- Fenomena jilbab akhir-akhir ini semakin
marak. Gelombang fenomena ini semakin terasa pada kampus-kampus yang
berkonotasi pada kam-pus "sekuler" atau "tidak Islami".
Dalam satu sisi pandang, jelas ini merupakan suatu hal yang patut disyukuri. Karena,
paling tidak ini menjadi suatu cermin korektif betapa kesadaran akan
penghayatan keberagamaan secara lebih mendalam menjadi suatu kebutuhan yang esensial dalam
menghadapi arus zaman sekarang ini.
- Berjilbab, dalam tatapan ekologis dan
kosmologis, merupakan suatu perlawanan dan penolakan terhadap perkembangan budaya asing
yang mewabah di negeri ini. Dengan berjilbab, ada semacam proses identifikasi untuk
menjadi Muslimah sejati.
- Sementara itu dalam perspektif Islam
Tradisional -yang pemikirannya dikembangkan secara jernih oleh Sayyid Hussain Nashr-
wanita berjilbab seolah-olah memberontak terhadap modernisme yang memisahkan
kaum Muslim dengan Yang Pusat Yang Ilahi. Lebih jauh Nashr menulis dalam Islam Tradisi (1994
: 15): "Islam tradisional menganjurkan wanita berpakaian yang sopan yang umumnya
mengenakan jilbab untuk menutupi rambutnya. Hasilnya adalah sejajaran
- pakaian wanita dari Maroko sampai
Malaysia, seba-gian besar pakaian ini sangat indah dan memantulkan femininitas sesuai
dengan etos Islam, yang mene-kankan keselarasan dengan sifat materi dan karena-nya
maskulinitas kaum pria dan feminitas kaum wa-nita. Kemudian datang perubahan-perubahan
moder-nis yang membuat para wanita menanggalkan jilbab mereka,
menampakkan rambut mereka dan menge-nakan pakaian Barat, paling tidak di
kawasan dunia Islam."
- Penulis The Tao of Islam, Sachiko Murata,
men-jelaskan dengan sangat menarik perihal kepentingan kaum wanita Muslimah menutupi
aurat mereka. Tulisnya, "Keindahan dan kecantikan Tuhan
termanisfestasi dalam diri wanita. Semakin wanita tersebut menjaga
keindahan dan kecantikannya, maka dalam tatapan kosmologis, wanita
tersebut seolah-olah menutupi Keindahan dan Kecantikan
Tuhan."
- Sayang, kesadaran wanita yang berjilbab itu belum
sampai ke arah seperti itu. Pada dataran praktis,
masih banyak terjadi percampuran budaya Barat de-ngan budaya Islam.
Ataupun, ketidakmampuan untuk mengendalikan keinginan diri. Misalnya, sebagian
wanita sudah menge-nakan kerudung atau jilbab, tapi bajunya terbuat dari kain yang tipis
yang tentu saja mem-bentuk tubuhnya yang indah. Jelas, hal ini kurang memenuhi
ke-sempurnaan perintah syariat.
- Hatta, sekalipun ini dipandang dari perintah syariat
maka itu pun belum memenuhi sya-rat sebagai busana muslimah. Syarat se-perti bahan tidak
ter-buat dari kain yang tipis, tidak membentuk lekuk-lekuk tubuh dan seterusnya telah
ba-nyak dilanggar. Alasannya macam-macam. Salah satu alasan, misalnya, busana
Muslimah pun harus mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman.
- Alasan di atas tampak menarik. Karena, di sini
ditampilkan bahwa perintah syariat tidaklah ber-tentangan dengan perkembangan zaman.
Pada satu sisi, tentu saja alasan ini dapat diterima. Islam me-mang tidak
menghalangi kemajuan dan perkembang-an zaman. Namun, apakah dengan alasan tersebut,
lantas perintah syariat harus kehilangan ruhnya ? Ruh berjilbab pada
hakikatnya untuk menutupi se-luruh keindahan Tuhan yang tidak sepantasnya
dilihat oleh yang bukan mahramnya. Jadi, bukan semata-mata
perintah syariat atau hukum fiqh. Akibat dari pengabaian ruh jilbab, dalam
praktiknya acapkali terlihat wanita-wanita yang mengenakan kerudung atau jilbab pun
mengikuti "budaya pacaran" yang tentu amat asing dalam relasi sosial
wanita-pria Islam.
- Pacaran, dengan seluruh kompleksitas maknanya, telah
menjadi semacam "ideologi". Artinya, ia me-rupakan pandangan yang melekat
dalam diri pe-lakunya. Sehingga, dengan alasan, teman prianya sudah
dekat, pelaku pacaran tak jarang rela untuk membuka auratnya -minimal rambut-
di hadapan kawan prianya. Dan, di sini kawan prianya kehi-langan ruh iman.
Artinya, ia tidak mengingatkan per-buatan dari kawan wanitanya. Dan menganggapnya itu
sebagai hal yang wajar mengingat wanita tersebut adalah calon istrinya.
-
- Ruh Jilbab sebagai Citra Intelektual dan
Spriritual
- Merebaknya pemakaian busana Muslimah, diduga
muncul karena adanya semangat keislaman yang begitu tinggi setelah keberhasilan
Revolusi Islam Iran (Lihat, misalnya, Gerbang Kebangkitan, ed.
Hamid Algar, [Yogya: Shalahuddin Press]). Bila dugaan ini benar, tentu yang
muncul adalah sikap meng-hormati keyakinan mazhab Syiah yang
dianut oleh bangsa Iran oleh aktivis Muslim. Namun kenyataan-nya, tidak
jarang terjadi celaan yang ditujukan kepada bangsa Iran sebagai penganut mazhab
Syiah. Paling tidak, ketika sebuah jurnal kebudayaan meliput per-kembangan
Syiah di Indonesia, muncul surat-surat pembaca yang menyatakan keberatan
sekaligus kekecewaannya terhadap pemuatan liputan tersebut. Terakhir, keberatan terhadap
perkembangan Syiah diwujudkan dalam seminar sehari di Masjid Istiqlal
yang memfatwakan sesatnya faham Syiah !!!
- Memberikan argumentasi seperti itu
tentu belum memadai, karena boleh jadi alasan tersebut terlalu
"ideologis". Sekalipun beberapa penelitian membukti-kan gelombang
kesadaran berislam lebih meruah ber-kat kesuksesan Revolusi Islam di Iran. Salah
satu hasil dari pengaruh besar revolusi tersebut adalah Sudan.
- Negara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam Sunni itu barangkali salah satu representasi terbaik dalam hal penolakan
mereka akan hegemoni Barat, dan seperti saudaranya di Iran, mereka pun
membangkitkan revolusi Islam Sudan. Kaum wani-tanya mengenakan busana muslimah yang
menutupi aurat mereka. Bahkan, sebagian di antara mereka menjadi pasukan
pengawal revolusi Sudan.
- Menurut penulis, fenomena berjlbab lebih
didasarkan pada kesadaran kembali akan tradisi yang hilang akibat arus modernisme yang
mencabut manu-sia kontemporer dari, dan memisahkannya dengan, Yang Mahakudus. Wanita Islam
modern -dan prianya- merasa asing pada dirinya sendiri, pada Tuhan Yang Mahaindah,
sehingga dalam setiap momen hidupnya menganggap Tuhan sebagai Zat Suci
yang meman-dang dirinya dari kejauhan, seperti matahari menyinari bumi.
- Sebaliknya, bagi Muslimah tradisional, Tuhan
di-pandang bukan saja sebagai Kebenaran Mutlak (Al-Haqq) namun juga
Kehadiran Mutlak. Jadi, bagi mereka Tuhan bukan Zat Transenden yang
hanya "mengawasinya dari kejauhan", namun juga yang se-nantiasa menyapa
dirinya, yang "bertahta dan bersemayam dalam dirinya" (imanen).
Sehingga saat mengenakan jilbab, muslimah tradisional menyem-bunyikan
"Kecantikan Tuhan" dalam dirinya, yang hanya akan dibuka
kepada mereka yang berhak yakni suaminya. Bukan yang masih samar atau spekulasi.
- Dengan paparan tersebut, bagi Muslimah
tradi-sional, jilbab bukan sekadar pemenuhan kewajiban hukum fiqh. Akan tetapi,
menunjukkan aspek keda-laman esoteris, aspek yang ingin menyembunyikan Kecantikan Ilahi
kepada lawan jenis dan meng-hadirkan Keindahan Tuhan kepada lelaki yang sah. Dalam wacana
Muslimah tradisional, berpacaran -berkhalwat (berdua-duaan) dengan lelaki yang bukan
mahram- berarti pelanggaran dirinya terhadap Kebe-naran dan Kehadiran Mutlak,
suatu dosa yang bagi-nya tidak terampuni. Dan ia sudah memasuki ritus-ritus asing manusia
modernis.
- Pada saat yang sama, berjilbab berarti
menam-pilkan citra intelektual dan spiritual dari suatu tradisi yang merentang sejak
para nabi, wali, filsuf, sufi, dan pewaris-pewaris mereka yang memahami secara
ekstensif dan menghayati secara intensif tradisionalitas Islam leluhur mereka. Citra
intelektual dan spiritual akan hadir dengan menambah pengeta-huan secara
kuantitatif dan meningkatkan ilmu berikut amalnya secara kualitatif dalam diri
Muslimah.
- Berjilbab, dengan demikian, menjadi
suatu tanta-ngan untuk mendapatkan citra intelektual dan spiritual bagi Muslimah
tradisional di tengah-tengah arus modernitas. Sebagai suatu tantangan, Muslimah
tradisional memestikan dirinya untuk meningkatkan ilmu pengetahuannya. Baik yang bersifat
teoretis maupun praktis. Pada gilirannya, Muslimah tradisional memes-tikan dirinya
untuk bisa senantiasa mencerap Ke-indahan Tuhan, kedekatannya
dengan Yang Kudus (marifatullah) sehingga dengan citra spiritual yang
bisa diperolehnya akan mampu memanifestasikan akhlak Jamaliyyah Allah dalam dirinya dan
menjadi barakah kepada orang tuanya, suaminya, anak-anak-nya, tetangga-tetangganya,
dan komunitas manusia sepanjang sejarah.
Wallahu alam |