BULETIN AL-JAWAD [edisi ke-6/tahun x/sya'ban 1421 hijriah]

Tradisi Tasyayyu’

Betapa banyak kenikmatan yang telah Allah limpahkan kepada kita sehingga kita tidak akan mampu menghitungnya. Dan setiap kenikmatan harus disyukuri sesuai dengan bentuk dan kadar kenikmatan itu. Semakin besar dan berarti sebuah kenikmatan, maka semakin besar tanggung jawab kita untuk mensyukurinya. Dari sekian banyaknya kenikmatan Allah, kenikmatan yang paling besar adalah kita diperkenalkan olehNya pribadi Nabi saww dan Ahlul baitnya, sehingga kita, karena karunia Allah, mengenal mereka dan berusaha untuk mengikuti mereka. Pada akhir surat al Takaatsur, disebutkan bahwa manusia kelak akan dimintai pertanggung jawabannya atas kenikmatan-kenikamatan yang telah Allah berikan kepadanya,
“Kemudian kalian benar-benar akan dimintai pertanggungan jawaban pada hari itu tentang kenikmatan (naii’m) “.

Salah satu bentuk kenikmatan dari Allah yang besar dan sekaligus akan dipertanyakan oleh-Nya kepada kita adalah kecintaan kepada Rasulullah Saww. dan Ahlul baitnya. Dalam tafsir al Mizan dikutip sebuah riwayat dari Abu Abdillah as. Beliau berkata, “ Umat ini akan dipertanyakan tentang apa yang telah Allah berikan kepada mereka berupa kehadiran Rasul-Nya dan Ahlil baitnya “.

Kehadiran Nabi dan keluarganya yang suci merupakan karunia Allah yang paling besar. Untuk itu, tugas umat manusia adalah memelihara dan menjaga karunia ini dengan sebaik mungkin. Memelihara dan menjaga karunia ini dengan mengikuti ajaran-ajaran mereka, mengikatkan diri dan meleburkan segenap wujud kita ke dalam wujud mereka. Tanpa itu, kita belum menjaga dan memelihara kenikmatan yang besar itu. Salah satu bentuk pengikatan dan peleburan diri dengan Nabi dan Ahlul baitnya ialah memahami dan melibatkan diri dalam tradisi para pecinta dan pengikut Ahlul bait yang sudah berjalan puluhan atau ratusan tahun.

Sebelum kami jelaskan beberapa bentuk tradisi para pengikut Ahlul bait as., ada sebuah pengantar yang perlu diketahui, yaitu bahwa ketika seseorang secara konsisten mengikuti sebuah agama atau sebuah aliran, maka semua ajaran agama yang ia lakukan menjadi sebuah tradisi dan kebiasaan baginya. Demikian pula sebuah komunitas dari sebuah agama akan mempunyai tradisi keagamaan yang sama. Kita sebagai pencinta Ahlul Bait berusaha untuk terus mengikuti mereka. Kita tidak ingin keluar dari pesan-pesan Ahlul Bait a.s. Ajaran-ajaran Ahlul bait ini jika kita jalankan terus menerus maka dengan sendirinya akan mengkristal dan menjadi sebuah tradisi.

Setiap agama, aliran dan mazhab mempunyai tradisi tersendiri. Kita juga mempunyai tradisi Ahlul Bait, tradisi tasyayyu’. Kita tidak bicara apa dasar dari tradisi ini. Bisa saja dasarnya adalah ayat Qur’an atau hadis Nabi dan para Imam ma’shum atau, boleh jadi, keterangan para ulama. Yang penting segala perbuatan yang kita kerjakan apapun dasarnya, selagi tidak melanggar dan menyimpang dari prinsip-prinsip agama, maka menjadi sebuah tradisi.

Kita sebagai komunitas tasyayyu’, pecinta Ahlul Bait as.yang baru dan masih muda, harus berjalan menuju sebuah tradisi tasyayyu’, agar kita tidak terpisah dari komunitas Syi’ah lainnya yang ada di pelbagai belahan dunia. Banyak tradisi tasyayyu’ yang harus kita kembangkan dan kita pertahankan. Memang usia tasyayyu’ kita belum tua. Kita dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan tradisi yang non tasyayyu’, kemudian kita pindah ke tasyayyu’, sehingga banyak dari tradisi ke-syi’ah-an yang belum kita jalankan, bahkan belum kita ketahui. Kita belum akrab dengan tradisi tasyayyu’.

Kita semua ini mempunyai latar belakang tradisi keagamaan yang berbeda-beda. Di antara kita ada yang mempunyai latar belakang dari golongan yang begitu konsern dengan Qur’an dan Sunnah. Mereka mempunyai tradisi, setiap kali menerima informasi tentang ajaran agama maka mereka mempertanyakan apa dalilnya dari Qur’an atau hadis. Golongan ini biasanya diwakili oleh Persis. Mereka mempunyai tradisi ketika mendapatkan sebuah informasi keagamaan, maka akan bertanya apa dalilnya, apa Hadisnya. Apapun informasi keagamaan yang mereka terima maka dia secara spontanitas menanyakan apa dasarnya, apa dalilnya. Ini tradisi kaum Persis.

Dari kita juga ada yang berasal dari kelompok haroqiyyin. Mereka mempunyai tradisi misalnya bai’at. Ketika dia bergabung dengan sebuah kelompok tertentu, maka dia akan bertanya, Siapa imam kita ?, Bagaimana berbai’at dengannya ? Berapa infaq yang harus diberikan ?. Ini adalah tradisi sejumlah golongan dari kaum muslimin, yang sebagian dari mereka masuk ke tasyayyu’.

Ada juga dari kita yang sebelum ke tasyayyu termasuk ke dalam kaum tradisionalis, seperti NU atau Habaib yang mempunyai tradisi tersendiri. Jadi kita ini adalah komunitas yang heterogen dan berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda., Kita sekarang kumpul dalam sebuah komunitas yang baru, wadah yang baru yaitu Syi’ah.

Kita sebagai pengikut Ahlul bait mempunyai tradisi tersendiri yang tidak sama dengan tradisi-tradisi di luar tasyayyu’. Seringkali dari kita membawa tradisi lama ke dalam tradisi tasyayyu’, sehingga terjadi benturan-benturan dan ketidak sesuaian - ketidak sesuaian antara perbuatan kita dengan tradisi tasyayyu’ yang benar. Semua ini harus dihilangkan. Kita harus berjalan dengan bahtera Nuh dan meninggalkan tradisi-tradisi di luar tasyayyu’ dan masuk ke dalam tradisi yang baru. Tradisi tasyayyu’ sudah bertahan puluhan tahun, malah ratusan tahun yang diwariskan oleh para ulama Ahlul Bait a.s. Tradisi tasyayyu’ terkadang berdasarkan pada al Qur’an dan sunnah nabi dan ahlul bait, dan terkadang berdasarkan pada sirah ‘uqalaiyyah dan sirah mutasyarri’ah.

Salah satu contoh dari tradisi yang bertahan di kalangan tasyayyu’ adalah masalah marjai’yah dan taqlid. Dalam tradisi tasyayyu’, seseorang ketika ingin mengikuti ajaran Ahlul Bait, maka terbentang baginya dua pilihan- sebenarnya tiga pilihan, tapi di sini dijelaskan dua saja-, ijtihad atau taqlid, dan tidak ada pilihan lain. Tradisi ini tentu bertentangan dengan tradisi sejumlah kaum muslimin yang mengharuskan setiap individu untuk berijtihad, atau minimal ber-ittiba’. Tradisi ini bertentangan seratus delapan puluh derajat dengan tradisi tasyayyu’ yang mengharuskan taqlid bagi sejumlah orang. Taqlid artinya menerima fatwa dari seorang ulama tanpa harus bertanya, Apa dasar fatwanya ?. Bertaqlid termasuk tradisi tasyayyu’. Dalam hal ini, tidak akan dijelaskan apa dasar taqlid itu. Dasar taqlid bisa diambil ayat Qur’an atau hadis atau sirah uqalaiyyah.

Contoh lain dari tradisi tasyayyu’ adalah dalam hal memilih marja’ ,atau mengetahui seseorang itu mujtahid atau bukan mujtahid. Imam Mahdi a.s. mengatakan, “ Adapun dalam menghadapi masalah-masalah kontemporer yang bermunculan setelah kegahibanku, maka kembalikanlah kepada para perawi hadis kami.”

Maksud dari para perawi di sini adalah para ulama faqih. Namun, seseorang itu dikatakan faqih bagaimana ? atau kapan seorang itu dianggap telah manjadi faqih ?. Dalam tradisi tasyayyu sekarang ini, seseorang ketika ingin menjadi mujtahid mesti belajar beberapa tahun. Dalam tempo itu, dia harus menyelesaikan sejumlah kitab fiqih dan ushul fiqih tertentu, dari kitab yang paling rendah, menengah sampai yang paling pelik sekali. Apa dasar dari ketentuan ini ? Apakah ada hadis dari Imam ma’shum yang menentukan kitab yang harus diselesaikan ?. Tentu tidak ada dasar tektual dari hadis, apalagi ayat Qur’an. Yang penting kata Imam Mahdi a.s., bahwa ketika aku gaib tanyalah segala permasalahan keagamaan kepada para ulama faqih yang menguasai hadis-hadis kami. Para ulama faqih ini disebut pula mujtahid. Tetapi itu menjadi bagian dari tradisi tasyayyu’ yang sudah berjalan puluhan tahun.

Juga misalnya, dalam memilih marja’, ada kode etiknya yang sudah menjadi tradisi. Yaitu dengan tiga cara, seperti yang disebutkan oleh Imam Khomeini dalam Tahrir al wasilah. Pertama, kita menguji seorang mujtahid itu ,apakah dia itu a’lam atau tidak a’lam. Kedua, dengan kesaksian dua orang mujtahid yang adil. Ketiga, dengan berita yang terseber. Ini adalah tradisi dalam memilih mujtahid untuk dijadikan marja’. Tradisi ini berlaku sudah sejak puluhan tahun. Orang Syi’ah mesti paham masalah ini, masalah Taqlid dan marja’iyyah. Tidak sembarangan dia mengikuti sebuah hadis secara langsung dari kitabnya. Misalnya , ada sebuah buku yang berjudul Fiqih Lima Mazhab karangan Allamah Jawad Mugniyah. Ada seorang dari kita setelah tasyayyu, mengikuti fiqih yang tercantum dalam kitab Fiqih Lima Mazhab itu. Jelas hal demikian menyalahi tradisi tasyayyu’, dan ibadahnya tidak sah. Atau mengikuti fatwa yang tercantum dalam kitab Fiqih Jafari. Cara ini juga menyalahi tradisi tasyayu.

Jadi ada kode etik untuk bertasyayu, tidak sembarangan. Tasyayyu’ mempunyai tradisi yang baku, dan tidak bisa dilanggar begitu saja. Ini yang harus kita pahami dengan baik. Banyak dari kita yang tidak memahami hal demikian. Itu wajar, karena latar belakang kita yang berbeda. Tapi insya Allah, dengan perjalanan waktu tradisi tasyayyu akan makin kita pahami dengan baik dan akan kita jalankan seperti pendahulu kita dari para pencinta Ahlul Bait a.s. Jadi tradisi taqlid dan marjai’yyah adalah tradisi yang bertahan sudah lama puluhan tahun.

Untuk merobah tradisi ini, itu tidak mudah dan jangan sembarangan. Tidak dengan mudah, seseorang merobah tradisi tasyayyu’, kecuali orang itu mempunyai kapasitas ilmu yang cukup dan diakui. Saya contohkan, dalam tradisi tasyayyu proses untuk menjadi mujtahid mengalami perobahan-perobahan. Misalnya beberapa tahun yang lalui, seseorang ketika hendak menjadi mujtahid, maka disamping menguasai bahasa Arab dan logika dengan baik, dia harus belajar kitab Ushul fiqih yang paling sederhana, yaitu kitab Maa’limuddin, kemudian Al Rosaail. Setelah itu, masuk bahtsul khorij (belajar tentang tata cara, sekaligus praktek, mengambil hukum dari sumber-sumbernya bersama seorang mujtahid atau marja’). Kemudian proses ini, mangalami perubahan. Yaitu, setelah mempelajari kitab Maalimuddin tidak bisa langsung ke al Rosail, dia harus membaca kitab al Kifayah dulu.

Kemudian pada masa Syech Al Mudofar ada tambahan, yaitu membaca kitab Ushul fiqih al Mudhoffar setelah kitab Maalimuddin dan sebelum kitab al Kifayah. Yang merobah ini adalah para ulama yang diakui keilmuannya oleh ulama lainnya.

Yang terkini, adalah Ayatullah Muhammad Baqir Shadr yang merombak kitab-kitab Ushul fiqih tersebut dan menggantikannya dengan kitab yang beliau tulis, yaitu kitab al Halaqoot al Tsalaats. Menurutnya, untuk menjadi mujtahid tidak usah membaca kitab Maalimuddin yang merupakan kitab kuning yang lama, yang tidak relevan dengan kondisi sekarangi, juga kitab-kitab Ushul fiqih lainnya. Tetapi cukup dengan kitab tulisannya tersebut lalu baranjak ke Bahtsul khorij. Ini adalah terobosan dari Baqir Sadr yang merombak tradisi tasyayyu’ untuk mewujudkan mujtahid. Orang semacam beliau, memang, mempunyai kelayakan dan kompetensi untuk melakukan hal itu. Meskipun juga ada yang kontra terhadap terobosan Baqir Sadr itu,. Namun, yang kontra pun mengakui kehebatan beliau.

Jadi untuk merobah tradisi ketasyayuan tidak sembarangan. Tidak bisa seseorang bertaqlid kepada seorang marja’ Fulan, misalnya, dengan alasan fatwa-fatwa marja’ itu kontroversial dan berani. Atau mengatakan, saya berpindah kepada mujtahid fulan karena ada kesamaan selera. Berpindah kepada seorang marja’ hanya karena alasan seperti itu menyalahi tradisi tasyayyu’, dan juga tidak dibanarkan.

Atau malah menentukan seorang mujtahid karena dia orang alim dan banyak karya-karyanya. Menentukan Fulan itu mujtahid atau bukan mujtahid bukan karena banyak karya-karyanya. Sebenarnya, untuk menentukan seseorang itu mujtahid atau bukan mujtahid bukan tugas kita. Kita tidak mempunyai kapasitas atau kompetensi untuk menilai seorang itu mujtahid atau bukan mujtahid. Itu tugas para mujtahid yang lain. Dalam tradisi tasyayyu’ ada caranya. Tidak hanya karena dia pakai sorban atau banyak karyanya, maka dia mujtahid, atau karena fatwa seorang mujtahid itu beran dan sesuai dengan selera saya, maka saya bertaqlid kepadanya. Itu jelas menyalahi tradisi tasyayyu ‘.

Ayatullah Baqir Shadr yang demikian jeniusnyapun ditentang oleh banyak orang. Padahal dia mujtahid pada usia 21 tahun. Untuk merobah tradisi yang sudah baku, telah berjalan bertahun-tahun, tidak bisa dirobah begitu saja. Ini yang perlu dipahami oleh kita, bahwa kita dalam bertasyayu mempunyai tradisi ketasyayuan yang harus dijaga dengan baik.

Membaca doa Kumail adalah contoh lain dari tradisi tasyayyu'. Setiap malam Juma'at mereka membaca doa Kumail, atau malam Rabu mereka membaca doa tawassul.

Kalau kita ingin bergabung dengan komunitas Syi'ah yang ada di dunia, maka kita tidak bisa melepaskan tradisi tasyayyu'. Tradisi di luar tasyayyu' jangan kita bawa ke dalam tasyayyu'. Kita harus hilangkan semua pakaian-pakaian di luar tasyayyu'. Kita masuk dengan pakaian yang baru dan dengan tradisi yang baru. Bagaimana kita mengetahui tradisi tasyayyu'? Kita harus banyak bergaul, berkumpul dan berhubungan dengan masyarakat tasyayyu'. Mudah-mudahan dengan seringnya kita berkumpul, kita bertukar pikiran dan saling mengenal sesama kita. Ada di antara kita yang sudah lama tasyayyu' dan pernah bersentuhan dengan komunitas Syiah yang sudah bertahun-tahun. Mari kita menyeragamkan tradisi ke-tasyayyu-an kita agar sama dengan tasyayyu di belahan duni lainnya, tentu, tanpa menghilangkan ke-indonesia-an kita.[]

____________
Ceramah Ustadz Husein Alkaff pada acara do'a Kumayl bersama, YPI Al-Jawad dan IPABI Bogor tanggal 28 September 2000. Ditranskrip oleh: Donny Somadijaya, SH.


index buletin