BULETIN AL-JAWAD [edisi ke-5/tahun x/rajab 1421 hijriah]

Menggapai Kemuliaan di Sisi Allah SWT


Pada hari ini kita memperingati dua peristiwa historis yang sangat berarti bagi kehidupan kita semuanya, selaku pecinta Ahlulbait a.s.; hari wafat dan hari kelahiraan Sayyidah Fathimah Az-Zahra a.s. Yang pertama terjadi pada tanggal 2 Jumadilakhir dan yang kedua terjadi pada tanggal 20 Jumadilakhir lima tahun setelah kenabian.

Berbicara tentang Sayyidah Fathimah Az-Zahra a.s. adalah berbicara tentang sosok pribadi agung dan suci. Pribadi yang diabadikan oleh Rasulullah saww dalam berbagai hadis dan kesempatan. Sebelum kami jelaskan tentang beberapa hal yang berkaitan dengan pribadi suci tersebut, ada beberapa mukadimah atau pengantar yang mudah-mudahan dapat membantu kita untuk memahami sosok pribadi Sayyidah Fathimah Az Zahra as.

Banyak Hadis dari Rasulullah saww yang menegaskan bahwa manusia di mata Allah SWT mempunyai kedudukan yang sama. Hadis Nabi yang populer berbunyi : “Manusia itu sama seperti anak sisir. Sama tingginya atau sama rendahnya. Bangsa Arab tidak lebih utama dari bangsa Ajam (yang bukan Arab) dan bangsa Ajam tidak lebih mulia dari bangsa Arab.”

Manusia sebagai makhluk Allah SWT, di mata Allah SWT sama. Mereka mempunyai potensi dan tugas yang sama untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Perbedaan suku, perbedaan warna kulit, perbedaan bangsa, adalah hanya variasi kreasi dari Zat Maha Mampu. Hadis-hadis lain yang serupa berkenaan dengan ini banyak, yang tidak perlu dijelaskan satu persatu.

Kemudian kita selaku orang mukmin, yang mempunyai pandangan dunia (world view) berdasarkan tauhid, meyakini bahwa Allah SWT adalah Pencipta alam semesta (tauhid al khaliqiyyah) dan Pemelihara alam semesta (tauhid al Rububiyyah). Hanya padaNya kemuliaan yang sebenarnya. Manusia secara fitrah ingin menjadi mulia. Manusia secara fitrah ingin dihormati, ingin mendapatkan kehormatan dan kemuliaan. Lantas dimanakah kemuliaan yang hakiki, dimanakah beradanya kehormatan yang sebenarnya ?.

Kita selaku orang mukmin meyakini dengan seyakin-yakinnya, bahwa kehormatan dan kemuliaan yang hakiki hanya berada pada Allah SWT. Dalam sebuah ayat disebutkan, “Sesungguhnya kehormatan (al ‘izzah) semuanya hanya milik Allah “ (QS: al Nisa’139), atau ayat, “ Katakanlah, Sesungguhnya kemuliaan (al-fadhl) berada di tangan Allah, Ia berikan kepada yang Ia kehendaki “.(QS: Ali Imran 73)

Sementara orang menduga bahwa kemuliaan dan kehormatan yang haqiqi berapa pada selain Allah SWT. Sebagian mengira kemuliaan dan kehormatan ada pada kedudukan. Sebagian mengira kemuliaan dan kehormatan ada pada nasab dan keturunan. Sebagian lagi mengira kemuliaan dan kehormatan ada pada harta kekayaan. Semua itu adalah kemuliaan dan kehormatan yang semu, yang relatif. Kemuliaan yang hakiki, kehormatan yang mutlak hanya ada pada Allah SWT.

Lantas dengan apa dan bagaimana manusia dapat meraih kemuliaan dari Allah SWT ?. Al-Qur’an menjelaskan dalam berbagai ayatnya, bahwa kemuliaan-kemuliaan Illahi, nilai-nilai keTuhanan dan kehormatan-kehormatan yang hakiki dapat diraih dengan tiga perkara; Pertama adalah Takwa, Allah SWT berfirman : “Hai manusia kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kalian berbagai suku dan kabilah agar kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling takwa ” (QS. Al-Hujuraat : 13)

Dengan takwa seseorang akan lebih mulia di sisi Allah dari yang lainnya. Dengan takwa seseorang akan lebih terhormat di mata Allah dari pada manusia-manusia lainnya. Menjadi seorang yang bertakwa tentu membutuhkan usaha yang maksimal. Imam Ali Zainal Abidin as. dalam mendefinisikan takwa menyatakan : “Hendaknya Allah tidak mendapatkan kamu disaat Ia melarang kamu, dan tidak kehilangan kamu disaat memerintahkan kamu “.

Ketika Allah melarang kita dari perbuatan keji dan kemaksiatan maka Allah tidak mendapatkan kita melakukan itu. Ketika Dia menyuruh kita shalat dan berbuat kebaikan, maka Allah tidak kehilangan kita dalam perbuatan tersebut. Itu arti takwa. Takwa juga diartikan, melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya. Orang yang menjaga ketakwaannya secara konsisten, aka menjadi pribadi yang ma’shum dan suci. Jadi, orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang ma’shum, orang yang bertakwa kepada Allah SWT. Tanpa takwa seseorang tidak akan mendapatkan kehormatan di sisi Allah SWT.

Ayat dan hadis tentang takwa banyak sekali. Di sini akan dijelaskan hanya beberapa ayat tentang akibat atau pengaruh takwa dalam kehidupan manusia. Misalnya, Allah SWT berfirman : “Barang siapa bertakwa kepada Allah SWT, maka Allah akan selalu memberikan kepadanya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak dia sangka.” (QS. Ath-Thalaaq: 2-3)

Artinya orang yang bertakwa senantiasa mendapatkan jalan keluar, tidak pernah gelisah, tidak pernah kesempitan. Segala problema yang dihadapinya akan berakhir dengan solusi yang melapangkan jiwanya. Orang Takwa senantiasa tenang dan mendapatkan solusi yang paling baik. Solusi yang dia peroleh dari Allah SWT sebagai akibat dari takwanya kepada Allah SWT. Orang yang bertakwa akan selalu mendapatkan rezeki dari Allah SWT. Tentu rezeki di sini tidak bisa kita artikan dalam arti yang sempit. Rezeki dari Allah tidak hanya berbentuk materi, tetapi juga berbentuk spiritual, kepuasan ruh. Ada orang yang mungkin secara materi mendapatkan materi yang berlimpah ruah tapi dia tidak mendapatkan kepuasan (qana’ah) sama sekali, itu berarti belum dapat rezeki. Sementara di pihak lain ada manusia yang mendapatkan kehidupan yang pas-pasan tapi dia tenang dan puas, itulah rezeki yang sebenarnya. Rezeki dari Allah adalah kepuasan jiwa dan kekenyangan jiwa. Bukan banyaknya materi yang dikumpulkan oleh seseorang. Berapa banyak orang yang kaya raya tapi merasa miskin terus, merasa tidak mempunyai apa-apa sama sekali. Berarti dia belum mendapatkan rezeki dari Allah SWT. Oleh karena itu dalam doa Kumail, “Ya Allah jadikanlah aku ini merasa rela danpuas dengan pembagian-Mu (rezeki-Mu ).”

Itu arti rezeki yang sebenarnya. Orang yang takwa senantiasa mendapatkan rezeki dalam arti kepuasan jiwa. Tidak pernah merasa miskin jiwanya dari materi. Ini efek dan buah dari takwa.

Juga dalam ayat lain, Allah menegaskan, “Bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajari kalian.” (QS: al Baqarah 282) Orang yang bertakwa akan mendapatkan ilmu dari Allah SWT. Ilmu bisa diraih oleh seseorang tidak hanya dengan belajar, seperti yang umum dilakukan oleh manusia, tetapi dengan pensucian jiwa lewat takwa. Bertakwalah niscaya Allah akan mengajarkan kepada kalian. Allah yang mengajar secara langsung.

Untuk mendapatkan kemuliaan yang hakiki, pertama, dengan Takwa. Yang kedua dengan jihad dan berjuang. Jihad mempunyai dua arti; jihadun nafs dan jihad bil amal. Maksud jihad di sini bukan jihadun nafs, karena jihad dalam pengertian ini sudah terkandung di dalam takwa. Seringkali orang cenderung memaknai jihad dengan jihadun nafs. Dengan dalih jihadun nafsi lebih afdhol dan lebih akbar. Boleh jadi hal itu, karena ketidak siapan mereka jihad bil amal. Jihad nafs seakan-akan tidak mempunyai konsekwensi apapun kecuali memperbanyak dzikir, berkhalwat, bertasawuf, sehingga jihad bil amal dilalaikan dan dinomerduakan. Pengertian jihad di sini adalah jihad dengan raga, jihad bil amal bukan jihadun nafs, karena jihad nafs sama dengan takwa tadi. Sehubungan dengan jihad ini, Allah berfirman : “Allah mengutamakan ( memuliakan) derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya di atas orang-orang yang tidak berjihad ”.(QS: al Nisa’ 95 ). Jihad di sini sekali lagi adalah jihad bil amal, bukan jihad nafs.

Sesuai dengan ayat ini bahwa untuk mendapatkan kemuliaan di sisi Allah swt. adalah berjihad. Banyak contoh dari jihad bil amal. Jihad dengan harta, menginfaqkan hartanya dalam rangka memperjuangkan agama Allah SWT., berjihad dengan ilmu, mengajar, berjihad dengan tenaga. Inilah contoh-contoh jihad. Artinya ketika seseorang ingin mendapatkan kemuliaan dari Allah Ta’ala, maka harus berjihad. Tanpa jihad tidak mungkin seseorang dapat kemuliaan dari Allah SWT.

Jadi jihad adalah cara yang kedua untuk meraih kemuliaan dari Allah SWT. Dalam ayat lain tentang jihad, Allah berfirman : “ Dan orang-orang yang berjihad di jalan kami, akan kami berikan kepada mereka petunjuk menuju jalan-jalan Kami ”. (QS: al ‘Ankabut 69)

Berjihad artinya kita mengorbankan apa yang kita miliki untuk Allah dan agamaNya. Para Nabi, para Imam dan orang-orang soleh lainnya adalah contoh-contoh yang jelas sebagai pribadi-pribadi yang memperjuangkan agama Allah Ta’ala dan mengorbankan apa yang mereka miliki. Rasulullah saww sendiri adalah tokoh para mujahidin. Imam Husain as adalah contoh lain dari seorang yang telah mengorbankan apa yang ia miliki sampai dengan tetesan darah terakhir.

Dikhawatirkan, sekarang ini ada trend orang lebih cenderung menafsirkan jihad dengan jihadun nafs saja. Mengalihkan jihad ke arti yang sempit, yaitu jihadunnafs. Memang dalam sebuah Hadis disebutkan, setelah Nabi pulang dari sebuah peperangan dengan para sahabatnya beliau mengatakan, “ Kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar “. “ Apa itu jihad akbar ? “. Nabi menjawab, “ jihadun nafs “. Memang jihadunnafs adalah jihad yang besar, dalam arti bahwa perang dengan nafsu itu selamanya tidak akan pernah berakhir. Selagi kita masih hidup di dunia ini dan masih mempunyai jiwa, maka selama itu pula kita wajib berjihad dengan nafsu. Tetapi jihadunnafs bukanlah satu-satunya jihad.

Ada jihad lain yang barangkali lebih berat yaitu jihad bil amal. Dikhawatirkan ada penyelewengan makna jihad, yang seakan-akan dibatasi dengan jihadunnafs saja. Sebenarnya orang yang telah jihad dengan nafsunya, maka pasti akan melakukan jihad kecil. Orang yang telah mengalahkan nafsunya dan menyiapkan dirinya untuk Allah Ta’ala, maka dia pasti terpanggil untuk jihad yang kecil. Jadi tujuan dari jihadunnafs adalah jihad bil amal. Yakni mengorbankan apapun untuk Allah SWT. Tidak hanya disibukkan dengan jihadunnafs saja tanpa beringsut ke jihad dengan raga. Itulah jihad kecil, jihad dengan amal, jihad dengan raga sebagai upaya untuk sebagai upaya untuk meraih kemuliaan yang hakiki di sisi Allah swt.

Yang ketiga, untuk mendapatkan kemuliaan dari Allah adalah dengan ilmu (ma’rifah). Allah SWT berfirman : “Allah mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujaadilah : 11)

Untuk mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah Ta’ala adalah pengetahuan atau ma’rifah tentang Allah SWT. Ilmu apa atau ilmu tentang apa yang menjadikan seseorang mulia di sisi Allah swt. ? Ilmu di sini adalah ilmu tentang Tuhan, tentang Kebenaran yang Mutlak. Bukan sembarang ilmu. Memang ilmu sebagai knowledge lebih baik dari bukan ilmu (jahil). Ilmu tentang ketuhanan (makrifatullah) yang menjadi fondasi paling elementer dari agama. Dalam khutbah pertamanya di kitab Nahjul Balaghah, Imam Ali a.s. mengatakan, “ Fondasi din yang pertama adalah ma’rifah tentangNya “. Kemudian beliau meneruskan bahwa kesempurnaan ma’rifatullah adalah men-tauhidkan-Nya dan seterusnya tentang pengetahuan yang benar tentang Allah swt. Ringkasnya, dalam khutbah ini, beliau ini menjelaskan ma’rifah Allah yang benar..

Semua manusia, khususnya kaum muslimin meyakini wujudnya Allah swt., tetapi pengetahuan atau ma’rifah mereka tentang-Nya benar atau tidak, wallahu alam. Pengetahuan tentang Tuhan yang belum benar bukan fondasi pertama dari agama. Fondasi pertama agama adalah ma’rifatullah yang benar. Itulah yang dimaksud oleh Allah SWT, bahwa seseorang yang berma’rifah dengan benar sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ali as adalah caraya untuk mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT.

Jadi dengan tiga perkara manusia akan mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT. Yang mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa, berjihad dan berma’rifah kepada Allah SWT. Tanpa tiga ini maka seseorang tidak mungkin mendapatkan kemuliaan dan kehormatan dari Allah SWT.

Kemudian sepanjang sejarah manusia dari Nabi Adam as sampai hari ini dan hari-hari yang akan datang terus sampai hari kiamat, pasti ada setiap zaman manusia-manusia yang mulia di sisi Allah SWT. Dalam sebuah ungkapannya yang indah sekali Imam Ali as mengatakan, “Senantiasa Allah SWT mempunyai manusia-manusia yang mana Allah membisikkan kepada mereka dengan bisikan-bisikanNya.”. Allah Maha Bijaksana dan Maha Adil memberikan kesempatan kepada seluruh manusia untuk meraih kemuliaan Illahi. Tidak hanya untuk satu generasi manusia saja. Tidak hanya untuk orang-orang yang hidup pada zaman Nabi saja.

Selain para Nabi as. dan Imam Ahlulbait a.s. yang telah memperoleh kemuliaan dan kehormatan di sisi Allah SWT, juga sejumlah wanita, dan kita sekarang memperingati hari kelahiran dan wafatnya Sayyidah Fathimah Az-Zahra’ as, yang telah mendapatkan hal yang sama atau hampir sama dengan mereka. Dalam Qur’an, Allah menjelaskan kepada kita dua sosok wanita yang tinggi kedudukannya di sisi Allah SWT.; Sayyidah Asiyah, istri Fira’un dan Sayyidah Maryam binti ‘Imran. Kedua wanita ini, sebagaimana yang Allah sebutkan nanti, merupakan teladan dan model yang baik tidak hanya untuk wanita mukminah saja, tetapi untuk seluruh kaum mukminin, laki-laki maupun perempuan. Allah swt. berfirman, “ Allah memberikan contoh untuk orang-orang yang beriman, istri Fir’aun ketika ia berkata, ‘ Ya Tuhan, bangunkan untukku di sisi-Mu rumah di surga, dan selamatkan aku dari Fir’aun dan kelakuannya dan selamatkan aku dari orang-orang yang dhalim. Dan Maryam putri ‘Imron yang telah menjaga kehormatannya, lalu Kami tiupkan padanya dari Ruh-Ku. Dan Dia telah membenarkan kalimat-kalimat Tuhan-Nya dan kitab-kitab-Nya, dan Dia termasuk orang-orang yang tunduk “.( QS : al Tahrim 11-12 ) .

Setelah keterangan di atas tadi, mari kita lihat sosok pribadi Sayyidah Fathimah Zahra’ as. Beliau adalah wanita teladan, bukan teladan wanita. Dua kata yang berbeda. Beliau adalah wanita teladan untuk semuanya, baik laki-laki maupun perempuan, bukan teladan wanita, yang hanya untuk wanita saja. Lantas mengapa Sayyidah Fathimah Az Zahra as sedemikian rupa dipuji oleh Allah SWT dan Rasulullah saww.? Mengapa beliau mendapatkan kemuliaan yang sedemikian tinggi sehingga dia menjadi wanita teladan untuk kaum mukmin dan mukminah ?.

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa untuk mendapatkan kemuliaan dari Allah Ta’ala ada tiga cara; takwa, jihad dan ma’rifah. Sekarang mari kita lihat dari keterangan-keterangan hadis dan kehidupan Sayyidah Fathimah Az-Zahra a.s. Pada kesempatan ini akan dijelaskan beberapa riwayat tentang ketakwaan Sayyidah Fathimah Az-Zahra a.s. sehingga beliau menjadi wanita penghulu alam semesta (sayyidatu nisaa’i al ‘aalaminn). Sebelum menjelaskan tentang tiga hal itu, kami ingin menjelaskan beberapa sifat atau julukan yang disandang oleh Sayyidah Fathimah Az Zahra as.

Yang pertama adalah al-Batul. Beliau digelari dengan sebutan al-Batul. Apa arti al-batul ?, Ibnu al Mandzur meriwayatkan bahwa Nabi saww. ditanya tentang sebab dinamainya al batul?, beliau menjawab, “Karena dia tidak sama dengan perempuan zamannya dan perempuan umat manusia dari segi kesuciannya, kemuliaannya, agamanya dan kedudukannya”. Dikatakan juga, karena dia telah melepaskan diri dari dunia menggantungkannya hanya untuk Allah SWT. Itulah salah satu sebab dinamakan atau digelarinya Fathimah dengan Al-Batul.

Juga beliau digelari dengan al-Muhaddatsah, orang yang dapat bisikan dari malaikat. Memang setelah Rasulullah Saww meninggal dunia, tidak ada lagi wahyu turun. Namun ilham atau bimbingan dari Allah Ta’ala terus berlaku sampai akhir zaman, tetapi tidak berbentuk wahyu. Kita mengenal istilah ilham atau tahdits atau muhaddatsah. Tiga kata ini punya arti yang sama yaitu mendapatkan bimbingan berupa bisikan dari Allah SWT. Perbedaannya dengan wahyu adalah kalau wahyu bimbingan dari Allah Ta’ala yang diberikan kepada para Nabi untuk disampaikan kepada manusia dan berbentuk ajaran atau syariat. Sementara ilham atau tahdits adalah bimbingan dari Allah SWT. tidak untuk disampaikan kepada manusia dan tidak berbentuk ajaran. Wahyu berhenti dengan wafatnya Rasulullah Saww. Sayyidah Fathimah Az-Zahra a.s. adalah figur wanita yang mendapatkan bisikan atau bimbingan langsung dari Allah SWT.

Ada sebuah Hadis Al Ishak bin Ja’far bin Muhammad bin Isa bin Zaid bin Ali, dia berkata, “Aku mendengar Abu Abdillah Ja’far ash-Shadiq a.s. berkata, Fathimah dipanggil dengan sebutan muhaddatsah karena para malaikat turun kepada Fathimah Az-Zahra a.s. dari langit. Para malaikat itu membisiki Fathimah Az Zahra as sebagaimana mereka membisiki Maryam putri Imran.” Malaikat berkata kepada Fathimah, “Wahai Fathimah sesungguhnya Allah telah memilih anda, telah mensucikan anda dan mengangkat anda di atas wanita-wanita alam semesta ini. Wahai Fathimah, taatlah kepada Allah SWT, bersujudlah, ruku’lah bersama orang-orang yang ruku.”

Para malaikat disamping berbisik dengan Fathimah, juga Fathimah berbincang-bincang dengan para malaikat. Pada suatu malam Fathimah Az Zahra as berkata kepada para malaikat, “Bukankah wahai para malaikat, wanita yang diutamakan atas seluruh wanita alam semesta adalah Maryam binti Imran?”. “Wahai Fathimah kata para malaikat, Sesungguhnya Maryam adalah pemimpin wanita zamannya. Tetapi Allah SWT menjadikan anda penghulu wanita zamanmu dan zaman Maryam serta seluruh wanita awal dan akhir.”

Jadi ada dialog antara Sayyidah Fathimah Az Zahra as dengan para malaikat. Oleh karena itu Sayyidah Fathimah digelari Al-Muhadasah. Demikian pula Sayyidah Zainab as putri dari Sayyidah Fathimah, seorang perempuan yang muhaddatsah, yang mendapatkan bisikan dari para malaikat. Inilah beberapa gelar dari Sayyidah Fathimah Az-Zahra a.s. Tentu kemuliaan yang beliau raih dikarenakan tiga hal tadi; takwa, jihad dan pengetahuan tentang Allah SWT.

Ada beberapa hadis tentang ibadahnya Sayyidah Fathimah Az Zahra a.s. Disebutkan dari Imam Hasan bin Ali a.s. Beliau berkata, “Aku lihat ibuku Fathimah a.s. bangun di tengah malam di mihrabnya pada malam Jum’at. Beliau senantiasa ruku, sujud sampai cahaya subuh muncul. Aku mendengarkan ibuku Fathimah mendoakan kaum mukmin dan mukminat dan menyebutkan nama-nama mereka. Beliau banyak mendoakan mereka kaum mukmin dan mukminat, tetapi beliau tidak mendoakan untuk dirinya sendiri. Aku berkata kepada ibuku, “Wahai ibuku mengapa anda tidak mendoakan dirimu sendiri, sebagaimana mendoakan orang lain?”. “Wahai putraku, kata Fathimah, tetangga dulu baru penghuni rumah (al jaaru tsumma al daaru)“.

Juga ada Hadis yang lain dari Muhammad al Baqir bin Ali al Sajjad bin Husein bin Ali a.s. Pernah Rasulullah saww mengutus Salman al Farisi untuk menjumpai Sayyidah Fathimah Az Zahra. Salman menjelaskan, ketika aku sampai di rumah Fathimah, aku berdiri di depan pintu Fathimah lalu aku mengucapkan salam kepada Fathimah. Aku mendengarkan suara Fathimah membaca Al-Qur’an di depan, sementara suara batu untuk penggiling gandum di belakang rumahnya. Salman menyampaikan ini kepada Rasulullah saww tentang kejadian yang menarik itui. Rasulullah mendengarkan dari Salman tentang Fathimah, lalub beliau berkata, “ Wahai Salman, putriku Fathimah Az-Zahra a.s. Allah telah memenuhi hatinya dan raganya dengan iman sampai ubun-ubunnya. Dia khusyu atau menyibukkan dirinya untuk taat kepada Allah SWT, sehingga Allah mengirim untuknya malaikat yang namanya Jukoil, atau Jibril namanya. Allah mengutus malaikat Jibril kepada Fathimah untuk memutarkan gilingan untuk menggiling gandum tersebut. Allah telah memberikan kepadanya bantuan dari malaikat.

Itulah Sayyidah Fathimah Az-Zahra a.s. yang telah mendapatkan kehormatan dari Allah SWT karena ketakwaannya. Tentu banyak lagi Hadis-Hadis tentang Sayyidah Fathimah Az Zahra as, sebagai akhir tentang ibadah Sayyidah Fathimah atau ketakwaannya. Pernah Rasulullah saww bertanya kepada Ali bin Abi Thalib a.s. “Wahai Ali, bagaimana engkau mendapatkan istrimu Fathimah?” Imam Ali menjawab, “Ya Rasulullah istriku Fathimah sebaik-baiknya orang yang membantuku menyembah Allah SWT ” Itulah komentar Imam Ali tentang Sayyidah Fathimah a.s., istri yang membantu suaminya untuk taat, tidak untuk bermaksiat.

Juga Rasulullah bertanya kepada Fathimah, “Wahai Fathimah apa yang engkau dapatkan dari suamimu Ali ?” Jawabannya, “ Ia sebaik-baiknya suami yang bertanggung jawab.” Inilah contoh suami istri yang ideal. Istri yang membantu suaminya untuk taat kepada Allah Ta’ala dan suami yang paling baik dalam bertanggung jawab pada keluarganya.

Hasan Basri menjelaskan tentang Sayyidah Fathimah Az Zahra as, tidak ada di umat ini seorang perempuan yang lebih ‘abid (ahli ibadah) dari Fathimah. Dia berdiri di tengah malam sampai kedua kakinya bengkak.

Kemudian disamping ketakwaannya, Sayyidah Fathimah Az-Zahra a.s. juga seorang mujahidah dan pembela ayahandanya, Rasulullah saww. Diriwayatkan dalam sebuah Hadis, pernah suatu hari Sayyidah Fathimah Az-Zahra a.s. keluar ikut perang bersama ayahnya dan suaminya dalam fathu Makkah. Sayyidah Fathimah berangkat dari Madinah bersama Rasulullah dan suaminya Ali bin Abi Thalib as. Beliau membuat kubah ( kemah ) di sebuah pegunungan sebelum masuk Mekah. Rasulullah mandi di atas tersebut dan Sayyidah Fathimah Az-Zahra a.s. menutupinya dari pandangan manusia. Artinya dalam banyak kesempatan Sayyidah Fathimah as ikut mendampingi Rasulullah dan suaminya dalam peperangan.

Juga riwayat ketika sejumlah sahabat Nabi berbai’at kepada khalifah pertama, sementara Ahlulbait sedang mengurusi jenazah Rasulullah Saww. Setelah selesai proses pembai’atan, Imam Ali a.s. bersama Sayyidah Fathimah keliling ke semua sahabat Ansor dan Muhajirin, tentang mengapa kalian telah berbai’at kepada kepada khalifah pertama. Yang pergi menjumpai para sahabat tidak hanya Imam Ali a.s., tetapi beliau bersama istrinya Sayyidah Fathimah Az Zahra as. sebagai bukti kesetiaan dan loyalitas Sayyidah Fathimah kepada Imam Ali as sebagai imam zamannya.

Juga Sayyidah Fathimah as mendapatkan kemuliaan dari Allah karena pengetahuannya tentang Allah SWT. Tentu kita semua pernah mendengarkan bagaimana Sayyidah Fathimah pernah berkhutbah di hadapan para sahabat Nabi setelah dilantiknya khalifah pertama. Beliau menegur mereka semua di atas mimbar ayahandanya Rasulullah saww. karena ketergesaan mereka membicarakan masalah suksesi. Dengan lantang beliau menegur mereka, sampai-sampai khalifah kedua dan pertama nangis ketakutan mendengar ceramah dan teguran Sayyidah Fathimah dalam menegur sejumlah sahabat Rasulullah saww.

Dalam khutbahnya itu, beliau menjelaskan masalah tauhid, kenabian, imamah dan ma’ad ( hari akhir). Menyampaikan dasar-dasatr agama (ushuluddin) di atas mimbar di hadapan para sahabat dengan bahasa yang sangat indah sekali. Itulah keilmuan atau ma’rifah Sayyidah Fathimah Az-Zahra a.s. tentang al Haq, tentang kebenaran. Oleh karena itu, pantaslah beliau menjadi manusia teladan untuk semua manusia sepanjang zaman, karena ketakwaannya, jihadnya dan ma’rifahnya kepada Allah SWT.

Mudah-mudahan dalam kita memperingati hari wafat dan hari kelahiran Sayyidah Fathimah as kita mendapatkan syafaatnya di hari nanti, Insya Allah. Mudah-mudahan kita dibangkitkan bersama Rasulullah, bersama Sayyidah Fathimah, bersama Ahlul Bait as, sementara mereka menjemput kita dengan senyum dan senang .[]

____________
Ceramah Ustadz Husein Alkaff dalam pada peringatan hari wafatnya dan kelahirannya Sayyidah Fatimah az-Zahra bulan September 2000 di Masjid Nurul Falah Bandung. Ditranskrip oleh: Donny Somadijaya, SH.


index buletin