- Dan katakanlah :
"Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan yang gaib
dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan" (QS
At-Taubah, 9 : 105)
-
- Seburuk-buruk tempat adalah pasar,
sebaik-baik tempat adalah masjid (Nabi Muhammad Saww.)
-
Secara sekilas membaca hadis
tersebut, kita seolah-olah masuk pada suatu dikotomi atau pertentangan yang ekstrem antara
kedua tempat tersebut yakni pasar versus masjid. Namun tulisan ini tidak berupaya untuk
menajamkan perbedaan pada kedua kutub tersebut Alih-alih untuk memisahkan keduanya,
penulis mencoba memadukannya dengan meminjam pandangan dunia Muslim tradisional, sebuah
tawaran pandangan yang acapkali digagas oleh Seyyed Hossein Nasr dalam karya-karyanya..
Mengomentari hadis tersebut,
Kuntowijoyo, dalam karyanya Dinamika Perjuangan Umat Islam Indonesia, menyebutkan
bahwa kedua tempat itu sebetulnya merupakan suatu simbol aktivitas dalam dunia kehidupan
Muslim. "Penafsiran" Kunto yang didasarkan pada pendekatan sosiologis memaknai
"pasar" sebagai simbol aktivitas kerja secara khusus, sedangkan
"masjid" dimaknai sebagai wilayah beribadah atau belajar (ta'lim) secara
khusus pula.
Memang, bila "kerja"
dibatasi maknanya pada matra ekonomi dan sosial belaka, seakan-akan mengesankan adanya
dikotomi antara yang profan-duniawi (pasar, kerja) dengan yang sakral-ukhrawi (masjid,
belajar). Celakanya, kesan seperti itu tampak begitu kuat di kalangan Muslim sendiri.
Dalam realitanya, cakrawala pandang
kaum Muslim modern atas dunia kehidupannya terbagi pada dua kelompok yakni, pertama,
kelompok yang lebih terfokus pada urusan "pekerjaan". Mereka sudah mencoba
menampilkan kinerja yang profesional, tapi motivasi bekerjanya sangat rapuh, yakni sekadar
mencari uang semata. Akibatnya, dari motivasi yang kurang lurus tersebut, keinginannya
untuk berderma di jalan Allah amat minim. Ia merasa tidak pantas untuk mengeluarkan
sedekah, infak, zakat ataupun khumus karena toh yang bekerja adalah dirinya sendiri. Bukan
orang lain. Ia merasa bahwa kekayaan yang ia raih bukanlah anugrah dari Allah, namun dari
jerih payahnya sendiri. Jadi, dalam mencari nafkah, mereka begitu punya semangat yang
tinggi dan etos yang kuat. Akan tetapi, untuk urusan ilmu atau belajar mereka mencukupkan
diri dengan pengetahuan yang sudah terakumulasi sebelumnya.
Kelompok kedua adalah mereka yang
memfokuskan diri pada urusan keilmuan/"ibadah". Kelompok ini amat gandrung pada
urusan yang sifatnya "intelektual-ritual", namun kurang bisa menampilkan sikap
yang profesional dalam bekerja. Artinya, pekerjaan yang mereka tunaikan kualitasnya amat
rendah, tidak tepat waktu, dan kurang cita rasa seni. Yang penting, selesai bung !
adalah motto mereka. Dalam mengejar ilmu atau melakukan ibadah ritual, mereka memang
"jago"-nya. Namun dalam urusan pekerjaan, mereka tidak punya sikap yang sama.
Itu kan duniawi, kilah mereka.
Tafsir sosiologis dari Kunto tentang
"pasar" dan "masjid" tampaknya mendekati kenyataan yang menimpa pada
kaum Muslimin sendiri. Ideologi "kaum pasar" semakin diperkuat dengan serbuan
pandangan materialisme Barat yang sangat memuja benda atau materi. Materilah yang menjadi
standar apakah orang ini pantas atau tidak untuk dihormati, dihargai, atau diakrabi.
Bahkan dikawini. Andil budaya massa seperti televisi, majalah, koran, ataupun radio
semakin memperteguh lagi akan pandangan dunia yang sebetulnya asing, dan tidak berakar
pada nadi kehidupan kaum Muslim.
Sedangkan "kaum masjid"
seolah-olah muncul di atas ketidakberdayaan dalam menghadapi arus zaman.
"Sufisme" menjadi suatu lahan eskapis bagi mereka untuk menghindari kenyataan.
Dan, mereka berlindung di bawah istilah-istilah "sabar", "zuhud",
"doa", "ziarah", dan sebagainya.
-
Etos Kerja dalam Islam
Sesungguhnya dikotomi antara
"kerja" dengan "belajar" tidak perlu terjadi. Karena, apabila kita
menghayati ikrar kita secara mendalam pada proposisi "Iyyaka na'budu wa iyyaka
nasta'in" dalam surat Al-Fatihah, maka dunia kehidupan kaum Muslimin bernuansa
ibadah yang sangat kental. Dalam firman-Nya yang lain, Allah mengatakan, "Dan
tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah," (QS
Adz-Dzariyat, 51 : 56). Sehingga, jelas-jelas tidak ada pemisahan antara yang sakral
dengan yang profan, yang duniawi dengan yang ukhrawi.
Ketika mengomentari ayat, "Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad (perjanjian) itu" (QS Al-Ma'idah, 5
:1), Raghib Isfahani, sebagaimana dikutip Seyyed Hossein Nasr (1994) mengatakan bahwa
perjanjian-perjanjian itu meliputi perjanjian-perjanjian antara Tuhan dan manusia, yakni
kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan; [perjanjian antara manusia dan dirinya sendiri;
dan [perjanjian] antara individu dan sesamanya.
Dengan demikian, perjanjian (uqud)
yang dirujuk pada ayat tersebut berkisar antara pelaksanaan shalat sehari-hari sampai
menjual barang dagangan di bazaar, dari sembah sujud hingga kerja mencari penghidupan.
Berangkat dari pandangan dunia
tradisional tersebut yang tidak mendikotomikan antara yang sakral dan yang profan, maka
etos kerja kaum Muslim selayaknya memperhatikan kualitas pekerjaannya. Ini artinya, dalam
bekerja karakteristik spiritual tetap terjaga dan terpelihara yakni pekerjaan itu
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Tanggung jawab terhadap kerja
berarti kesiapan untuk bertanggung jawab di hadapan Yang Mutlak karena kerja adalah saksi
bagi semua tindakan manusia. Dalam ushuluddin disebut-sebut perihal konsep ma'ad
atau qiyamah yang bila diterjemahkan dalam keseharian akan sangat mendukung sekali
terhadap profesionalisme dalam bekerja. Di sini konsep ma'ad atau qiyamah
bukanlah suatu konsep di langit-langit Platonik melainkan sesuatu yang hidup, membumi.
Penghayatan yang mendalam terhadap
prinsip ma'ad akan berimplikasi positif dan konstruktif terhadap perkembangan
kepribadian kaum Muslim. Setidaknya dengan menghayati prinsip tersebut, pemuda Muslim
tidak mengenal istilah pengangguran.
Konon, praktik shalat wajib di
kalangan Syi'ah yang mencakup shalat fajr, shalat siang hari (Zhuhur dan 'Ashar), dan
shalat malam hari (Maghrib dan 'Isya), merupakan refleksi etos kerja mereka yang begitu
tinggi dan manifestasi produktivitas dalam berkarya. Artinya, bila kaum Syi'ah selesai
melaksanakan shalat siang hari, maka setelah selesai shalat dan zikir, mereka akan kembali
bekerja dengan semangat yang tetap terjaga. Bukan meneruskannya dengan aktivitas yang
kurang produktif dan tidak bermanfaat.
"Kerja berkaitan erat dengan
doa dan hidayah bagi semua masyarakat tradisional dan kaitan ini dirasakan dan
diaksentuasikan dalam Islam," tulis Nasr (1994). Dengan mengamati lafaz adzan Syi'ah,
dengan formulasi hayya 'ala al-shalah, hayya 'ala al-falah, dan hayya 'ala khair
al-'amal, Nasr menyimpulkan bahwa shalat dan kerja memiliki keterkaitan yang
prinsipal. "Di sana hubungan antara shalat, kerja, dan amal saleh selalu
ditekankan," lanjutnya.
Perspektif Islam yang padu, menolak
membedakan antara yang sakral dan yang profan, yang ukhrawi dan yang duniawi, yang
religius dan yang sekular atau, secara lebih spesifik, antara shalat dan kerja. Implikasi
praktisnya adalah bahwa sebagaimana kita mencoba khusyu dalam shalat, maka begitu
pula dalam bekerja kita mencoba untuk meng-khusyu'-kan diri. Dalam bahasa
bisnisnya, berusaha bersikap lebih profesional.
- Lebih jauh, sebagaimana ketakutan pada
Tuhan dan tanggung jawab kepada-Nya dalam ekspresi shalat kita, maka demikian pula kita
dalam pekerjaan kita. Karena, "Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu." [ ]
|