- Bahasan tentang masalah imamah atau khilafah
masih cukup aktual dan relevan, karena bahasan tentangnya secara langsung berkaitan dengan
kelangsungan dan integritas Islam itu sendiri. Sulit kiranya memisahkan antara Islam dan
imamah., baik secara teologis maupun sosiologis. Secara teologis, imamah merupakan
kelanjutan dari kenabian dalam arti bahwa Islam sebagai agama yang paling akhir dan untuk
semua manusia dan transgenerasi memerlukan figur-figur yang dapat menerima tongkat
estafet kepemimpinan dari Nabi, karena Islam, kendati sebuah sistem yang paling baik,
tidak bisa dipisahkan dari peranan pemimpinnya.. Kalau Islam itu hanya sebuah sistem yang
minus imamah, maka Alquran saja cukup untuk mengatur dunia. Tetapi kenyataannya
Alquran membutuhkan seorang yang mampu menjelaskan maksudnya dan mewujudkankannya dalam
kehidupan yang riil. Di sinilah diperlukan seorang nabi. Alquran atau Islam minus imamah
tidak cukup. Oleh karena itu ketika kaum muslimin hanya berpegangan dengan sistem saja
tanpa kepemimpinan yang benar, maka perbedaan persepsi dan interpretasi, yang tidak jarang
mengakibatkan perpecahan dan konflik, tidak dapat terelakkan..(seperti sekarang ini ?)
- Kemudian secara sosiologis, Islam sebagai
agama yang paripurna dan komprehensif dalam mengatur semua aspek kehidupan umat manusia,
yang salah satunya dan yang paling penting, adalah masalah sosial-komunal. Kepemimpinan
adalah masalah yang paling signifikan dalam urusan kemasyarakatan. Sebuah masyarakat tidak
akan stabil dan menjadi anarkis tanpa pemimpin. Pentingnya masalah kepemimpinan sosial
tidak perlu dibahas, karena ia merupakan kebutuhan yang paling primer dalam kehidupan
bermasyarakat. Islam juga ikut memberikan pemikiran dan solusi kepada masyarakat umat
manusia tentang masalah siapa yang layak menjadi pemimpin apa saja kriteria-kriterianya.
Dalam tulisan ini kami tidak akan membahas masalah imamah dari sisi pandang
sosiologis. Kami lebih tertarik membahasnya dari sisi pandang teologis.
- Membahas imamah dari sudut pandang
teologis tidak bisa dipisahkan dari bahasan tentang filosofi penciptaan alam raya,
Kemahabijaksanaan (keadilan) Tuhan dan kenabian. Imamah dan tiga masalah ini sangat
saling berkaitan dan beruntun.
-
- Pertama, alam raya dalam arti seluruh
elemennya, diciptakan untuk sebuah tujuan. Tujuan itu berupa kesempurnaan yang harus
dicapai olehnya sendiri. Kesempurnaan setiap benda di alam raya sesuai dengan kapasitas
(baca: batas atau mahiyah) wujud yang ia miliki dari tingkat-tingkat wujud.
Kesempurnaan tumbuh-tumbuhan lebih rendah dari kesempurnaan binatang dan kesempurnaan
binatang lebih rendah dari kesempurnaan manusia.. Tumbuh-tumbuhan tidak akan melebihi
kesempurnaan kapasitas wujudnya sampai seperti binatang. Demikan pula binatang tidak akan
bisa melebihi kesempurnaan kapasitas wujudnya sehingga seperti manusia. Itulah yang
dimaksud dengan filosofi penciptaan alam raya.
-
- Kedua, untuk mencapai kesempurnaan,
Allah Yang Mahaadil dan Bijaksana memberikan bimbingan kepada mereka agar sampai kepada
tujuan mereka masing-masing. Tanpa bimbingan-Nya mustahil kesempurnaan akan
tercapai. Dan ini merupakan tuntutan dari Kemahaadilan dan Kemahabijaksanaan Allah Swt.
Tentang kedua hal ini, Alquran yang mulia berfirman:
- "Sesungguhnya Allah menyampaikan
(kesempurnaan) urusanNya (ciptaan-Nya). Sesungguhnya Dia telah menciptakan untuk segala
sesuatu kadarnya (ukurannya) " (QS Al- Thalaq, 65 : 3).
-
- "Dan (Dia) telah menciptakan segala
sesuatu dan menetapkan kadar-kadarnya " (QS Al- Furqan, 25 : 2)
- "Tuhan kami yang telah memberikan
ciptaan kepada segala sesuatu kemudian membimbingnya ".(QS Thaha, 50 : 30).
- Manusia sebagai makhluk Allah yang paling
mulia diciptakan untuk tujuan kesempurnaan yang lebih tinggi dari makhluk-makhluk lainnya,
hatta malaikat. Manusia diciptakan untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi ini
(lihat Al-Baqarah : 30). Manusia dipercaya oleh Allah untuk mengatur alam raya ini (lihat
Al-Ahzab, 33 : 27) Untuk sampai kepada tujuan itu, manusia dibimbing oleh Allah melalui
akalnya dan para nabi. Mengapa tidak cukup dengan akal saja ?
- Pada dasarnya akal dapat mengetahui kebaikan
dan kebenaran, namun tidak semua manusia mengoptimalkan akalnya. Banyak dari mereka yang
dikuasai oleh hawa nafsunya sehingga tidak mengetahui kebenaran, atau juga, meskipun akal
dapat mengetahui kebenaran, tetapi ia tidak mengetahui cara untuk sampai ke kebenaran.
Oleh karena itu, kehadiran para nabi sangatlah diperlukan.
-
- Mengapa Imamah ?
- Dari penjelasan di atas tampak bahwa
bimbingan Tuhan sangatlah penting untuk kehidupan manusia demi mencapai tujuannya. Dengan
wafatnya Rasulullah Saww. sebagai nabi terakhir, bimbingan Tuhan tidak berhenti. Karena
jika bimbingan-Nya berhenti maka umat Islam pasca Rasulullah tidak akan sampai kepada
kesempurnaannya, dan itu menyalahi filosofi penciptaan dan keadilan Tuhan. Lalu siapakah
yang akan berperan menjadi pembimbing-pembimbing Ilahi setelah Rasulullah Saww. ? Apakah
mungkin ada pembimbing Ilahi sementara wahyu dari Allah telah putus dengan wafatnya
Rasulullah saww. ?
- Untuk menjawab dua pertanyaan tersebut perlu
diketahui bahwa kehadiran pembimbing Ilahi itu dibutuhkan umat manusia dan dia tidak harus
seorang nabi atau rasul, karena :
-
- Pertama, tidak ada keterangan yang
menyatakan hal seperti itu. Siapapun bisa menjadi pembimbing Ilahi. Yang penting adalah
bahwa orang itu telah memenuhi syarat-syarat sebagai pembimbing yang dapat mengantarkan
manusia menuju kesempurnaan. Allah Swt. sendiri mengajarkan kita untuk berdoa, "Ya
Tuhan kami, berilah kepada kami istri-istri dan keturunan kami yang menjadi penyenang kami
(penyejuk mata) dan jadikanlah kami sebagai pemimpin (pembimbing) bagi orang-orang yang
bertaqwa ".(QS Al-Furqan, 25 : 74). Dalam ayat lain Allah Swt. menyatakan bahwa
bimbingan Ilahi tidak harus nabi, yang penting dia tidak pernah melakukan kezaliman dan
kesalahan, "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa
kalimat , lalu ia menyelesaikannya, maka (Tuhan) berfirman, "Kami hendak menjadikanmu
pembimbing bagi umat manusia ". Ibrahim bersusul, "Juga dari keturunanku ".
Tuhan menjawab, "Amanatku ini (ahdi) tidak diperolehkan kepada
orang-orang yang zalim ".(QS Al-Baqarah : 124). Jadi dari jawaban Allah Swt atas
usulan Ibrahim as. dapat dipahami menjadi pembimbing Ilahi bisa siapa saja dari keturunan
Ibrahim asal tidak pernah berbuat kezaliman.
- Kedua, untuk menjaga keutuhan agama
dan ajaran Ilahi diperlukan manusia yang menjaganya. Sehubungan dengan itu, Imam Ali
Al-Ridha as. menjelaskan tentang sebab-sebab perlunya seorang pembimbing yang harus
ditaati, di antaranya : "Jika Allah tidak mengangkat seorang pembimbing yang
terpercaya niscaya binasalah umat, sirnalah agama dan rusaklah sunnah (ajaran ) ". (Mizan
Al-Hikmah 1: 166).
-
- Ketiga, pertarungan antara kebenaran
dan kebatilan dari sejak diciptakannya manusia sampai hari kiamat terus berlangsung. Untuk
itu, diperlukan figur yang representatif sebagai sosok yang benar tanpa keraguan, sehingga
manusia tidak bimbang mengetahui dan mengikuti kebenaran. Imam Jafar Al-Shadiq as
mengatakan, "Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan bumi ini tanpa
adanya seorang yang berilmu (ulama), karena jika tidak ada, maka kebenaran tidak dapat
dikenal dari kebatilan. " ( ibid 165).
-
- Kriteria-kriteria Pembimbing Ilahi.
- Mengingat pentingnya kehadiran pembimbing
Ilahi di setiap zaman yang dapat mengantarkan manusia kepada kesempurnaan wujudnya, maka
siapakah para pembimbing itu ? Dan oleh karena tugas dan fungsi pembimbing Ilahi itu berat
dan suci (yakni mengantarkan manusia kepada kesempurnaan wujudnya), tentu tidak sembarang
orang dapat mengembannya, lalu apa saja syarat-syarat untuk menjadi pembimbing Ilahi ?
- Kriteria yang paling utama dan awal adalah
seorang pembimbing sebelum mengantarkan yang lain harus terlebih dahulu sampai kepada
kesempurnaan wujudnya. Dirinya harus menjadi yang paling baik di antara umat manusia
sehingga menjadi panutan dan teladan bagi mereka, atau dengan bahasa agamanya, adalah
orang yang paling takwa, karena orang yang paling takwa adalah orang yang paling mulia di
sisi Allah (QS Al-Hujurat, 49 : 13). Orang yang bertakwa adalah seorang yang secara total
meletakkan dirinya dalam kehendak Allah Swt. Dalam arti dia tidak akan berbuat dan
bertindak kecuali sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah swt. Kemudian seorang
pembimbing selain harus yang paling takwa, juga harus yang paling alim tentang
segala sesuatu yang berkaitan dengan perjalanan (sayr) manusia menuju
kesempurnaan wujudnya; cara yang harus ditempuh, hambatan-hambatannya dan cara mengatasi
hambatan-hambatan itu. Sehingga umat manusia akan merasa tenang dan pasti ketika mengikuti
bimbingannya. Tanpa dua syarat itu, mustahil dia menjadi pembimbing yang benar.
- Kemudian siapakah yang berhak menentukan atau
mengangkat pembimbing Ilahi ? Yang berhak menentukan dan mengangkat pembimbing Ilahi
adalah yang paling mengetahui orang yang paling takwa dan paling alim, dan
itu tidak lain adalah Allah Swt. Adapun pilihan manusia seringkali tidak tepat dan selalu
akan menimbulkan perbedaan persepsi dalam memilih. Atas dasar itu dan atas dasar
Kemahaadilan Allah Swt., Dia harus mengumumkan kepada umat manusia orang-orang yang
menjadi pembimbing Ilahi agar tidak ada alasan (hujjah) bagi manusia untuk tidak
sampai kepada kesempurnaan wujudnya, sehingga dengan demikian sempurnalah hujjah-Nya.
( fa lillahi al-hujjatul balighah ). Sebagaimana halnya para nabi dan rasul
diangkat oleh Allah, para pembimbing Ilahipun diangkat oleh-Nya. Oleh karena itu, tidak
ada dalam sejarah, seorang nabi diangkat oleh sekelompok manusia, kecuali nabi palsu yang
mengklaim dirinya sebagai nabi.
- Adalah tugas kita mencari tahu dari
keterangan-keterangan agama tentang pribadi-pribadi yang telah diangkat oleh Allah Swt.
menjadi pembimbing umat manusia menuju kesempurnaan untuk kita ikuti dan taati segala
bimbingan-Nya. Kita tidak perlu, bahkan tidak dibenarkan, mencari-cari sendiri pembimbing
Ilahi karena tidak ada jaminan pilihan kita itu benar. Dalam Alquran disebutkan ada
penjelasan-penjelasan tentang pembimbing-pembimbing Ilahi dan kriteria-kriterianya, di
antaranya :
- 1) Al-Baqarah ayat 124 tentang pengangkatan
Ibrahim as. sebagai pembimbing beserta keturunannya yang tidak berbuat kezaliman
(sebagaimana yang telah disebutkan).
- 2) Al-Maidah ayat 55 :
- " Sesungguhnya wali (pembimbing )
kalian adalah Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan
menunaikan zakat dalam keadaan ruku ".
- Dalam ayat ini jelas bahwa pembimbing kaum
muslimin adalah Allah, Rasulullah dan orang yang beriman. Namun menarik untuk diperhatikan
bahwa ayat ini menyatakan pembimbing kalian adalah orang yang beriman, yang mendiriksan
sholat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku. Dari kata-kata " dan
menunaikan zakat dalam keadaan ruku " dapat dipahami bahwa ayat ini sedang
mengungkapkan sebuah kasus parsial yang pernah terjadi pada waktu diturunkannya ayat ini.
Dalam kitab-kitab hadis dan tafsir dijelaskan bahwa yang melakukan perbuatan itu ialah
Imam Ali bin Abi Thalib as.
- 3) pada tempat yang lain Allah swt.
berfirman,
- " Wahai orang-orang yang beriman
taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rsaul dan para pengurus urusan (pemimpin) dari
kalian " ( QS An- Nisa, 4 : 59).
-
- Ayat ini secara implisit menyatakan bahwa
para pembimbing Ilahi itu suci (mashum), karena kalau mereka itu bersalah,
maka tidak boleh ditaati. Ketaatan kepada mereka mutlak sifatnya.
- Bagi yang berkepentingan untuk mencapai
kesempurnaan wujud insani harus mencari pribadi-pribadi yang telah disiapkan oleh Allah
Swt untuk membimbing umat manusia menuju kesempurnaan. Allah yang Mahaadil dan
Mahabijaksana tidak mungkin menyembunyikan dan merahasiakan mereka.[]
|