- "Manakala anak itu (Ismail) dewasa
dan sanggup berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata : "Hai anakku, sesungguhnya
aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu
!" Ia menjawab : "Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu;
Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (QS. 37 :
102).
-
- Suasana politik yang
prodemokratif sangat didambakan dalam setiap elemen kehidupan rakyat. Hal ini dapat
dimengerti dengan menyadari bahwa rakyat adalah komunitas manusia yang ingin menikmati
kearifan kemanusiaan yang dipandu oleh hati nuraninya. Sementara itu keniscayaan
eksistensi rakyat merupakan konsensus politik internasional bagi keabsahan berdirinya
sebuah negara. Kendati proklamasi kemerdekaan dimaklumi sebagai deklarasi kedaulatan dan
pemerintahan sebagai perangkat pengayoman rakyat, sebuah negara tidak akan pernah diakui
dunia kecuali karena pengakuan dan dukungan rakyat. Oleh karenanya itu yang selalu terjadi
adalah setiap pemimpin yang memperatasnamakan perjuangan bangsa pasti menyatu dengan
rakyat, terutama untuk menyatakan kemerdekaan tersebut, sekalipun kemudian tidak sedikit
rakyat yang diabaikan dalam negara yang pernah diproklamasikannya sendiri.
- Ketika ketulusan kehidupan
rakyat belum dirancukan oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak
bertanggung jawab, suara rakyat betul-betul merekomendasikan nurani insani, realitas
manusia bermartabat. Pengayoman nilai-nilai kemanusiaan merupakan program utama dengan
melibatkan seluruh sektor kehidupan. Dalam kaitan inilah kemudian dikatakan bahwa
"suara rakyat adalah suara Tuhan" (vox populi vox dei). Dan, untuk
memperkuat komitmen kepedulian terhadap rakyat, maka Abraham Lincoln Presiden
Amerika Serikat ke-16 menyatakan peran pemerintahannya sebagai yang : bersumber
dari, digerakkan oleh dan diabdikan demi rakyat (from the people, by the people, for
the people).
- Salah satu khazanah
kepemimpinan dunia sepanjang sejarah adalah sikap demokrasi Nabi Ibrahim as dalam
mengayomi Ismail sebagai orang yang dipimpin. Ibrahim as tidak segera memberlakukan amanat
konstitusi yang muatannya begitu gamblang sebelum mempersilakan Ismail mengemukakan
pendapat, pertimbangan dan menjalankan hak jawabnya. Sikap ini justru dikedepankan Ibrahim
dalam kesadarannya yang kental sebagai mandataris setia dan terpercaya. Oleh karena itu,
sehubungan dengan kepemimpinan dan demokrasi, ayat 102 surat Ash-Shaffat memberikan
penekanan bukan pada dieksekusinya Ismail sebagai bukti ketaatan kepada Tuhan, tetapi
lebih merupakan sikap demokrat sang pemimpin sebagai konsekuensi kebenaran konstitusi yang
dirujuknya. Ibrahim sebagai simbol pemegang otoritas tak terbantah justru harus mengayomi
Ismail sebagai simbol rakyat yang dipimpin, dengan penuh kearifan, keterbukaan, dan
persuasi komunikasi yang mencerminkan demokrasi berkualitas tinggi. Hanya dengan begitu,
maka kesinambungan kerjasama dan usaha bersama antara kedua pihak akan terpelihara.
- Dalam konteks yang
dikedepankan tersebut, tampak jelas bahwa pemimpin (Ibrahim) dan rakyat (Ismail) sama-sama
memegang peran sentral secara seimbang (koeksistensial). Sekalipun dipahami bahwa suasana
seperti itu tidak mungkin terwujud kecuali karena kearifan sang pemimpin (yang bersedia
memberikan peluang kepada rakyatnya untuk mewujudkan hak-hak asasinya tanpa harus
merasa kehilangan sebagian kekuasaannya); karena bagaimanapun dialah pemegang otoritas
tertinggi secara formal dalam pelaksanaan peraturan dan perundang-undangan. Pada saat yang
sama pun seyogyanya dimaklumi bahwa pengayoman rakyat dan kearifan demokrasi seperti itu
hanya dapat diperankan oleh manusia yang memenuhi stereotipe keibrahiman.
- Suatu hal yang tak
terbantah bahwa Ibrahim kemudian bersikap demokrat dan sangat peduli rakyat (Ismail)
setelah (pertama) ia mampu menetralisir segala egoisme kebapakannya yang boleh jadi akan
memberlakukan Ismail anaknya, sebagai bagian dari pertanggungjawaban keluarga dan
rumah tangganya sendiri. Bahkan, Ibrahim (pemimpin) menyikap Ismail (rakyat) dengan sangat
proporsional sebagai orang yang sudah dewasa, sehingga memenuhi kriteria keabsahan
berpendapat dan pengungkapan suara politiknya. Kedua, dalam skala makro, perjalanan
Ibrahim hingga mencapai tampuk kekuasaan kepemimpinan sama sekali terbebas dari spekulasi
dan rumor politik suksesi. Dukungan rakyat bermuara kepada kepemimpinan Ibrahim antara
lain setelah Ibrahim membuktikan keunggulan prestisiusnya dalam forum dialog yang
mematahkan logika ideologi politik kekuasaan rejim Namrudz yang tiranik (QS. 2 : 258).
- Ketiga, Ibrahim memiliki
modal pencerahan intelektual yang sangat handal khususnya tentang nilai-nilai
kebenaran universal dan keutuhan manusia sehingga ia sangat sulit dijebak dalam
spekulasi informasi yang sengaja dijadikan perangkap oleh pihak tertentu yang tidak
bertanggung jawab. Ibrahim memiliki integritas yang begitu tinggi karena pencarian
kebenarannya yang pantang menyerah (QS. 6 : 74 84).
- Ketiga hal itu merupakan
kontribusi yang membuat Ibrahim dihormati sebagai pemimpin yang berwibawa. Sedangkan
pemerintahan yang bersih (clean government) ditegakkannya dengan kerelaan berkorban
demi kebenaran konstitusi yang dimandatkan kepadanya. Hal ini dibuktikan bukan hanya
dengan menerima konsekuensi perbedaan pendirian dengan ayah (?) kandungnya,
melainkan ia pun bersedia tanpa tedeng aling-aling mengeksekusi anak
kandungnya sendiri.
- Ibrahim memangku amanat
kepemimpinan sebagai panggilan tanggung jawab sosial demi penyelamatan rakyat dari
berbagai intimidasi rejim (Namrudz) serta untuk membimbing manusia kepada masa depan cerah
tanpa diskriminasi sedikitpun. Itulah sebabnya tipe manusia yang sarat dengan nilai
keibrahiman sangat diidamkan manusia sejagat, terutama untuk mengemban misi kepemimpinan
universal. Bahwa Ibrahim mengambil alih tongkat kepemimpinan bukanlah sebagai instrumen
untuk mempraktikkan nepotisme kekuasaan sudah cukup dimengerti dengan menafikan pendirian
ayah (?) dan mengeksekusi anak kandungnya sendiri. Dan
sebagai pejuang hak asasi manusia universal, maka kehadiran Ibrahim tidak terikat pada
kelompok manusia dengan agama formal tertentu (termasuk umat Islam), tetapi ia hadir untuk
memandu siapapun kepada konsistensi kemanusiaan universal yang ditandai dengan ketaatan
dan ketundukan sejati kepada aturan yang menyelamatkan manusia dalam kehidupannya.
- Hal ini dapat dilihat
dalam untaian ungkapan berikut : "Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan pula
seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang konsisten pada kebenaran (hanif) lagi
berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang
yang musyrik" (QS. 6 : 67).
- Nilai-nilai keibrahiman
adalah suatu agenda kepribadian yang niscaya bagi tegaknya sebuah kepemimpinan dan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Karena itu, dengan Iedul Qurban (termasuk
penyembelihan hewan kurban) bukan hanya seseorang semakin mendekatkan diri (taqarrub)
kepada Allah secara spiritual, tetapi sikap bersih diri dan kualitas kehidupan demokrasi
secara sosial dalam dimensi politik konstitusional pun diharapkan kian berpeluang
untuk ditumbuhkembangkan seperti halnya yang dilakukan oleh Ibrahim.[]
|