SUNGGUH, Allah
Taala dengan iradah azaliyah-Nya telah menghadirkan seorang wanita, yang
langit dan bumi belum pernah dan tidak akan pernah menyaksikan, sebelum dan sesudahnya,
wanita seperti dia. Ia dilahirkan dari dua manusia suci. Yang satu Muhammad bin Abdullah,
ayahandanya yang sangat menyayanginya, yang sekaligus merupakan seorang nabi yang paling
mulia di antara nabi yang diutus, dan makhluk Tuhan yang paling dicintai-Nya. Yang satunya
lagi adalah ibunda tercintanya, Khadijah binti Khuwailid, seorang wanita yang mengorbankan
segala yang dimilikinya demi kebenaran.
Tidak heran kalau sang bayi mungil,
yang terlahir dari dua orang suci tersebut, mewarisi segala kemuliaan dan kebesaran kedua
orang tuanya, dan kelak bumi dan langit serta segala isinya akan menjadi saksi tentang
ketegaran dan keagungan bayi tersebut.
Kehadirannya di tengah-tengah bangsa
yang biadab, keras kepala, dan yang mengubur wanita hidup-hidup, menjadikannya lebih
cemerlang dan bersinar. Semua itu terjadi bukan secara kebetulan dan tanpa perhitungan,
akan tetapi akibat dari sebuah rekayasa Tuhan yang amat cermat dan tepat.
Dia lahir lima tahun setelah
ayahanda tercintanya diberi tugas yang amat berat dan sangat suci, yaitu untuk
menyelamatkan seluruh umat manusia dari kehancuran menuju kedamaian. Sang bayi mungil,
sebagaimana bayi-bayi lainnya, mendapatkan belaian kasih sayang dari kedua tangan
ibundanya dan curahan kecintaan dari kedua mata ayahandanya.
Dia mulai menyadari bahwa
kehadirannya benar-benar merupakan anugrah Tuhan untuk kedua orang tuanya. Hari demi hari
silih berganti, dilewatkannya dengan penuh keindahan dan kesenangan. Namun, kesenangan dan
keceriaan si kecil tadi hanyalah merupakan satu episode khusus dari serangkaian episode
skenario Tuhan yang penuh keharuan, kesedihan, deraian air mata, dan tekanan batin.
Seakan-akan Sang Sutradara Agung Yang Mahabijak hendak menampilkannya sebagai sosok yang
menjadi tumbal keserakahan umat manusia.
Di saat Fathimah kecil beranjak usia
lima tahun, ibunda tercintanya pergi untuk selamanya. Dan segera setelahnya, paman
ayahanda beliau yang kharismatik, Abu Thalib, juga menyusul ke alam baka. Belaian kasih
sayang kedua tangan ibundanya tidak akan pernah dialaminya lagi.
Sejak kepergian Abu Thalib dan
Khadijah, Fathimah kecil harus bersiap-siap menghadapi kegetiran dan kepahitan hidup.
Serigala-serigala padang pasir yang lapar dan sadis, sudah mulai meneteskan air liurnya
dan meraung-raung, yang menandakan pesta jahiliah segera dimulai.
Mereka tidak sabar lagi untuk
merobek-robek relung hati si kecil yang suci, Fathimah, yang baru saja kehilangan
ibundanya. Maka babak baru kehidupan Fathimah kecil yang sangat berbeda dengan sebelumnya,
segera dimulai.
Ketegaran yang diwarisi Fathimah
kecil dari ibunda dan ayahandanya, tidak menjadikannya sebagai seorang anak kecil yang
mudah merengek. Dia tampil seakan-akan seorang wanita dewasa yang matang dan penuh
pengertian.
Jika dia menangis, hal itu bukan
karena dan untuk dirinya sendiri, tetapi disebabkan dan untuk ayahandanya dan para
sahabatnya yang senantiasa diganggu dan disiksa kaum musyrikin.
Para ahli sejarah menceritakan,
pernah sutu waktu ketika Rasulullah Saww sedang menunaikan shalat di Masjid Al-Haram,
beliau tunduk bersujud di hadapan Sang Pencipta. Tiba-tiba datanglah sejumlah pembesar
Quraisy menghampirinya dan melempari kepala dan punggung beliau dengan kotoran binatang.
Beliau diam dan tetap meneruskan sujudnya.
Fathimah kecil menyaksikan sendiri
perbuatan amoral yang menimpa ayahandanya itu di hadapan kedua matanya yang bening. Lalu,
dia segera mendekatinya dan membersihkan kotoran binatang tersebut dari kepala dan
punggung ayahandanya dengan kedua tangannya yang lembut. Kedua matanya berderai air mata.
Sekali-kali terdengar isak tangis
dari rongga dadanya yang dalam, keluar tidak tertahan lagi. Rasulullah Saww segera menatap
muka Fathimah yang sedih, kemudian memeluknya sambil bersabda, "Putriku, janganlah
engkau bersedih. Hal ini tidak akan berlangsung lama," sambil menghiburnya.
Betapa besar perjuangan dan
pembelaan Fathimah terhadap ayahandanya, sehingga posisi Fathimah seakan-akan tidak lagi
sebagai putri Rasulullah. Tetapi sebaliknya, Fathimah yang begitu dewasa dan matang
pribadinya dan selalu berada di samping ayahandanya, seakan-akan menjadi ibu bagi
ayahandanya sendiri. "Fathimah Ummu Abihaa," demikianlah Rasulullah Saww
menggelarinya.
Sebagai seorang putri Rasulullah
Saww, Fathimah hidup dengan penuh kesederhanaan. Dalam kitab-kitab hadis diriwayatkan,
Salman Al-Farisi kelaparan, lalu dia berkeliling ke rumah istri-istri Nabi yang sembilan,
tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa. Ketika hendak kembali, dia melihat rumah Fathimah.
Kepada dirinya, dia bergumam, "Mudah-mudahan ada rezeki di rumah Fathimah putri Nabi
Muhammad Saww."
Kemudian dia mengetuk pintu rumah
Fathimah. Dari balik pintu terdengar suara, "Siapa di balik pintu ?" "Aku,
Salman Al-Farisi," sahut Salman. "Wahai Salman, apa yang Anda inginkan ?"
tanya Fathimah. Lalu Salman menceritakan maksudnya.
Setelah itu, Fathimah berkata,
"Wahai Salman, Demi Yang mengutus Muhammad Saww dengan kebenaran sebagai nabi.
Sungguh, aku sudah tidak makan selama tiga hari. Demikian pula, Al-Hasan dan Al-Husain,
gemetar sekujur tubuhnya karena lapar yang sangat. Lalu keduanya tertidur bagaikan dua
ekor anak burung yang tidak berbulu. Tapi aku tidak menolak kebaikan, jika datang di
pintuku," jelas Fathimah.
Kemudian Fathimah melanjutkan
perkataannya, "Wahai Salman. Ambillah baju perang ini, lalu pergilah kepada
Syamun Yahudi dan katakan kepadanya bahwa Fathimah putri Muhammad berkata kepadamu,
"Berilah aku seikat kurma dan gandum, dengan jaminan baju besi ini. Nanti Insya Allah
aku akan membayarnya kepadamu."
Lalu Salman mengambil baju besi itu
danmembawanya kepada Syamun Yahudi. "Wahai Syamun, ini adalah baju besi
Fathimah putri Muhammad Saww., dia berkata kepadamu, Berilah aku utang seikat kurma
dan gandum, nanti Insya Allah aku akan membayarnya kepadamu."
Kemudian Syamun mengambil baju
besi tersebut, dan membolak-balikannya dengan telapak tangannya, sementara kedua matanya
berderai air mata sambil berkata, "Wahai Salman, inilah kezuhudan dalam dunia. Inilah
yang diberitakan oleh Musa bin Imran kepada kami di dalam Taurat. Kini aku bersaksi, tiada
Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya." Si Yahudi
tersebut akhirnya masuk Islam.
Selain hidupnya yang amat sederhana
dan kepedulian sosialnya yang sangat tinggi, Siti Fathimah -alaiha salam
juga dikenal sebagai seorang abidah (ahli ibadah).
Al-Hasan bin Ali salam
atas mereka berdua berkata, "Aku melihat ibuku, Fathimah, berdiri di
mihrab-nya pada malam Jumat. Beliau senantiasa ruku dan sujud hingga cahaya
fajar menyingsing. Aku mendengar dia mendoakan orang-orang Mukmin dan Mukminat, bahkan
menyebutkan nama-nama mereka satu demi satu. Dia banyak mendoakan mereka, tetapi tidak
mendoakan dirinya.
"Lalu aku bertanya kepadanya,
Wahai Ibu, mengapa engkau tidak mendoakan dirimu sendiri, sebagaimana Ibu mendoakan
yang lainnya ? Beliau menjawab, Wahai anakku. Tetangga lebih dahulukan, baru
rumah sendiri."
Fathimah juga adalah seorang
Muslimah yang sangat afifah. Pernah suatu waktu Nabi bertanya kepadanya, "Apa yang
terbaik bagi wanita ?" "Yaitu wanita yang tidak melihat laki-laki dan tidak
dilihat laki-laki," jawabnya dengan yakin. Lalu Nabi memeluknya sambil membacakan
ayat berikut, "Satu keturunan yang sebagiannya dari yang lain." (QS Ali Imran, 3
: 34).
Fathimah as yang sejak usia dini
sudah menderita, maka penderitaan baginya menjadi suatu yang biasa. Penderitaan, tekanan,
dan kehidupan yang demikian pas-pasan telah menghiasi kehidupan Fathimah. Ironisnya,
penderitaan dan kepedihan tersebut makin menguat sepeninggal ayahandanya tercinta.
Jika Fathimah ketika kecil dan
dewasa menyaksikan dengan sedih gangguan dan rongrongan kaum Musyrikin terhadap
ayahandanya hingga akhir hayatnya, Fathimah menyaksikan pengkhianatan dan eksploitasi umat
ayahandanya terhadap suaminya, Ali, dan dirinya sendiri.
Sudah tentu, yang terakhir lebih
melukai dan menyakitkan hatinya. Simaklah kisah berikut, ketika Fathimah as bersimpuh di
pusara ayahandanya, untuk melaporkan padanya tentang keadaan yang telah berubah secara
drastis sepeninggal ayahnya. Dengan suara parau dan mengharukan, dia berkata, "Wahai
ayahku, sepeninggalmu sungguh betapa banyak berita duka dan tekanan terhadapku. Sekiranya
engkau masih berada di tengah-tengah kami, maka keserakahan-keserakahan itu tidak akan
banyak."
Walaupun Fathimah masih berduka
dengan kematian ayahandanya tercinta, dia tetap tampil tegar ketika melihat adanya
penyimpangan-penyimpangan di tengah masyarakat Islam.
Sejarah telah merekamkan untuk kita,
setelah sepeninggal ayahandanya, lalu kaum Muslimin mengangkat Abubakar sebagai khalifah,
maka Siti Fathimah menjelaskan tentang tauhid, kenabian, dan kepemimpinan serta
memperingatkan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan sejumlah kaum Muslimin.
Banyak dari kalangan sahabat Nabi
yang menangis tatkala mendengarkan khutbah dan peringatan Fathimah tersebut.
Akhirnya, Fathimah berpulang ke
haribaan Tuhan, enam bulan setelah kepergian ayahandanya. Fathimah pergi dengan hati yang
duka dan terluka. Fathimah diciptakan seakan-akan hanya untuk mendampingi ayahandanya.
Sejak dia berusia lima tahun, dia sudah menjadi seorang ibu bagi ayahandanya. Kemudian
setelah sang ayah pergi, diapun segera pergi menyusulnya. []
-
-
- Besar nian jasamu, wahai
Fathimah, dalam membela ayahmu.
- Sungguh panjang dan dalam
deritamu, sejak ayahmu menjadi bulan-bulanan kaum Musyrikin.
- Betapa sakit hati dan pedih
hatimu di kala engkau menyaksikan pengkhianatan dan penyimpangan sebagian umat ayahmu.
- Salam sejahtera atasmu, wahai
Fathimah, di hari lahirmu, di hari penderitaanmu dan di hari wafatmu.
|