Nabi Muhammad Saww. telah memberi
teladan yang sangat berharga bagi kita dalam mendengar "suara" diri. Sebelum
menerima pesan-pesan samawi, beliau menyendiri di sebuah gua di Gunung Hira. Bukan
apa-apa, tapi untuk mem-perkukuh jati diri, mempertajam mata hati, memfokuskan niat,
membulatkan tekad, mengamati penciptaan, me-renungkan tanggung jawab yang bakal dipikulnya
dan menghindari hiruk-pikuk dan kejemawaan warga Mekah.
Itulah sebabnya, be-liau tidak
pernah mengenal kata mundur dan kompromi. Beliau tidak berstrategi de-ngan menipu-diri. Di
hadapan kaum Quraisy yang menawar-kan harta, tahta, dan wanita, dengan lantang beliau
ber-seru, "Demi Allah! Sekalipun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan
bulan di tangan kiriku, aku tidak akan berhenti melakukannya (dakwah)." Suatu
pernyataan yang meletup dari keimanan, kejujuran, dan komitmen penuh pada diri sendiri.
Di Mekah, kita bisa membaca sejarah
yang cukup unik. Yaitu sejarah penyiksaan. Contoh tragisnya ialah apa yang dialami Bilal.
Ditengah terik matahari sahara, Bilal yang berada di bawahhimpitan batu besar hanya bisa
bergumam, "Ahad! Ahad!" Begitu pula yang terjadi pada Ammar dan kedua
orang-tuanya.
Mengapa? Bila diizinkan Nabi, tentu
mereka akan melawan. Bila perlawanan mereka gagal, mereka bisa mereguk kesyahidan. Atau
misalnya mengapa Nabi tidak cepat-cepat menyuruh mereka pergi dari Mekah? Mengapa Nabi
tidak memerintahkan apa-apa? Inilah makna tertinggi dari metode dakwah Nabi. Dengan
begitu, sebenarnya beliau hendak menjelaskan satu hal, tiada yang bisa diperbuat kalau itu
tidak dimulai dengan penyadaran-diri dan internalisasi ajaran. Penyadaran-diri akan apa
yang sedang dan akan dilakukan.
Pada periode itu, tidak ada
aktivitas Nabi selain pengajaran tentang tauhid. Suatu ajaran yang ingin membebaskan diri
manusia dari keterpenjaraan pada hal-hal selain Allah. Tidak ada cara lain, kecuali masuk
sepenuh hati ke jalan itu atau diri manusia akan ter-belit dalam sarang kepen-tingan,
keinginan, harapan, fantasi, citra, dan lain sebagia-nya sebagai manifestasi dari
disintegritas jiwa dan dirinya. Tanpa kesadaran seperti ini, manusia akan terjerembab
dalam determinisme alam fisik dan gerak atomiknya. Kesa-daran ini membebaskan ma-nusia
dari yang banyak, yang berubah-ubah, yang semen-tara, yang semu dan lain sebagainya dengan
mengikat-kannya kepada Yang Maha Satu, Yang Maha Mutlak, Yang Maha Kekal, Yang Maha Nyata
dan lain-lain. Hal ini karena manusia memang tidak akan bisa bebas, murni tanpa kendali
sama sekali.
Islam mengajak manusia untuk
menyayangi dan memperhatikan kondisi diri. Islam ingin me-nggugah manusia untuk bangkit
melepaskan dirinya dari perasaan terkepung oleh pranata, definisi, konsep, waham,
takhayul, fantasi, kekuatan, keberhasilan, kepahlawanan, kepentingan, perhatian,
kekhawatiran dan tanggungjawab yang secara serampangan "diciptakannya" sendiri,
dengan menuntunnya menuju jalan Ilahi yang Satu dan Tunggal. Jalan yang akan mengurai
simpul-simpul kebodohan, paranoia dan kecemasan primordial yang tumbuh subur pada diri
seorang yang merangkaki kehidupan tanpa "Kawan" dan Tuhan. Dalam kaitan ini,
mengawali "perkenalannya" dengan manusia, Alquran berkata, "Bacalah
dengan Nama Tuhanmu yang menciptakan" (QS. Al-Alaq, 96: 1). Artinya, jangan
engkau mengigau ingin merancang cara hidupmu sendiri. Bila engkau merancangnya sediri,
maka kebodohan, kelemahan, dan kecemasan primordialmu akan menjeratmu sendiri. Oleh karena
itu, bacalah kehidupan ini dengan Nama Tuhan Sang Maha Pencipta yang Maha Mengetahui
segala hal tentangmu.
Tidak pelak lagi, Islam sangat
mewanti-wanti manusia untuk selalu melihat dan memperhitungkan diri sendiri. Semua jenis
kerusakan, kezaliman, dan kerugian dilakukan dirinya sendiri. Tidak ada dosa yang
terwujud, tanpa persetujuan diri manusia. Sebaliknya, tiada kebaikan hakiki yang dapat
dipancarkan selain yang berasal dari diri manusia itu sendiri. "Energi positif"
tidak akan menyebar dari sumber negatif yang penuh dengan polusi. Salah satu polutan yang
dapat dibayangkan adalah apa yang saya sebut dengan massifikasi; pembodohan yang dilakukan
secara sistematis lewat media massa.
Tidak terlalu sulit untuk
membuktikan bahwa dalam hingar-bingar media massa, suara "diri" luput dari
pendengaran. Teriakan massa membuat suara diri manusia terabaikan dan hanya dapat bergerak
dalam gelombang yang amat rendah dan kecil.
Teriakan massa sering mengayunkan
pemimpin gadungan ke puncak kekuasaan dan menenggelamkan pemimpin sejati dalam kawah
pertanggungjawaban. Mereka menyuarakan ketidakadilan dengan keras, tinggi, dan merdu.
Terlena olehnya, diri manusia tidak dapat menahan diri untuk berdansa mengiringi ritmenya
yang centang-perenang.
Adalah memilukan mengamati kenyataan
banyaknya cerdik-pandai yang terbuai oleh alunan "lagu-lagu massa". Banyaknya
pemimpin yang membangun masjid dirinya di atas gerobak kepentingan masal. Banyaknya
pemikir yang merajut falsafahnya dengan benang kusut kompromi dan tawar-menawar. Banyaknya
kepulan asap budaya massa yang mengaburkan ketajaman mata jiwa. Gonjang-ganjing hasrat
massa yang memabukkan diri manusia. Tersaruk-saruknya pemimpin sejati dalam koridor
massifikasi. Terenggutnya inspirasi diri dalam jala massa. Kenyataan-kenyataan itu tidak
jarang kita temukan dalam sejarah manusia sejak dahulu kala.
Kenyataan-kenyataan tersebut dapat
disaksikan dalam bentuknya yang amat mencekam di era globalisasi ini. Gendam teknologi
informasi membuat diri manusia terkubur makin dalam. Media massa menjajakan diri-diri
ilusif sebagai alternatif terhadap diri manusia yang karam dalam kesunyi-senyapan.
Globalisasi membawa gelombang alienasi yang lebih dahsyat dari yang pernah dibayangkan.
Citra-citra media massa modern telah
mencampakkan diri dan jiwa manusia ke dalam suatu pertarungan di tingkat pandangan-dunia,
agama, ideologi, budaya, sistem ekonomi, dan politik yang penuh intrik.
Suatu pertarungan yang sama sekali
tidak mengenal aturan. Hukum-hukum dirumuskan oleh para pelanggarnya. Kawan adalah lawan.
Lawan adalah kawan. Suara lawan didengar kawan. Nasihat kawan diabaikan teman. Para korban
adalah para pahlawan. Hidup mereka mengundang decak kekaguman. Omong-kosong dielu-elukan.
Ajaran dilecehkan. Nilai-nilai dijungkir-balikkan.
Bersamaan dengan jatuhnya
nilai-nilai "lama", nilai-nilai "baru" ditanamkan. Keterampilan
mengelola hak sesama, kekreatifan memperalat kecenderungan, keluwesan membodohi pelanggan,
ketajaman indra menyorot mangsa, kemampuan memanfaatkan kelemahan, kelihaian bermain
pedang persaingan, kecepatan merebut peluang, kefasihan bernegosiasi dusta dan lain
sebagainya telah dideklarasikan sebagai nilai-nilai baru tersebut. Itulah sebagian nilai
ekonomi, politik, dan hubungan internasional dalam pertarungan dan pergesekan global ini.
Nilai-nilai baru juga ditetapkan
untuk agama, budaya, dan pandangan-dunia. Bahkan tidak satu bagianpun dari kehidupan
manusia yang tidak dijadikan ajang pertempuran ini. Walau bagaimanapun juga, alih-alih
dianggap merugikan, semua ini malah disepakati sebagai suatu pencapaian yang amat berarti
bagi kemanusiaan.
Pertarungan ini keras-keras menampar
kesadaran kita. Ia menghisap seluruh daya-upaya dan memaksa kita untuk mempersiapkan
"diri". Memaksa kita untuk mengaktifkan diri agar tidak lumpuh otot-ototnya,
tidak juling matanya, tidak pelat lidahnya, dan tidak tuli telinganya.
Pertarungan ini juga sejenis
perbudakan dan penawanan. Penawanan "unsur luar" terhadap potensi-potensi diri
manusia. Ia dapat berlangsung secara subtil, tidak terukur, dan chaotic. Karenanya,
ia sepenuhnya "terampuni". Bahkan, tidak jarang yang meresapi proses itu sebagai
budi dan jasa para "tuan" kepada para budak.
Pada tahap selanjutnya, para budak
dan tawanan itu akan hidup layaknya tanaman hias yang tak pernah menguning daunnya, tapi
juga tak pernah matang buahnya. Tanaman yang disiram, tapi tidak dapat berkembang. Tanaman
yang tidak memiliki "akar"; tidak "radikal", dan tidak pula
"fundamental". Tanaman mati yang tidak dibuang, malah dipajang sebagai hiasan.
Perumpamaan di atas berkaitan dengan firman Allah yang berbunyi, "Tidakkah kamu
menyimak bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti tanaman yang
baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit * Tanaman ini memberikan buahnya
pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat berbagai perempamaan itu bagi
manusia supaya mereka menjadi engah * Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti tanaman
yang buruk, yang tercerabut dari permukaan bumi dan tidak memiliki pijakan sedikitpun * "
(QS. Ibrahim, 14: 24-26)
Pujian adalah polusi lain yang dapat
memumuk berkembangnya diri palsu dalam batin manusia. Pujian menyembulkan kepalsuan dan
kemunafikan diri dalam tatarias yang menawan. Apalagi bila pujian itu sudah mulai
disakralkan dalam wacana keagamaan, sosial, politik dan kultural. Pujian, yang sangat
bertentangan dengan semangat rasional dan pola pikir kritis, dapat meredam tuntutan fitrah
kepada kebenaran dan kejujuran.
Tidak sekedar itu, tapi semua gaya
hidup, kebiasaan dan formalitas massa. Banyak jiwa yang terseret dalam upacara-upacara
mempertahankan status quo. Lingkungan sering menjadi awan hitam yang sangat
kontraproduktif bagi perkembangan diri. Diri manusia ini akan banyak dikonsumsi para
"produsen" status dan jabatan.
Pengamatan menunjukkan bahwa
orientasi ekstrovertif ini, telah membawa malapetaka yang tiada tara bagi manusia modern.
Apa guna menguasai dunia, tapi kehilangan diri sendiri ? Inilah fenomena paling menyimpang
dalam kehidupan dewasa ini. Globalisasi telah menarik perhatian manusia dari dirinya
sendiri menuju hiruk-pikuk global.
Benar bahwa lingkungan global dapat
menjadi sumber pengetahuan dan pengalaman, tapi suara diri adalah yang paling sejati dan
jujur. Ekspresi kebenaran, kebaikan dan keindahan diri manusia tidak boleh larut dalam
tinta koran, gelombang radio dan sorotan kamera. Musik diri mesti selalu didendangkan.
Manusia yang tidak dapat mendengar
suara yang berasal dari dirinya akan kehilangan teman sejatinya. Manusia pertama-tama
mesti mengenali dirinya sebelum selainnya. Bersahabat dengannya sebelum dengan selainnya.
Manusia yang merasa memiliki teman yang banyak, tetapi kehilangan dirinya, akan selalu
merasa kesepian. Dia akan ngeri menyendiri, menemukan alienasi dan keterasingannya
sendiri. Ngeri melihat dirinya tergeletak dalam kesepian dan kekosongan ekspresi. Cermin
diri mesti selalu digosok dari segala debu dan kotoran yang melekat. Cermin diri manusia
modern telah banyak retak oleh benturan global.
Jangan menjadi manusia yang
membangun rumahnya di atas "tanah" orang lain. Bagaimanapun, suatu hari dia akan
terbangun dan meninggalkannya buat si pemilik tanahnya. Paling banter, dia mendapat
sejumput rejeki sebagai pengganti.
Jangan melulu hidup untuk kulit dan
daging yang membalut. Tubuh adalah juga "makhluk" asing yang menempel pada diri.
Tubuh tidak segan-segan menyiksa dan menyakiti diri. Pamer dan gemar tubuh justru akan
mengubur diri sejati. Parfum yang mengucuri tubuh, takkan mampu menghilangkan bau busuk
bangkainya. Sebaliknya, semerbak wangi parfum diri akan tercium selamanya.
Diri juga dapat "pecah"
dalam peperangan batin, bila tentara-tentara "asing" menyeruduk ke dalamnya.
Diri hakiki dan sejati manusia itu merupakan hembusan dan nafas Ilahi. Diri sejati ialah
yang menyukai pengetahuan dan keyakinan serta membenci kebodohan dan kesesatan, karena ia
berasal dari Sang Maha Tahu nan Mutlak. Diri yang mencari keindahan Sang Maha Indah. Diri
yang mencegah nista karena Sang Maha Agung nan Luhur. Diri yang menghindari kelemahan,
karena berasal dari Sang Maha Kuat. Diri yang bersikap derwaman sebab hidup dengan
"nafas" rahmany. Inilah diri yang mesti kita ikuti perintahnya, jaga
kepentingannya, iringi ritmenya, simak nyanyiannya dan lagukan puisinya. Kita mesti
bersedih dan bergembira untuknya.
Diri itulah yang secara intrinsik
dan otentik akan menebarkan energi positif dalam kehidupan, baik perorangan maupun
kemasyarakatan. Sang Maha Sempurna akan selalu menambahkan energi padanya. Diri itu juga
secara mandiri akan merobohkan berhala-berhala kekuatan yang lalim dan sewenang-wenang.
Tapi, ia tidak butuh dukungan, teman atau pasukan untuk melakukan apa yang dilakukannya.
Ia akan menghapuskan kebodohan, kemiskinan, kebangkrutan, kedengkian, kebohongan,
kesombongan dan kebencian bagi masyarakat sekitarnya. Sebab ia "berasal" dari
Sang Maha Tahu, Maha Mandiri, Maha Kaya, Maha Agung, Maha Kuat dan lain sebagainya.
|