Tatanan
hidup manusia di alam ini, dan kebahagiaannya yang abadi di alam akhirat kelak sangat
tergantung kepada rasa malu yang ada pada dirinya. Oleh karena itu, adalah pada tempatnya
bila pada kesempatan ini kami menghadirkan kajian mengenai hakikat rasa malu, pentingnya
punya rasa malu, sumber rasa malu khususnya rasa malu yang kini mulai terkikis
habis dari anggota masyarakat di zaman ini, terutama pada kaum wanita. Padahal Allah Swt
Yang Mahabijaksana menciptakan rasa malu pada perempuan berlipat-lipat lebih besar
ketimbang rasa malu yang dimiliki oleh laki-laki ....** Akan tetapi, amat
disayangkan bahwa saat ini rasa malu itu banyak dimiliki oleh kaum laki-laki ketimbang
perempuan.
Oleh karena itulah, kejahatan dari
hari ke hari semakin bertambah banyak. Seakan-akan kami di zaman ini, menjadi bukti
kebenaran atas apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah Saww : "Kiamat tidak akan
terjadi sampai rasa malu telah lenyap dari anak-anak dan perempuan." (Bihar
Al-Anwar, cetakan baru, jilid VI, hal.315).
Imam Al-Baqir as mengatakan,
"Rasa malu dan iman adalah dua hal yang dihubungkan oleh suatu poros. Jika salah satu
di antaranya hilang, maka yang lain akan mengikutinya."
Sedangkan Imam Jafar
Ash-Shadiq as mengatakan, "Tidak beriman orang yang tidak memiliki rasa malu."
-
Apakah Rasa Malu Itu ?
Rasa malu (al-haya)
ialah suatu sifat yang alami dalam diri manusia, yang menjadikannya merasa tidak enak
ketika dia melakukan perbuatan jelek dan haram. Dia dapat mencegah dirinya untuk tidak
melakukan perbuatan terlarang, karena adanya perasaan yang alami dan fitriah itu.
Sayyid Jamaluddin Al-Asadabadi dalam
bukunya, Al-Radd ala al-Madiyyin, mengatakan : "Dengan kata yang mulia
itu [rasa malu] hak-hak manusia terfhormati, dan mereka tidak melanggar batas-batas yang
telah ditentukan."
Begitu pula dengan rasa malu,
seseorang memelihara hak ayah, ibu, anak, guru, dan setiap orang yang berbuat baik
kepadanya. Dia tidak berkhianat, mengingkari janji, atau menolak orang yang meminta
pertolongan kepadanya. Dengan perasaan malu pula seseorang tidak akan melakukan perbuatan
keji dan perbuatan yang tidak sesuai dengan dirinya.
Sungguh rasa malu dapat dijadikan
tindakan pencegahan terhadap segala macam kerusakan. Ia lebih bermanfaat ketimbang ratusan
peraturan dan penjaga. Sesungguhnya orang-orang yang mencintai kebaikan masyarakat,
menginginkan hilangnya keonaran, harus berupaya agar sifat rasa malu ini tidak lepas dari
anggota masyarakat mereka. Bahkan mereka harus menghidupkan dan menumbuhkannya. Tugas
utama dan mulia ini tertumpu pada pundak para bapak dan ibu, guru, dan juga semua kaum
Muslimin.
-
Cara Melestarikan Rasa Malu
Jalan untuk melestarikan rasa malu
itu antara lain :
Pertama,
setiap orang hendaknya menyadari apa yang mereka katakan dan mereka lakukan. Sehingga
tidak keluar darinya sesuatu yang bertentangan dengan rasa malu, yang menyebabkan orang
lain lebih berani bertindak kepadanya. Misalnya, hendaknya dia tidak mengucapkan kata-kata
kotor ketika ada anak kecil, tidak berbohong, dan tidak mengingkari janji. Hal ini
dilakukan dalam rangka mengupayakan tumbuhnya rasa malu pada diri anak-anak.. Bahkan dalam
buku Miraj Saadah, orang tua dilarang pergi ke kamar mandi bersama anaknya,
dan hal-hal lain.
Kedua, jika
dia melihat orang lain berkata atau berbuat yang tidak senonoh dan sedikit rasa malunya,
maka hendaknya dia mengatakan bahwa hal itu tidak baik. Di samping itu hendaknya dia
memberikan peringatan kepada pelakunya agar perbuatan itu tidak terulang kembali.
Misalnya, omongan kotor ketika seseorang bertemu dengan temannya, khususnya ketika dia
sedang dalam keadaan marah.
Ketiga, jika
dia melihat orang merasa malu, karena ucapan atau perbuatannya, maka hendaknya dia
memujinya, atau memberanikan orang tersebut agar dia tetap mempertahankan perilaku seperti
itu.
Dalam kesempatan ini, ada baiknya
kami sampaikan bahwa jika itu dapat dijaga, maka setiap kali ada hal yang merangsang nafsu
syahwat, atau ada film-film porno, maka hal itu sudah barang tentu akan berpengaruh
langsung kepad rasa malu yang dimiliki oleh masyarakat.
-
Timbulnya Rasa Malu Bermula dari
Mata
Banyak pelajaran yang bisa kita
petik dari berbagai riwayat dan wejangan para ulama, bahwa timbulnya perilaku yang mulia
pada manusia tampak dari matanya. Oleh karena itulah kita dilarang untuk meminta tolong
atau bantuan kepada orang yang tidak melihat (buta), sebagaimana kita dilarang untuk
meminta tolong di malam yang gelap gulita, meskipun kepada orang yang tidak buta, karena
kedua mata orang tadi tidak dapat melihat dalam kegelapan. Alasannya ialah, karena kedua
kondisi tersebut tidak akan menimbulkan rasa malu.
-
Saat-saat yang Tidak Tepat bagi
Kita untuk Malu
Kadangkala manusia melakukan
kesalahan dan merasa bahwa perbuatan yang bak tergambarkan olehnya sebagai suatu perbuatan
yang buruk, karena dia merasa malu. Misalnya, malu bertanya tentang hal-hal yang belum dia
ketahui, khususnya masalah-masalah yang berkaitan dengan agama. Malu seperti ini, menurut
banyak riwayat, dinamakan malu orang bodoh, sebab dikatakan, "Tidak ada malu dalam
masalah agama."
Singkatnya, sesungguhnya rasa malu
dalam mempelajari masalah-masalah agama, adalah salah. Seperti rasa malu untuk menampakkan
kebenaran, dan mengambil keputusan untuk sesuatu yang benar, menampakkan kebenaran orang
lain, atau menyatakan hak orang lain yang benar. Malu di situ sangat tidak tepat.
Juga, rasa malu yang salah adalah
malu pada hal-hal yang sifatnya alamiah yang sudah kita terima, yang berada di luar
kemampuan manusia untuk mengubahnya, sehingga sangat tidak masuk akal bila ada orang yang
mengejeknya. Misalnya : postur tubuh yang terlalu tinggi atau terlalu pendek, badan yang
kurus atau sangat gemuk, rupa yang jelek, atau rambut yang terlalu hitam. Atau juga,
sakit, fakir yang berada dil luar kemampuan manusia untuk mengubahnya, karena hal itu
bukanlah sesuatu yang jelek.
-
Saat-saat Ketika Kita Patut
Merasa Malu
Semua perbuatan yang dianggap oleh
akal dan agama sebagai sesuatu yang jelek dan tidak masuk akal, patut mendapatkan rasa
malu bila kita melakukannya. Sehingga dengan begitu, kita tidak mendekat kepada perbuatan
tersebut, dan kita menjadi orang yang terpuji.
Rasa malu seperti itu terbagi
menjadi dua bagian :
Pertama, rasa malu terhadap
manusia, yakni seseorang meninggalkan suatu perbuatan yang kurang terpuji karen atakut
dilihat oleh orang lain, sehingga dia merasa malu.
Kedua, rasa malu terhadap
Allah, yaitu kesadarannya bahwa Tuhannya senantiasa mengetahui perbuatannya. Dia selalu
mengawasi dan memperhatikan dirinya, apakah dia dalam kesendirian atau berada di
tengah-tengah orang banyak. Baik dia dilihat oleh orang atau tidak dilihat, dia tetap
merasakan bahwa Allah selalu berada di sampingnya, melihat dan mengawasinya, sehingga dia
merasa malu kepada-Nya, dan meninggalkan perbuatan yang kurang baik.
Sesungguhnya letak kesempurnaan
manusia adalah bila dia telah memiliki rasa malu dalam bentuk yang kedua. Kesengsaraan dan
kehinaan masih mungkin akan didapati oleh seseorang bila ia merasa malu dilihat oleh orang
lain, tetapi dia tidak merasa malu dilihat oleh Allah Swt. Orang lain tidaklah memiliki
kemampuan untuk mengalirkan kebaikan, atau sebaliknya, mendatangkan kesengsaraan baginya,
tetapi Allah Swt pasti mampu melakukannya.
Sesungguhnya para pengkhianat itu
bisa menyembunyikan perbuatan mereka dari pandangan manusia, dan merasa malu dilihat oleh
mereka. Akan tetapi, mereka tidak malu dilihat oleh Allah Swt yang selalu bersama mereka.
Mereka berbicara tentang sesuatu yang tidak diridhai oleh-Nya, padahal Allah mengetahui
segala sesuatu yang mereka lakukan. Allah Swt berfirman :
Mereka bersembunyi dari manusia,
tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada
suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah
Maha Meliputi terhadap apa yang mereka kerjakan. (QS An-Nisa, 4 : 108).
-
Kami ingin mengutipkan di sini
berbagai kisah mengenai rasa malu terhadap Allah yang dilakukan orang-orang yang baik,
agar para pembaca sekalian dapat memetik pelajaran dari sifat yang sangat mulia ini. Di
samping itu agar para pembaca mengetahui dan bertambah yakin bahwa Allah Swt selalu
bersama kita, di setiap tempat. Kuat atau tidaknya rasa malu terhadap Allah adalah
terpulang kepada kuat atau tidaknya iman seseorang terhadap keberadaan Allah di
sampingnya.
Tuhan, campakkan diriku dalam
sinar keagungan-Mu, agar aku arif. Jauhkan diriku dari selain-Mu. Jadikan diriiku penakut
terhadap-Mu, yang selalu ingat kepada junjungan-Mu (Dikutip dari Munajat bulan
Syaban, sebaiknya ungkapan tersebut diulang-ulang).
-
Rasa Malu Yusuf
Ash-Shiddiq as
Dalam buku tafsir Manhaj
Ash-Shadiqin, disebutkan bahwa Imam Ali bin Al-Husain Zainal Abidin
mengatakan bahwa ketika Yusuf as digiring oleh Zulaikha ke ruangannya yang telah dihiasi
kaca berwarna-warni dan lukisan yang membangkitkan birahi, kemudian dia menutup pintunya.
Di kamar itu terdapat sebuah patung yang ditutupi oleh selambar kain di atasnya. Yusuf as
bertanya kepada Zulaikha mengapa dia menutup kepala patung itu. Dia menjawab, "Agar
dia tidak melihat apa yang akan kita perbuat, sehingga kita merasa malu kepadanya."
Yusuf as kemudian berkata, "Aku
lebih merasa malu kepada Allah Yang Mahakuasa." Setelah itu, Yusuf as melarikan diri
dari sisinya.
-
Rasa Malu Seorang Anak
Habsyi
Seorang anak dari Habsyi setelah
mendapatkan kehormatan untuk bertemu Rasulullah Saww; dan masuk Islam di hadapan beliau,
serta hatinya disinari oleh cahaya Islam, bertanya kepada beliau saww tentang pengetahuan
Allah Swt. Rasulullah Saww menjawabnya, "Dia tidak pernah terhalang oleh halangan
apapun."
Anak itu berkata, "Kalau
begitu, ketika aku melakukan suatu dosa, Allah melihatku."
Kemudian Rasulullah Saw bersabda,
"Kasihan..."
Anak itu kemudian berteriak dan
meninggalkan dunia yang fana ini.
-
Rasa Malu Seorang
Penggembala
Umar bin Khaththab pernah bertemu
dengan seorang anak yang sedang menggembalakan kambing. Dia meminta kepadanya untuk
menjual seekor kambingnya kepadanya.
Kemudian penggembala itu berkata,
"Kambing-kambing ini bukan milikku, dan majikanku tidak mengizinkanku untuk
menjualnya."
Umar mengatakan, "Juallah satu
ekor kambing itu kepadaku, aku akan memberikan uangnya kepadamu. Kemudian katakan kepada
majikanmu bahwa seekor serigala telah memakan seekor kambingnya."
Penggembala itu menjawab,
"Kalau begitu, di mana Allah ?"
Tingkah laku penggembala itu
meninggalkan kesan yang sangat baik kepada Umar. Kemudian ia pergi menemui majikannya, dan
membeli budak belian itu dan memerdekakannya. Lalu dia membeli beberapa ekor kambing dan
memberikannya kepada anak itu.
Setelah peristiwa itu, Umar selalu
mengulang-ulangi ucapan penggembala kambing itu : "Kalau begitu, di mana Allah
?"
-
Kuatnya Rasa Malu
Al-Ardabili
Dalam kitab Laaliy al-Akhbar,
dan kitab-kitab yang lainnya, ketika berbicara tentang Al- Alim Al-Rabbani, Mulla
Ahmad Al-Ardabili semoga Allah meninggikan derajatnya dikatakan bahwa yang
mulia pernah selama empat puluh tahun tidak menjulurkan kedua kakinya ketika duduk, tidur,
apakah dia bersama orang lain atau sendirian.
Dia berkata, "Aku merasa malu
dan tidak beradab, bila aku menjulurkan kakiku ke haribaan Tuhanku."
Cerita seperti ini juga dilakukan
oleh salah seorang ulama besar. Ketika beliau sakit menjelang kematiannya, beliau tidak
mau menjulurkan kakinya, sambil berkata, "Selama umurku aku belum pernah melakukan
sesuatu yang tidak beradab, di samping itu aku malu. Sekarang, bagaimana mungkin aku
melakukan itu, toh umurku sudah akan habis."
Ada orang mulia yang lain. Selamanya
orang ini tidak pernah mengangkat suaranya. Kalau berbicara, dia berbicara dengan suara
yang pelan. Dia berkata, "Sesungguhnya mengangkat suara dan berteriak di hadapan
Allah adalah karena tidak punya rasa malu."
-
Kalau begitu, bagaimana halnya
dengan orang-orang yang meninggikan suaranya di hadapan Allah, atau mengatakan sesuatu
yang kotor, atau membicarakan hal-hal yang diharamkan oleh Allah Swt ?
Dalam kitab yang sama juga
disebutkan bahwa ketika ada seorang ulama sakit menjelang kematiannya, dia dijenguk oleh
seorang penguasa pada waktu itu, yang berkata kepadanya, "Tinggalkan anak-anakmu
kepadaku, dan jadikanlah aku ini sebagai penerima wasiatmu."
Ulama yang mulia itu berkata,
"Aku merasa malu untuk menitipkan anak-anakku kepada seseorang, karena Allah Swt
masih ada."
Ada cerita lain tentang Salim bin
Abdullah, seorang zahid dan wara, sedang berada di Masjid Al-Haram ketika Hisyam bin
Abd al-Malik datang ke sana. Ketika dia melihatnya dia berkata, "Hai Salim,
mintakanlah keperluanmu kepadaku, akan kupenuhi semua permintaanmu."
Salim berkata, "Keperluan dunia
atau keperluan akhirat ?"
Hisyam menjawab, "Keperluan
dunia."
Salim berkata, "Sekarang ini
aku tidak meminta keperluan duniaku kepada Pemilik dan Penguasa dunia (Allah). Aku hanya
meminta keperluan akhiratku saja. Lalu bagaimana mungkin aku meminta keperluan dunia
kepada orang yang bukan pemiliknya secara hakiki ?"
-
Rasa Malu Manusia di Hari Kiamat
Hari Kiamat adalah hari
ditampakkannya semua hakikat. Semua hal yang dulu tidak tampak kini akan ditampakkan,
sehingga manusia dapat mengetahui bahwasanya Allah Swt senantiasa, di mana pun, selalu
bersamanya. Dia senantiasa melihat semua ucapan dan perbuatannya. Di sisi lain, seseorang
dapat menyaksikan bentuk dirinya sendiri, bentuk lahiriahnya, berikut segala perilakunya,
serta bentuk batiniahnya, seperti dijelaskan dalam sebuah hadis, "Manusia akan
dikumpulkan yang tidak lebih baik daripada bentuk kera dan babi."
Manusia akan melihat dirinya lebih
jelek dibandingkan babi, kera; dan begitu pula amal perbuatannya akan ditampakkan di
hadapannya, sebagaimana dikatakan oleh Alquran Al-Karim :
Pada hari ketika tiap-tiap diri
mendapati segala kebajikan dihadapkan di mukanya begitu pula kejahatan yang telah
dikerjakannya. Ia ingin kalau kiranya antara dia dengan hari itu ada masa yang jauh...(QS
Ali Imran, 3 : 30).
Pada hari ketika ditampakkan baginya
seluruh amal perbuatannya, manusia merasa malu dan berharap segera dimasukkan ke neraka
jahannam, sehingga dia bisa selamat dari rasa malu yang sangat menyiksa dirinya ketika
dihisab dan ditonton oleh orang banyak. Dia sudah sangat dipermalukan dan masih masuk ke
neraka jahannam.
Barangkali apa yang dilakukan oleh
Imam Hasan as merupakan isyarat bagi persoalan ini. Beliau , apabila ingat akan mati,
menangis. Dan jika dia ingat kuburan, dia juga menangis. Dan bila ingat hari kebangkitan
dia juga menangis. Jika dia ingat surga dan neraka dia gemetar ketakutan, dan jika dia
ingat bahwa amalnya akan ditampakkan di hadapan orang banyak, dia pingsan. []
-
- _________________
- *) Dinukil dari Catatan dari Alam Gaib
karya Ayatullah Sayyid Abdul-Husain Dasytaghib (Bandung : Pustaka Hidayah), terjemahan
Bahruddin Fannani pada hal. 135-45.
**) Diriwayatkan dari Imam Jafar
Ash-Shadiq as bahwasanya beliau berkata, "Rasa malu itu ada sepuluh bagian. Sembilan
bagian di antaranya ada pada perempuan, dan yang satu bagian ada pada kaum laki-laki. Jika
perempuan sudah mulai haid, hilang satu bagian rasa malunya. Jika dia sudah menikah,
hilang lagi satu bagian; jika dia sudah digauli hilang satu bagian lagi; dan jika
melahirkan hilang lagi satu bagian. Sehingga rasa malunya hanya tinggal lima bagian. Dan
jika dia menyimpang, maka rasa malu itu akan hilang semuanya. Tetapi bila tingkah lakunya
baik, maka rasa malu itu masih akan tersisa lima bagian." (Bihar Al-Anwar,
jilid VI, cetakan baru, hal. 244). |