- Az-Zahra : Tuntunan dan Panutan
Muslimah
- Mariatul Fadhilah*
Dan Muhammad tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapan
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan. (QS An-Najm : 4).
20 Jumadil Akhir 6
tahun kenabian Rasulullah, Allah memberikan karunianya yang terbesar bagi umat manusia
untuk menjalani fungsi kekhalifahannya di muka bumi ini. Allah menurunkan sebuah bukti
kasih-Nya dengan menurunkan umat kebanggaan semesta alam; yang bila manusia berilmu mereka
akan tahu bahwa inilah suatu "jalan kehidupan yang lurus", yang harus dipahami
untuk kemudian didefinisikan pada diri dalam mendasari semua pola tindak dan pola pikir
guna mencapai kebahagiaan pada kehidupan kekal nantinya.
Az-Zahra seolah
telah terprogram secara sempurna sejak masuk ke dalam sistem kehidupan ini. Az-Zahra
adalah puteri Rasulullah yang dijamin Allah Swt melalui Rasul-Nya, harkatnya dijaga dan
dipelihara dalam naungan kenabian dan keimanan. Beliau adalah Muslimah spiritual, Muslimah
Ilahiah, manusia sejati. Sebelum kedua benih suci bersatu dalam rahim yang penuh berkah,
Allah telah menitipkan sesuatu (makanan) dari surga dan Rasulullah berkata : "Bila
aku rindu akan surga, aku cium Fathimah." Az-Zahra adalah manusia dalam wujud
Muslimah yang memikul kualitas seorang rasul. Kehidupan Az-Zahra adalah perjuangan. Sejak
terlahir Az-Zahra menyaksikan perjuangan demi perjuangan ibu dan ayahnya dalam menegakkan
Islam. Tidak jarang tangan mungil itu ikut membersihkan kotoran, najis, dan darah yang
mengalir di pundak ayahnya. Az-Zahra yang kecil dididik langsung oleh ibu dan ayahnya yang
suci, kejadian demi kejadian menempa Az-Zahra semakin matang. Dengan pandangan dan pikiran
sempurna beliau menerima Ali sebagai suami tanpa memperhitungkan apapun pandangan kecuali
kebenaran Ilahiah.
Semua perjuangan
dan tantangan dalam kehidupannya dikembalikannya pada prinsip dan tuntunan awal, perbedaan
ia jadikan awal persamaan. Secara proporsional ia meletakkan dirinya dalam setiap peranan
yang ia mainkan, saling mengisi melengkapi satu sama lain dalam mencapai tujuan yang sudaj
ditetapkan. Fenomena alami yang merupakan sunatullah, ia jalani dengan sabar dan ikhlas.
Ia mengubah kondisi yang begitu menyedihkan di mana kekerasan, beban kerja, dan pelecehan
seksual terhadap Muslimah di zaman itu, diantisipasinya dengan ilmu dan akhlak yang tinggi
serta keyakinannya atas firman Allah Swt : "Dan sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri." (QS
Ar-Ra'du : 11).
Perwujudan sempurna
dari dimensi-dimensi keberhasilan manusia terlukis dalam kehidupannya. Dengan dibentengi
keimanan yang sempurna, Az-Zahra langsung masuk ke dalam kehidupan duniawi secara total;
dengan multifungsinya beliau seolah menggambarkan pada umat manusia pada semua lapisan dan
golongan; dengan ilmu dan imannya menjawab semua tantangan, mengisi semua peluang.
Tergambar sosok Muslimah sempurna yang dengan kehendak Allah untuk berimprovisasi dalam
kehidupan. Az-Zahra dengan tegas dan jelas menggambarkan fungsi, tugas, tanggung jawab,
hak, dan posisinya sebagai makhluk yang berperan langsung (Muslimah) dalam menata umat
mulai dari dalam kandungan, mendidik anak sehingga dapat menciptakan generasi penerusnya
yang istimewa, sebagai isteri yang dapat dijadikan teladan sampai pada posisi sosial
kemasyarakatan. Semua itu beliau jalani tidak hanya dengan kata-kata namun dengan akhlak
yang amat mulia.
Rasulullah
mengingatkan pada umatnya : "Fathimah adalah bagian dariku. Barangsiapa menyakitinya
berarti melukaiku. Barangsiapa membuatnya gembira berarti membahagiakanku". Hal ini
adalah jaminan yang merupakan isyarat Rasulullah pada manusia merupakan suatu konsep dasar
bagi manusia yang berpikir.
Az-Zahra adalah
lambang reformasi Muslimah yang sempurna; destruksi ideologis dan sosio-kultural saat itu
menjadi tantangan baginya untuk berjuang. Tidak pernah tergambar rasa takut dalam menuntut
kebenaran. Az-Zahra tidak pernah menghamba pada penguasa. Dia berjuang mempertahankan
haknya, sekalipun harus mengorbankan dirinya. Az-Zahra telah meletakkan keadilan dan
kesabaran menjadi senjatanya. Bai'atnya pun tidak ia berikan pada siapapun kecuali pada
orang yang berhak secara Ilahiah. Bukan hanya karena cinta semata namun karena menegakkan
kebenaran dan untuk menyelamatkan umat sesudahnya. Kehidupan Az-Zahra yang serba singkat
dalam visi namun lengkap dan panjang sepanjang sejarah kehidupan manusia. Visi dan misi
Az-Zahra haruslah dijadikan model bertindak dan berpikir bagi setiap Muslimah dalam
menegakkan keadilan dan mencapai tujuan.
Muslimah yang hidup
di era global hendaknya berpikir secara global pula, dengan masuk Islam secara kaffah akan
memberikan wawasan yang amat esensi bagi kehidupan global. Mereka harus bersyukur akan
nikmat Allah yang telah memberikan secara jelas panutan panutan dan rujukan untuk
berkiprah sebagai Muslimah di sepanjang peradaban manusia dengan sosok Az-Zahra yang agung
ini.
Dengan kesucian dan
keagungannya, Allah telah meniupkan di rahim Az-Zahra manusia-manusia terpilih di
sepanjang sejarah, dipercayakan kepadanya membesarkan, mengasuh, mendidik putera-puterinya
hingga menjadi umat yang terbaik. Az-Zahra sadar sebagai seorang Muslimah ia mengemban
suatu misi yang amat agung. Ia harus menciptakan generasi penerus yang bertanggung jawab
terhadap kelestarian agama Allah. Terngiang selalu kata-kata ayahanda tercinta :
"Tidaklah dilahirkan seorang anak melainkan atas fitrahnya, maka orang tuanyalah yang
menjadikannya Majusi, Yahudi, ataupun Nasrani." Ia buktikan keberhasilannya.
Putera-puteri Az-Zahra adalah orang-orang yang terpelajar, bijaksana, dan terhormat,
dengan darah mereka berjuang; dengan lidah mereka meruntuhkan kekuasaan yang zalim.
Zainab, puteri Az-Zahra, berjuang di tengah genangan darah saudaranya [Imam Husain as-
red.] untuk menyelamatkan satu-satunya pewaris Rasulullah. Ia adalah puterinya Az-Zahra.
Muslimah yang hidup
dalam peradaban yang berbeda sekarang ini seolah kehilangan panutan. Egoisme pribadi dan
kelompok menjadikan mereka ibu-ibu pencipta monster di masa depan. Dengan peluang dan ilmu
yang dimiliki, mereka asyik dengan diri mereka sendiri sehingga kebebasan diartikan
kenikmatan, bukan suatu kesempatan menata diri. Muslimah seharusnya bercermin pada sejarah
kehidupan Az-Zahra, yang dalam setiap gerakannya memberikan manfaaat bagi umat lainnya. Ia
merasakan tanggung jawabnya sebagai Muslimah adalah menyelamatkan peradaban. Bukan
menyelamatkan diri atau kelompok, ia menyadari semuanya itu merupakan bagian kecil dari
peradaban.
Isu gender yang
merebak di era global saat ini pun telah diantisipasinya dengan cara bijak sejak dulu,
ketidakadilan peran gender ia singkirkan dengan memegang sunatullah. Bersama Rasulullah
dan suami tercinta Az-Zahra membuktikan tidak adanya diskriminasi, marginalisasi,
subordinasi pada Muslimah dalam Islam. Az-Zahra telah mengembalikan esensi Muslimah yang
hakiki. Az-Zahra telah mengembalikan harkat dan martabat Muslimah dan sekaligus
membebaskannya dari pelecehan dan penderitaan yang tidak proporsional. Az-Zahra
membuktikan dirinya sebagai panutan dan tuntunan Muslimah dalam membentuk jatidirinya.
Sepanjang
kehidupannya Az-Zahra selalu menjadi benteng umatnya. Ketika Rasulullah meninggal, ia
menyadari umat telah kehilangan pemimpinnya dan penyelewengan di jalan Allah pun sudaj
terbayang. Ia bangkit untuk menghidupkan kembali kebenaran itu. Az-Zahra merasakan
kewajiban yang begitu besar ada di pundaknya. Beliau datang berkhutbah dari masjid ke
masjid untuk mengingatkan penyimpangan-penyimpangan yang telah dilakukan. Az-Zahra
menyelamatkan umatnya dan segala kezaliman dan ketidakadilan dengan segala cara. Ia
kunjungi rumah-rumah kaum Anshar dan Muhajirin bahkan ke pengadilan untuk menyampaikan dan
memberikan ilmu yang langsung beliau dapatkan dari Rasulullah Saww. Az-Zahra tidak pernah
sempat memikirkan diri sebelum ia memikirkan umat lainnya. Ia membawa misi yang harus
dijabarkan dalam kehidupan Muslimah di era global ini.
Dalam kondisi yang
serba memprihatinkan, dalam duka yang dalam dan dalam lingkungan yang jahiliyah, Az-Zahra
bangkit menegakkan kebenaran. Perintah Allah dan Rasul-Nya menjadi dasar tindakannya.
Dengan hati yang hancur, malam setelah wafatnya Rasulullah, Az-Zahra telah membuktikan
jatidirinya. Dalam kebenaran Ilahi, Az-Zahra mempertahankan Firman Allah [33 : 6] yang
diperjelas Rasulullah pada Haji Wada' di Ghadir Khum. Dalam perjuangan mempertahankan
kebenaran ini, dia rela mengorbankan semuanya demi tegaknya agama Allah, dan dengan
menanggung derita inilah Az-Zahra menghadap Allah Swt dan menemui ayahnya tercinta,
Rasulullah Saww. Az-Zahra cerminan segolongan umat yang beruntung, yang selalu mengajak ke
arah kebaikan dan menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar (3 : 104).
Suatu ilustrasi yang maha tinggi yang ditunjukkan Allah Swt melalui Az-Zahra untuk umat
yang berpikir.
Tuntutan Az-Zahra
yang sangat esensi adalah selalu meletakkan dirinya secara proporsional. Dalam dirinya
tercermin jelas keadilan yang digambarkan dalam Alquran. Sebagai seorang puteri Rasul,
Az-Zahra membangkitkan dan menerjemahkan cahaya kerasulan itu pada dirinya melalui
perkataan dan perbuatannya. Tiada faqir yang terluput dari matanya, tiada derita yang
lewat dari pandangannya.
Sepeninggal ibunya
Az-Zahra berfungsi maksimal untuk Rasulullah sehingga tercerminkan istilah ummu abiha, dan
hari terakhir dalam hidup Az-Zahra, beliau sempat berpesan kepada suami tercintanya :
"Saat kematianku hampir tiba. Engkau tentu mengerti mengapa ini aku lakukan.
Maafkanlah semua kehendakku. Mereka (anak-anak) telah begitu menderita selama aku sakit
dan biarlah mereka bergembira di hari terakhir dalam hidupku. Ali, engkau pun tahu bahwa
ini hari terakhir bagiku, aku gembira dan aku juga bersedih. Aku gembira karena segala
deritaku akan berakhir dan aku akan bertemu dengan ayahku tercinta, dan aku bersedih
karena berpisah denganmu .... Ali, makamkanlah aku di waktu malam dan janganlah sampai
orang-orang yang menzalimiku datang semasa pemakamanku. Janganlah kematianku menyakitimu.
Engkau mesti berjuang menegakkan Islam dan kemanusiaan untuk masa datang yang panjang.
Janganlah penderitaanku ini menambah kepedihan hidupmu. Berjanjilah Ali..." Setelah
Az-Zahra menemui Tuhannya, berkatalah Ali as. : "Kematian Az-Zahra melelahkan hatiku
dan memperdalam penderitaanku. Setelah ia tiada langit tidak lagi indah dan tiada jalan
bagiku untuk melupakan kesedihanku yang begitu mendalam." Tiada keagungan pada
wanita, tiada harapan yang lebih utama kecuali mendapatkan posisi dalam keluarga dengan
diakui peranannya, dan Az-Zahra bukan hanya sebagai pelengkap namun beliau sebagai
sandaran bagi keluarganya, yang kemudian pedoman bagi umat dalam membentuk masyarakat pada
zamannya.
Sebagai pencipta
generasi penerus, Az-Zahra bagai bidadari yang suci, menyadari kepentingan keluarga dan
dengan kasih sayangnya dan cinta yang dalam beliau telah berhasil mendidik dan menjadikan
manusia-manusia istimewa sebagai penerus peradaban Islam. Az-Zahra dengan dasar keimanan
yang utuh, menjadi obor yang membimbing keluarga dan anak-anaknya serta masyarakat pada
masanya dalam membentuk moralitas kebudayaan Qurani.
Muslimah yang hidup
dalam sistem yang serba global ini bila ingin berperan sempurna, tiada lain harus
mendefinisikan dirinya dalam segala aspek pada kehidupan Az-Zahra yang merupakan cerminan
yang utuh dan terjamin dalam menjalankan misi kekhalifahannya di muka bumi ini. Muslimah
harus bangkit dengan multifungsinya, menjawab semua tantangan, memilih dan memilah serta
menjadi pemasok gagasan serta sekaligus menjadi penjaga gawang peradaban.
Imam Khomeini
menegaskan dalam salah satu khutbahnya : "Perempuan adalah makhluk yang mengubah
bukan diubah, yang mempengaruhi bukan dipengaruhi. Perempuan harus mampu memahami
akibat-akibat pemikiran yang menyimpang tentang hakikat perempuan yang dapat menyebabkan
kehancuran sebuah peradaban manusia. Karenanya perempuan harus mampu mengenal dan
mengetahui bahwa dirinya adalah maujud yang mampu mencapai derajat manusia yang mulia dan
mampu mewarnai sejarah secara abadi."
Jaminan Rasulullah,
suami, anak-anak yang suci pada Az-Zahra dan kehidupannya dalam berkiprah sebagai khalifah
pada masanya, seharusnyalah umat khususnya Muslimah dalam memanifestasikan diri dalam era
global yang penuh dengan peluang dan tantangan ini, menjadikannya sebuah konsep dalam
menata kembali atau mengarahkan ke arah kebudayaan manusia yang ada dalam genggamannya
menjadi kebudayaan Qurani.
Muslimah memerlukan
figur dan panutan abadi yang dapat memotivasi kebangkitan harkat dan martabatnya sepanjang
zaman, panutan dan tuntunan seperti ini tidak didapati dari umat lainnya kecuali Muslimah
yang telah teruji secara multidimensi, Muslimah Ilahiah, Fathimah Az-Zahra. Wallahu a'lam
bishawwab. []
Ya Allah ...limpahkan shalawat-Mu
pada Muhammad dan keluarganya
Limpahkanlah rahmat-Mu bagi bidadari
surga, puteri Ilahiah
Az-Zahra.....ingin kubasuh muka dan
mataku, ingin kukikis kalbuku
Tuk kureguk visimu yang dalam itu,
'tuk kurengkuh misi dan perjuanganmu
Ya ... Ilahi, bila Engkau bangkitkan
kami nanti, bangkitkan kami di barisan Az-Zahra
Jangan biarkan kami terus berlari
dan berlari
Ya ... Sayyidatanaa, rusukmu yang
hancur, utuh dan indah bagi kami
Tanganmu yang patah, kokoh dan
lembut meneduhkan kami ...
Dan ... darah dari rahimmu yang
gugur, ingin kuraih dan kualirkan dalam rahim-rahim kami
Az-Zahra...
Kami menanti syafaatmu.
Palembang, 21
Desember 1996
- ___________________
- * Penulis adalah pemakalah pada Seminar
Sehari Kajian dan Refleksi atas Kehidupan Fathimah Az-Zahra sebagai Model Intelektual
Muslimah pada 21 November 1996 di Bandung.[]
|