Di dalam
kehidupan ini manusia sering menjumpai kejadian-kejadian baik lahir mapun batin yang
menyangkut diri kita. Terkadang kita ingin menyampaikan sesuatu yang kita alami kepada
orang lain dan oleh karena itu dibutuhkan bahasa, maksudnya lewat bahasa tersebut kita
menyampaikan informasi yang tersusun dalam kalimat-kalimat yang mempunyai makna. Tetapi
terkadang informasi yang kita sampaikan melalui kalimat tersebut tidak seperti kejadian
yang sesungguhnya atau hal-hal yang kita maksudkan. Misalnya kita menceritakan tentang
musibah yang kita alami kepada orang lain, cerita tersebut kadang dapat mewakili apa yang
kita alami tetapi sesungguhnya tidak mutlak atau tidak persis. Hal lain yang dapat
disebutkan di sini seperti musibah-musibah yang menimpa kaum Muslimin di penjuru dunia.Penderitaan-penderitaan
kaum Muslimin tersebut dapat kita rasakan, tetapi yang kita rasakan dari penderitaan
mereka sesungguhnya sangat jauh dari apa yang mereka alami. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya kepekaan kita terhadap penderitaan kaum Muslimin, yang disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan (ma'rifat) terhadap kejadian atau musibah tersebut.
Pengetahuan (ma'rifat)
merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan kita. Hal ini dimaksudkan agar setiap
tindakan dan informasi yang kita sampaikan kepada orang lain mempunyai makna dan dasar
yang kuat (berbobot). Sehingga kita dapat melihat bahwa syi'ar yang disampaikan oleh
mukminin dan muslimin mempunyai kadar dan bobot yang berbeda, disebabkan oleh tingkat
ma'rifat yang berbeda pula. Kalau kita kembalikan pada diri kita, kita dapat mengatakan
bahwa diri kita adalah seorang Muslim, tetapi belum tentu sebagai seorang Mukmin, sebab
untuk dapat menentukan bahwa seseorang itu Mukmin atau tidak, sulit dilakukan, karena
keimanan seseorang menyangkut masalah hati. Akan tetapi terkadang kita dapat menentukan
bahwa seseorang itu beriman atau tidak dengan melihat amal perbuatannya, yang merupakan
cerminan dari keimanannya.
Seseorang untuk dapat dikatakan
sebagai seorang Muslim cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Secara lahir atau
makna bahasa, dua kalimat syahadat yang diucapkan oleh Imam Khomeini - rahmatullah 'alaihi
- mempunyai arti bahasa yang sama dengan syahadat yang diucapkan oleh Salman Rushdie,
kalau seseorang menilai syahadat dari segi arti bahasa, maka ia dapat mengecam tindakan
Imam Khomeini yang memfatwakan hukuman mati bagi Salman Rushdie atau mengecam Salman
Rushdie karena menulis ayat-ayat setan. Namun yang jelas makna dan bobot dari ucapan
syahadat keduanya tentu saja sangat berbeda. Hal ini dapat kita lihat dari posisi yang
dimiliki Imam Khomeini yang bertentangan dengan posisi Salman Rushdie.
Sekarang marilah kita melihat diri
kita masing-masing, apakah syahadat yang kita ikrarkan mempunyai makna dan bobot tertentu
atau hanya sekadar memiliki arti bahasa. Sebenarnya yang paling penting dari syahadat kita
adalah Laa ilaaha illallaah, karena awal dari ibadah adalah ma'rifat, sedangkan asal dari
ma'rifat adalah tauhid. Makna dari tauhid di sini adalah meniadakan batasan-batasan
terhadap Allah SWT, sebab kita semua mengetahui bahwa segala sesuatu yang terbatas itu
bukan khaliq melainkan makhluq. Kalau kita kembalikan pada diri kita, kalimat tauhid
memiliki dua makna, yaitu makna nazhar atau argumentasi akal dan tauhid amal atau yang
berhubungan dengan amal.
Tauhid terbagi menjadi empat bagian
:
- 1. Tauhid Dzat
- Yaitu bahwa Allah Swt itu esa, tidak
membutuhkan apapun. Artiya semua hikmah apabila dikembalikan kepada Allah Swt, maka ia
kembali kepada Dzat-Nya (bukan selain-Nya).
-
- 2. Tauhid Sifat.
- Yaitu semua sifat Allah SWT itu kembali
kepada dzat-Nya.
- Kedua tauhid di atas sebenarnya adalah
hujjah akal (nazhari). Artinya bagaimana kita dapat memisahkan bahwa segala sesuatu yang
terbatas itu bukan tauhidiyyah.
-
- 3. Tauhid Ibadah atau Tauhid
'Amali.
- Yaitu menyangkut amaliah atau perbuatan
kita. Artinya bagaimana semua amal kita tujukan kepada Allah SWT.
- Tauhid Dzat dan Tauhid Sifat mempunyai
sifat yang tetap (statis). Sedangkan Tauhid Ibadah mempunyai sifat dinamis, seperti yang
difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur'an (QS.Fathir, 35 : 10). yang artinya : "Bahwa
sesungguhnya semua kalimat thayyibah kembali kepada Allah SWT dan amal sholeh yang
mengangkatnya.[kalimah thayyibah]."
-
- 4. Tauhid Af'ali.
- Tujuan dari tauhidiyyah, yang merupakan
asal dari ma'rifat, adalah mencinta dan membenci karena Allah SWT. Seperti sabda
Rasulullah saaw : "Tidaklah di dalam Islam ini kecuali dua perkara, yaitu mencinta
karena Allah dan membenci juga karena Allah". Seseorang saat bertauhid, dia harus
memiliki daya tarik dan daya tolak terhadap dirinya. Sehingga pada saat kita mengucapkan
kalimat Laa ilaaha illallah, berarti kita meniadakan semua yang dipertuhan oleh nafsu
kita.
Berkata Imam Ali bin Abi Thalib
A.S. : "Cukuplah kebodohan seseorang itu ketika dia tidak mengenal kadar
dirinya". Karena jika kita tidak mengenal diri kita posisi kita atau di mana kita
harus menempatkan diri kita. Semakin seseorang itu pandai tetapi tidak tahu di mana
posisinya, maka semakin jauh ia akan tersesat. Salah satu contoh seseorang yang tidak
mengenal posisinya ialah ketika ia tidak mengenal siapa lawan dan siapa kawan, siapa yang
harus ia tarik dan siapa yang harus ia tolak.
Kalau kita mau menyadari,
sesungguhnya lawan kita adalah Yahudi, karena mereka ini sangat pandai membuat
ungkapan-ungkapan yang dapat membuat orang tertarik padahal ungkapan tersebut berbeda jauh
dari aslinya (tahrif). Itulah sifat asli kaum Yahudi sejak zaman Nabi Adam as. sampai
jaman Rasulullah Saww. Oleh sebab itu pada saat Rasulullah Saww hijrah ke Madinah,yang
pertama dilakukan adalah mempersaudarakan kaum Muslimin. Hal ini disebabkan banyak orang
Yahudi yang tinggal di pinggiran kota Madinah. Oleh sebab itu berapa banyak hadis yang
menganjurkan kita untuk menjalin persaudaraan (mawaddah) di antara kaum Muslimin. Dan
ironisnya kadang-kadang nazhar (akal) kita mendukung tetapi amaliah kita tidak mendukung
sehingga kita tidak peka, batiniah kita tidak peka. Oleh karena itu kita sering
terpengaruh oleh hembusan-hembusan harum Yahudi yang mematikan. Mereka, kaum Yahudi,
selalu memunculkan perbedaan di antara kaum muslimin dan mematikan persamaannya. Oleh
sebab itu Allah Swt berfirman dalam surah At-Taubah : 28 : "Sesungguhnya kaum
musyrikin itu najis". Hal ini mempunyai hikmah supaya kita menjaga jarak terhadap
mereka (kaum Yahudi dan Nasrani) karena mereka tidak akan pernah puas sebelum kaum
Muslimin menjadi pengikut mereka. Pengikut di sini bukan hanya berarti menjadi pemeluk
agama mereka, tetapi pemikiran-pemikiran dan perbuatan-perbuatan kita mencerminkan
keinginan mereka. Sehingga tidak jarang kaum Yahudi menjadi kawan kita sedangkan kaum
Muslimin malah menjadi musuh kita, seperti makna ucapan Amirul Mukminin Imam Ali as di
atas.
Hal itulah yang menyebabkan kita
berkewajiban mencari ma'rifat. Pada saat kita mendengar panggilan ma'rifat dan kita
mempunyai kekuatan, maka kita wajib menyambutnya. Dalam hal ini tidak ada hujjah
(petunjuk) yang mengatakan bahwa kita hanya mengikuti orang tua kita, karena kebenaran
datangnya tidak harus dari orang tua kita. Biarkan akal kita ini mengembara atau
berhijrah. Seandainya kita sudah mendapatkan suatu kebenaran, marilah kita coba untuk
beramal.
Kesimpulan dari pembicaraan ini
adalah dalam kita bertauhid kita harus mengenal diri kita, seperti sabda Rasulullah Saww :
"Siapa yang mengenal dirinya , maka ia akan mengenal Rabb-Nya". Ini disebut
tauhid nazhar. Sedangkan bentuk tauhid 'amali ialah dengan mengenal diri kita, kita akan
tahu siapa yang harus kita singkirkan dan siapa yang harus kita rangkul. Akhirnya kita
akhiri bahasan ini dengan mengucapkan shalawat dan salam kepada junjungan kita Muhammad
Rasulullah Saww beserta keluarganya.
Alhamdulillahi rabbil 'alamin. |