- Imam Abu Jafar Muhammad Al-Baqir berkata,
"Ketika Allah menciptakan akal, Dia mengajaknya berbicara. Allah berkata,
Menghadaplah (kepada-Ku)! Maka, akalpun segera menghadap. Kemudian Allah
berfirman kepadanya, Demi kebesaran dan kemuliaan-Ku, tiada makhluk yang lebih Aku
cintai daripada kamu. Dan tidak Aku sempurnakan kamu melainkan pada orang-orang yang Aku
cintai. Kepadamulah Aku menyuruh, melarang, menyiksa, dan memberi pahala."
-
- Pendahuluan
- Tema akal adalah salah satu tema keislaman
yang sentral. Karena akal seringkali disebut-sebut oleh Alquran sebagai sesuatu yang
sangat penting. Atas dasar itu, kita mesti mencari tahu makna akal dalam berbagai
rentangannya yang tidak terbatas.
-
- Kejahilan
- Akal adalah lawan dari jahl (kebodohan
atau kejahilan). Keduanya berlawanan dalam segala tahapnya : ontologis, epistemologis, dan
aksiologisnya. Meski kejahilan mempunyai semacam eksistensi subyektif dan refleksif, tapi
ia tidak memberi efek-efek obyektif dan aktual. Seperti halnya eksistensi warna dalam
cahaya. Pada hakikatnya, warna tidak memiliki eksistensi obyektif di alam cahaya.
- Secara fisis, foton-foton atau
partikel-partikel terkecil cahaya yang dipancarkan dari suatu sumber memiliki energi yang
berbeda- beda. Indera dan persepsi kita-lah yang menafsirkan beragam energi ini sebagai
warna. Warna sebenarnya tidak eksis disamping cahaya. Akan tetapi, cahayalah satu-satunya
yang secara obyektif eksis, sedangkan warna hanya memiliki semacam eksistensi subyektif di
dunia cahaya.
- Dalam bahasa filosofis, kejahilan adalah
kekurangan -pada tingkat paling abstraknya adalah ketiadaan- pengetahuan. Ia hanya bisa
menunjukkan arti kurang yang sedikitpun tidak memiliki kualitas ontologis (amr
wujudy).
- Kekurangan adalah ketiadaan sesuatu dan
ketiadaan sesuatu itu tak lain adalah noneksistensi, adam atau nothingness.
-
- Untuk mempermudah, saya akan berikan suatu
contoh matematis di sini. Ambillah angka sepuluh. Sepuluh dikurangi satu sama dengan
sembilan. Sembilan adalah angka yang kekurangan 1 (satu) untuk menjadi 10 (se-puluh).
Karenanya, sah kalau saya mengatakan bahwa 9 (sembilan) itu kurang 1 (satu) dibanding 10
(sepuluh) sehingga angka satu tiada, kurang, noneksis, nonbeing, dan lain-lain pada
angka 9 (sem-bilan) -bila dibanding dengan angka 10 (sepuluh). Namun, kalau
- kita membandingkan angka 9 (sembilan) dengan
angka 8 (delapan), maka kita akan mendapatkan "kekayaan" yang luar biasa pada
angka 9 (sembilan) dan ke-kurangan pada angka 8 (delapan) dan demikian seterusnya.
- Kembali pada pokok persoalan kita di atas.
Kejahilan itu tiada secara obyektif karena sifatnya yang kurang tersebut. Jadi
orang bodoh adalah orang yang kurang pengetahuannya atau belum memiliki pengetahuan.
-
-
- Kesempurnaan dan Kekurangan
- Kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kesucian,
kekuatan, kemandirian, dan lain sebagainya adalah amr wujudy (kualitas ontologis).
Sebaliknya, kekurangan, kecacatan, keburukan, kelemahan, dan lain sebagainya adalah
kualitas-kualitas yang relatif dan tiada secara obyektif. Dengan kata lain, kesempurnaan
itu manakala sesuatu itu ada, sedangkan ketiadaan adalah sumber segala kekurangan.
- Diriwayatkan, Nabi Saww. bersabda, "Kebaikan,
seluruhnya milik-Mu. Keburukan tak satupun kembali kepada-Mu." Tuhan sebagai
Pemiliki segala kebaikan -kebaikan tentu tidak dapat dipisahkan dari kesempurnaan- adalah
Tuhan Allah yang diajarkan Islam.
- Dalam pandangan dunianya yang ditandaskan
oleh Alquran dan Hadis, Islam meyakini bahwa seluruh yang ada senantiasa baik dan
sempurna. Dan Allah disebut mahabaik karena Dia mahaada.
Oleh sebab itu, demonstrasi
filosofis akan sifat-sifat sempurna (shifat kamaliyyah) Allah dalam teologi Syiah,
seperti sifat ke-mahaadilan-Nya, ke-mahabijaksanaan-Nya, ke-mahatahuan-Nya,
ke-mahakuasaan-Nya dan lain sebagainya, diimplikasikan secara langsung dari prinsip
keniscayaan eksistensial-Nya.
- Walhasil, secara umum, semua maujud
atau yang ada itu baik. Setidaknya, ia baik untuk dirinya sendiri tanpa
dikait-kaitkan dengan\kepada selainnya (an sich). Pengaitan dan penghubungan satu
dengan yang lain ialah asal-usul ke-burukan atau kejelekan di alam ini. Dengan demikian,
ke- burukan dan kejelekan itu bersifat -bahkan berwujud- secara relatif.
- Lebih jauh, mengikuti paradoks kaum Sufi,
ketiadaan adalah meng-hubungkan sesuatu kepada Allah. Ketika Anda menisbatkan dan
mem-bandingkan keberadaan Anda de-ngan keberadaan Allah, maka akan menyaksikan diri Anda
tersuruk ke lubang ketiadaan. Karena sumber se-gala wujud dan keberadaan adalah Dia
semata. Kalau kita mengatakan bahwa ada ke-beradaan di samping keberadaan Allah, maka kita
telah menduakan dan membedakan dua corak keberadaan yakni keberadaan Allah dan keberadaan
selain-Nya. Dan ini adalah syirik hakiki. Syirik hakiki adalah keyakinan akan
- dualisme eksistensial dalam makna di atas.
- Seperti yang sudah dijelaskan di atas, 9
(sembilan) jika kita lihat sebagai dirinya sendiri, maka tampaklah ia sebagai sesuatu yang
sempurna dan baik. Namun, bila kita lihat dia secara komparatif dengan yang di atasnya,
maka tampaklah ia sebagai sesuatu yang kurang, buruk, dan tiada. Namun, bila kita
hubungkan 9 (sembilan) dengan angka 8 (delapan), maka akan tampak jelas bagi kita semua
bahwa 9 (sembilan) sangat sempurna. Apalagi bila kita mengaitkannya dengan 7,6,5,4,
dan seterusnya, maka kesempurnaannya semakin tampak dengan nyata. Perlu dicatat, bahwa
kesempurnaan angka itu selalu bersifat kuantitatif. Untuk itulah, kita memberinya nama
angka.
- Marilah kita perhatikan contoh berikut ini.
Andaikan ada nyamuk malaria menggigit lengan Anda. Dokter yang Anda temui setelah kejadian
itu menyarankan Anda untuk membersihkan sarang-sarang nyamuk yang ada di rumah Anda. Anda
dianjurkan oleh si dokter untuk membasmi semua nyamuk yang ada di rumah Anda.
- "Nyamuk itu jelek, buruk, bencana, dan
lainnya bagi manusia," tutur sang dokter kepada Anda. Namun, bila ke-jadian itu kita
pandang dari kacamata filosof, maka kita tidak akan menemukan kejelekan dan keburukan
sedikitpun di da-lamnya. Jika Anda bertanya mengapa ? Maka si filosof itu
- akan menjawab demikian, "Bukankah nyamuk
itu adalah ciptaan yang, antara lain, perannya di alam ini sebagai obyek makanan atau
subyek pemakan ? Kalau kita melihatnya dari sisinya sebagai subyek pemakan, maka ia telah
menyempurna-kan tugasnya dengan baik dan sempurna."
- "Lengan Anda sebagai organ yang dapat
digigit nyamuk pun sempurna. Karena ia bukan besi atau aluminium atau yang semisalnya.
Ketidaksempurnaan dan kejelekan, dengan makna konvensional, pulasan dan semunya, tampak
saat kita menghubungkan yang satu kepada yang lainnya." Inilah kira-kira tanggapan si
filosof tentang kejadian tersebut.
- Karena seluruh eksistensi itu sempurna dan
baik, maka pengetahuan sebagai salah satu kualitas eksistensial dan ontologis juga sempurna
dan baik.
-
- Eksistensi dan Pengetahuan
- Pernyataan "aku mengetahui sesuatu"
pasti mempraanggapkan kenyataan adanya hubungan refleksif antara pengetahuan dan
eksistensi subyek yang mengetahui. Refleksifitas adalah relasi yang mengandung pasangan
(a,a,) untuk setiap aÎ A. Kategori eksistensi dan pengetahuan yang tampak berbeda itu,
tidaklah dapat dipisahkan dalam perspektif ontologisnya. Mengetahui adalah
tingkatan tertentu dari mengada. Singkat kata, eksistensi pengetahuan adalah
hubungan subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui.
- Pembahasan seputar makna kesatuan obyek dan
subyek pengetahuan dalam bahasa filsafat Islam disebut kaidah ittihad al-aqil wal
maqul.
-
- Pengertian Akal
- Dalam mensyarahi hadis di atas, Allamah
Majlisi dalam kitab Mirat al-Uqul menyatakan bahwa aql
(akal) secara bahasa berarti pengikatan dan pemahaman terhadap sesuatu. Secara istilah,
akal digunakan untuk menunjukkan salah satu definisi berikut ini:
- 1. Kemampuan untuk mengetahui sesuatu.
- 2. Kemampuan memilah-milah antara kebaikan
dan keburukan yang niscaya juga dapat digunakan untuk mengetahui hal-ihwal yang
mengakibatkannya dan sarana-sarana yang dapat mencegah terjadinya masing-masing dari
keduanya.
- 3. Kemampuan dan keadaan (halah) dalam
jiwa manusia yang mengajak kepada kebaikan dan keuntungan dan menjauhi kejelekan dan
kerugian.
- 4. Kemampuan yang bisa mengatur
perkara-perkara kehidupan manusia. Jika ia sejalan dengan hukum dan dipergunakan untuk
hal-hal yang dianggap baik oleh syariat, maka itu adalah akal budi. Namun, manakala ia
menjadi sesuatu yang mbalelo dan menentang syariat, maka ia disebut nakra` atau
syaithanah.
- 5. Akal juga dapat dipakai untuk menyebut
tingkat kesiapan dan potensialitas jiwa dalam menerima konsep-konsep universal.
- An-nafs an-nathiqah (jiwa rasional
yang dipergunakan untuk menalar) yang membedakan manusia dari binatang lainnya.
- 6. Dalam bahasa filsafat, akal merujuk kepada
substansi azali yang tidak bersentuhan dengan alam material, baik secara esensial (dzaty)
maupun aktual (fily).
- Definisi-definisi yang dipaparkan Allamah
Majlisi di atas mengandung ketumpang-tindihan terminologis. Dengan sedikit kecermatan,
kita bisa mendapatkan persamaan makna pada tiap-tiap definisi yang diberikan. Misalnya
definisi kesatu, kedua, dan ketiga itu dapat dikatakan identik, meski dipandang dari
perspektif yang sedikit berbeda. Definisi keempat memberikan gambaran umum tentang akal
melalui bahasa syariat yang dapat dibedakan dari definisi-definisi sebelumnya hanya dari
sisi detailnya. Definisi kelima berupaya mengembalikan makna akal sebagai suatu potensi
pencerapan yang bersifat pasif. Definisi keenam memandang akal dari sisi penalarannya yang
bersifat aktif. Dan definisi ketujuh, agak berbeda dari yang sebelumnya, memandang akal
dari perspektif ontologisnya. Namun demikian, masing-masing definisi ini sama sekali tidak
dapat dipertentangkan.
- Dalam mensyarahi hadis yang sama, Mulla
Shadra dengan tegas memaknai aql di sini sebagai kepribadian Nabi Muhammad
Saww. - dalam seluruh martabat wujud beliau. Karena menurutnya, semua sifat yang diberikan
Allah kepada akal itu identik dengan sifat-sifat Nabi Muhammad Saww. yakni:
- 1. Dalam hadis ini digambarkan bahwa Allah
mengajak akal "berbicara". Dan ini sama halnya dengan Allah mengajak Nabi
berbicara dalam perjalanan Mikraj beliau.
- 2. Hadis ini menegaskan ketaatan akal kepada
Allah. Ketaatan Nabi kepada Allah itu bersifat aksiomatis.
- 3. Dalam hadis di atas Allah menandaskan
kecintaan-Nya yang luar biasa kepada akal. Dalil-dalil rasional dan riwa`iy
(riwayat) menegaskan bahwa Nabi adalah makhluk yang paling dicintai Allah.
- 4. Keimanan terhadap wujud Nabi atau kepada
kenabian beliau ialah syarat mutlak kesempurnaan tauhid. Dan kesempurnaan tauhid adalah
anugerah agung dan luas yang tidak Allah berikan kecuali kepada para kekasih-Nya.
- 5. Dan sifat terakhir yang tercantum di dalam
hadis ini adalah bahwa kepada akal-lah Allah menyuruh, melarang, menyiksa, dan memberi
pahala. Allah berfirman, "(Ingatlah) ketika Allah mengambil janji para nabi
(yaitu), sungguh apa yang Aku datangkan kepada kalian berupa kitab dab hikmah. Kemudian,
datanglah kepada kalian utusan yang membenarkan apa yang ada pada kalian dan berkata,
Hendaklah kalian beriman kepadanya dan menolongnya. Allah berkata,
Adakah kalian akui dan ambil janji-Ku itu! Mereka menjawab, Kami
mengakuinya. Berkata Allah, Bersaksilah! Sesungguhnya Aku beserta kalian akan
menjadi saksi." (QS Ali Imran, 3:81). Jelas bahwa kepada Nabi
Muhammad Saww. Allah memberi perintah dan larangan dan karena beliau pulalah Allah
menurunkan pahala dan siksa.1
- Dengan ungkapan yang agak berbeda, Allamah
Thabathaba`i menarik kesimpulan yang sama. Dalam magnum opus-nya, Al-Mizan,
Allamah Thabathaba`i menye-butkan, dengan mengutip sebuah hadis masyhur, bahwa akal
adalah sesuatu yang dengannya Allah di-sembah. Dengan kata lain, akal adalah lentera yang
dengannya seseorang dapat mengenali "Wajah" Allah. Ini berarti bahwa peran yang
dimainkan akal itu sama sekali tidak berbeda dengan peran yang dibawa oleh Nabi 2.
Dan kesimpulan ini jelas tidak berbeda dengan kesimpulan Mulla Shadra yang mengatakan
bahwa akal itu identik dengan Nabi Muhammad Saww.
- Dari sudut yang berbeda, dapat kita katakan
bahwa akal adalah manifestasi dan petunjuk internal dari keberadaan Nabi. Muhammad adalah
inti wujud segenap nabi dan senjata pamungkas kerasulan. Bagaimanapun juga, manifestasi
mesti mencerminkan obyek dasarnya. Dengan demikian, semua ucapan, amalan, dan penegasan
Nabi Muhammad Saww. pasti bersifat rasional. Lebih jauh, Nabi Muhammad Saww. adalah
kriteria rasionalitas dan irasionalitas segala sesuatu.
- Dan Alquran yang merupakan tajally
yang paling sempurna dari haqiqah muhammadiyyah (hakikat ke-Muhammad-an) dapat pula
memainkan peran yang sama. Inilah metode penggabungan sisi intelektual, rasional, dan
teoretis manusia atau masyarakat dengan sisi individual, sosial, dan praktisnya dalam
pandangan-dunia Islam. Pandangan-dunia Islam menggunakan metode ini untuk membangun
infrastruktur (rasio), struktur (masyarakat), dan suprastruktur (pemerintahan) sosial
kemasyarakatan.
- Muhaqqiq al-Lahiji menulis demikian,
"Akal dan ruh, sirr dan khafy, jiwa rasional dan kalbu adalah hakikat
yang sama. Namun, karena dzuhur (manifestasi) yang terjadi pada berbagai gradasi
eksistensialnya, maka mereka memiliki hukum dan sifat yang berbeda-beda sesaui dengan
tingkat eksistensialnya. Oleh sebab itu para ulama memberikan pada masing-masingnya nama
yang berbeda-beda" 3
-
- Iqbal dan Idbar
- Ada banyak kemungkinan makna iqbal (kemenghadapan)
dan idbar (keberpalingan). Boleh jadi, makna menghadap dan berpalingnya akal itu
bersifat hakiki dan bukan majasi. Karena banyaknya manusia yang dengan akalnya menjadi
taat kepada Allah (iqbal) dan ada pula yang tidak. Kemungkinan ini, tentunya
bertentangan dengan teori Mulla Shadra yang kami paparkan di atas. Sebab Nabi Muhammad
Saww. mustahil tidak taat kepada Allah.
- Mungkin juga makna dari menghadap dan
perginya akal itu bersifat takwiny (kreatif atau berkaitan dengan penciptaannya).
Sehingga jika akal dalam keadaan menghadap, maka ia dapat melakukan penyempurnaan,
pendekatan-diri kepada Allah, dan transendensi. Sebaliknya, kalau ia dalam keadaan berpaling,
maka ia mengalami keme-rosotan dan kehancuran maknawi. Teori ini tidak sesuai dengan
pendapat Mulla Shadra dan Allamah Thabathaba`i di atas. Kedua kemungkinan makna ini
diajukan oleh Allamah Majlisi dalam kitabnya yang sama.
- Kemungkinan lain adalah bahwa makna keduanya
mengacu kepada istilah para sufi mengenai qabdh (penyem-pitan dan penggenggaman)
dan basth (pelapangan dan pe-longgaran [dari ikatan atau genggaman]). Menurut
Qusyairi, kedua keadaan tersebut adalah maqam-maqam yang dilalui oleh para penempuh jalan
spiritual.
- "Keduanya akan tampak setelah seorang
hamba melewati keadaan takut dan harap. Keadaan sempit bagi para sufi
atau arif itu sama dengan keadaan takut bagi murid. Keadaan lapang bagi arif
itu sama dengan keadaan harap bagi seorang murid," ungkap Qusyairi.4
- Para sufi berpendapat bahwa kedua keadaan
itu, baik bagi arif maupun murid, selalu bergonta-ganti dalam kalbu seorang mukmin yang
berjalan meniti sirath al-mustaqim (jalan yang lurus).
- Kamaluddin Abdurrazzaq Al-Kasyani menerangkan
kedua keadaan ini sebagai berikut, "Keadaan lapang pada kalbu sama dengan
keadaan harap pada jiwa manusia. Ia adalah keadaan hati yang mengisyaratkan
penerimaan (qabul yang berasal dari akar-kata yang sama dengan iqbal),
kelembutan (luthf), rahmat, dan keintiman hati dengan Allah (uns).
Sebaliknya, keadaan sempit sepadan dengan keadaan takut pada jiwa. Keadaan lapang
pada sang mahabenar adalah saat Allah melapangkan seorang hamba yang hidup secara
lahir di tengah masyarakat dan menyempitkannya dan merangkulnya untuk
Diri-Nya sendiri secara batin sebagai rahmat bagi hamba tersebut. Maqam ini menjadikan
hamba tersebut dapat mencakupi segala sesuatu, tapi tidak dicakupi oleh sesuatu apapun
(selain daripada Allah). Dia dapat mempengaruhi segala sesautu (dengan izin Allah) dan
tidak dipengaruhi oleh apapun (selain daripada-Nya).5
- Imam Ali pernah berkata, "Kalbu
mempunyai keadaan ingin, menghadap dan mengungkur. Maka, datangilah
kalbu ketika ia dalam keadaan ingin dan menghadap. Karena, bila kalbu itu
sudah tidak ingin, maka ia menjadi buta."
- Seyogyanya, seorang bertanya tentang
bagaimana korelasi antara akal dalam pembahasan ini dan keadaan-keadaan kalbu yang saya
sebutkan. Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengembalikan perhatian Anda kepada
premis yang saya nukil dari seorang filosof agung di atas, Muhaqqiq Lahiji. Dalam bukunya
tersebut, dia membawakan pembuktian filosofis dan demonstratif akan korelasi antara akal
dan kalbu. Bahkan, lebih jauh, Lahiji mengemukakan dalil-dalil tentang kesatuan keduanya.
-
- Rujukan
- 1. Mulla Shadra, Syarh Ushul al-Kafi,
Kitab Al-Aql wa Al-Jahl, hadis pertama. Penerbit Mussase-muthalaat wa
tahqiqat-e farhangge. Dengan perubahan redaksi seperlunya.
- 2. Allamah Thabathaba`i, al-Mizan,
tafsir ayat 130 surah al-Baqarah.
- 3. Muhaqqiq Lahiji, Syarh Gulsyan-e Raz,
hal. 4.
- 4. Syaikh Qusyairi, Rasail Qusyayriyyah,
halaman 14.
- 5. Kasyani, Ishthilahat ash-Shufiyyah,
terbitan Bidar, Qum-Iran, hal. 37.
|