adalah memperhatikan ibadah-ibadah yang sudah kita lakukan dan ibadah-ibadah yang kita tinggalkan di hari-hari yang lalu. Mengadakan evaluasi tentang amal ibadah kita. Evaluasi ini dilakukan setiap hari bukan setahun sekali.[]

____________
Ceramah Ustadz Husein Alkaff dalam paket kajian tentang 'irfan di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad. Ditranskrip oleh: Donny Somadijaya, SH.


index buletin