- Kepemimpinan Islam Pasca-Rasulullah Saww.
- Sebagaimana yang telah dijelaskan pada
keterangan yang lalu bahwa dalam sistem pemerintahan Ilahi, kekuasaan dan kedaulatan
mutlak berada di tangan Allah Taala, sebagai Pencipta dan Pemelihara jagat raya, dan
segala sesuatu selain-Nya harus tunduk kepada-Nya, kemudian Ia memberikan mandat kepada
Rasulullah Saww. sebagai kepercayaan-Nya, maka siapakah gerangan yang akan menjadi
kepercayaan Allah setelah Rasulullah Saww. ?
- Mengingat bahwa Islam sebagai agama yang
global dan inter generasi dan diturunkan untuk seluruh umat manusia sampai hari kiamat,
maka kepemimpinan dan pemerintahan Islam tidak terhenti dengan wafatnya Rasulullah Saww.
Kepemimpinan Islam terus terbentang dan berlaku selagi manusia masih ada di atas permukaan
bumi ini. Nah, sehubungan dengan ini, masalah khilafah digulirkan dan dibicarakan
bahkan menjadi isu yang paling hangat sejak wafatnya Rasulullah Saww. sampai saat ini.
Siapakah yang manjadi khalifah (pemimpin kaum muslimin pasca Rasulullah) ? Dan
bagaimanakah proses pengangkatan khilafah Islamiyyah ?
- Sudah tidak menjadi rahasia lagi, bahwa
terdapat dua pandangan yang kontradiktif tentang masalah khilafaturrasul. Sebagian
kaum muslimin berpendapat bahwa pengangkatan khalifah diserahkan kepada umat Islam (baca :
masyarakat Islam ) dengan mengadakan voting atau syura, sementara sebagian
yang lain berpendapat bahwa pengangkatan khalifah adalah hak Allah bukan hak manusia.
- Dalam bukunya, Makrifatullah, dengan
sangat arif Ayatullah Makarim Syirazi menjelaskan duduk permasalahan khilafah.
Menurutnya, sebenarnya perselisihan tidak akan muncul kalau kedua kubu itu mempunyai
pemahaman yang sama tentang arti khalifah. Perselisihan timbul disebabkan kedua golongan
tersebut memberikan makna yang berbeda tentang khalifah.
- Menurut golongan pertama, khalifah
bertugas sebagai pemimpin negara dan urusan dunia saja. Oleh karena itu, seorang khalifah
tidak diharuskan seorang yang paling baik, paling takwa dan paling memahami urusan-urusan
agama. Persyaratan menjadi khalifah cukup dengan kemampuannya memimpin pemerintahan (kafaah).
Atas dasar makna ini, pengangkatan seorang khalifah cukup dengan syura atau
menurut suara yang terbanyak, tidak harus ada intervensi dari syariat.
- Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa
jabatan khalifah sama dengan jabatan Rasululullah kecuali menerima wahyu. Oleh
karena itu seorang khalifah mesti orang yang paling baik, paling takwa dan paling memahami
agama Islam, dan tentunya mempunyai kafaah juga. Maka yang mengetahui manusia
seperti itu tidak lain adalah Allah Taala Sebagaimana Nabi diangkat oleh Allah
demikian pula khalifah diangkat oleh-Nya melalui Rasul-Nya. Jadi kesepakatan akan terjadi
di antara dua golongan itu jika mereka bersepakat dalam memaknai kata khalifah,
(Lihat kitab Makrifatullah hal. 227-229).
- Di sini tidak akan kami bahas perselisihan
di antara dua golongan tersebut. Namun kami akan lebih menekankan pada fungsi seorang
khalifah atau pemimpin kaum muslimin dengan mengacu kepada ajaran Islam yang komprehensif
dan kepemimpinan Rasulullah Saww. (Bagi pembaca yang ingin mendapatkan penjelasan yang
memadai tentang model kepemimpinan dalam Islam dipersilahkan membaca buku Suksesi
karya Syahid Muhammad Baqir Shadr, yang cukup representatif membicarakan masalah
kepemimpinan dalam Islam).
- Sebagaimana telah diketahui bahwa Islam
adalah agama yang sempurna dan lengkap dan bahwa Nabi Muhammad Saww. selain menyampaikan
wahyu dan tempat bertanya tentang masalah-masalah keagamaan (marjaiyyah diniyyah),
juga beliau adalah pemimpin negara Islam. Maka tugas seorang khalifah, sesuai dengan arti
dari khalifah, yaitu penggganti atau wakil, sama dengan tugas Nabi Saww. kecuali menerima
wahyu.
-
- Keterangan Tekstual Tentang Pemimpin
Islam Pasca Rasulullah Saww.
- Dalam berbagai kitab hadis dikutip sebuah
hadis yang cukup populer dengan redaksi yang berbeda namun maksudnya sama. Rasulullah
Saww. bersabda, "Barangsiapa mati sementara dia tidak mengenal imam zamannya maka dia
akan mati seperti matinya orang-orang jahiliyyah." Hadis ini dengan jelas menekankan
pentingnya masalah kepemimpinan sehingga seorang muslim yang tidak mengenal imam yang ada
pada zamannya akan mati seperti orang-orang jahiliyyah. Sedemikian pentingnya masalah
kepemimpinan dalam Islam sehingga tidak mungkin Rasulullah mengabaikankannya tanpa
memberikan penjelasan kepada umat Islam tentang proses pengangkatannya dan
kriteria-kriteria seorang pemimpin setelah beliau wafat.
- Sebagian mufasir mengatakan bahwa ayat yang
berbunyi "Wahai Rasul, sampaikankanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. Jika tidak kamu lakukan maka kamu tidak menyampaikan risalahNya
( QS Al-Maidah, 5 : 67) merupakan perintah dari Allah agar Rasulullah menyampaikan wasiat
terakhir tentang kepemimpinan (Lihat tafsir Al-Mizan dan tafsir Majma al
Bayan berkenaan dengan ayat di atas).
- Juga ayat yang berbunyi, "Wahai
orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan Ulil amri dari
kalian " (QS An-Nisa, 4 : 59) merupakan perintah dari Allah untuk menaati
para pemimpin setelah Rasulullah Saww. Kalau kita merujuk ke literatur-literatur hadis,
maka akan kita dapatkan sejumlah riwayat dari Rasulullah tentang masalah khalifah atau
pemimpin. Di antaranya adalah : "Agama ini akan tetap tegak sampai hari kiamat atau
selama kalian dipimpin oleh dua belas khalifah. Semuanya dari Quraisy " (Shahih Muslim
jilid 6 halaman 4); "Islam akan senantiasa mulia sampai dengan dua belas khalifah
" (Shahih Bukhari jilid 8 halaman 105 dan 128) dan riwayat-riwayat lainnya
yang tidak perlu kami sebutkan semuanya.
- Dengan demikian, masalah dan model
pemerintahan pasca-Rasulullah Saww. telah selesai dibicarakan, yaitu kekhilafahan. Dalam
keterangan tekstual maupun sejarah tidak ada keterangan tentang pengangkatan pemimpin
Ilahi atau khalifah melalui syura. Syura biasanya dipraktikkan
dalam masalah-masalah sosial yang duniawi, sedangkan khilafah dan kepemimpinan tidak hanya
duniawi saja. Malah dalam beberapa hadis disebutkan juga pribadi-pribadi yang berhak
menjadi pemimpin dan mereka telah diangkat oleh Rasulullah sendiri. Mereka itu adalah,
Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan, Al-Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir,
Jafar Ash-Shadiq, Musa Al-Kazhim, Ali Ar-Ridha, Muhammad Al-Jawad,
Ali Al- Hadi, Hasan Al-Askari dan Muhammad Al-Mahdi (salam sejahtera atas
mereka semuanya). Mereka adalah khalifah-khalifah Nabi yang berjumlah dua belas dan hujjah-hujah
Allah setelah Nabi Saww. Mereka mempunyai tugas yang sama dengan Nabi hanya saja mereka
tidak mendapatkan wahyu atau membawa syariat baru.
- Menarik untuk dicermati, bahwa pemerintahan
Ilahi memberi kesan adanya kekuasaan yang turun temurun atau yang dalam istilah yang
terkenal dewasa ini, nepotisme. Sebagian tokoh kita ada yang keberatan dengan
sistem pemerintahan Ilahi karena alasan nepotisme dan otoriter, tidak mengenal syura
dalam pengangkatan pemimpin.
- Mengapa nepotisme ? Kata nepotisme bagi
kaum demokrat berkonotasi negatif, yaitu pembagian jabatan-jabatan pemerintahan
berdasarkan kekerabatan (Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia). Tetapi kesan nepotisme yang
negatif itu tidak akan muncul dalam sistem pemerintahan Ilahi karena dalam pemerintahan
Ilahi kekuasaan hanya milik Allah Swt., bukan milik rakyat atau bersama (seperti yang
telah diuraikan pada bagian pertama dari tulisan ini). Dan sebenarnya keburukannya
nepotisme itu karena tidak memberikan jabatan kepada orang-orang yang tidak mempunyai
kelayakan, namun memberikannya kepada seseorang hanya karena pertimbangan keluarga. Tetapi
lain halnya dengan sistem pemerintahan Ilahi, kekuasaan dan kepemimpinan diberikan kepada
orang-orang yang menurut Allah dan Rasul-Nya mempunyai kelayakan (kafaah),
meskipun mereka dari satu keluarga atau turun temurun. Oleh karena itu, Allah menjadikan
keturunan Nabi Ibrahim as. sebagai nabi dan pemimpin, seperti Ismail, Ishak, Yakub
dan Yusuf, karena Allah mempercayai mereka sebagai pemimpin umat manusia. Demikian pula
para khalifah Nabi Muhammad Saww. diangkat atas pertimbangan yang sama, yakni mereka
dipercayai untuk melanjutkan kepemimpinan Allah dan Rasul-Nya.
- Berkenaan dengan ini, Alquran menjelaskan,
"Aku hendak menjadikanmu pemimpin untuk manusia. Dia ( Ibrahim) berkata, "
Dan dari keturunanku ?" Allah menjawab "(ya, tetapi) janjiku (kepemimpinan) ini
tidak diberikan kepada (keturunanmu) yang zalim."(QS Al-Baqarah : 124) dan juga
mengatakan, "Sesungguhnya Allah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga
Imran atas seluruh semesta alam raya. Sebagian dari mereka adalah keturunan dari sebagian
yang lain "(QS Ali Imran : 33-34). Oleh karena itu, pemerintahan Ilahi tetap
beranjak dari kekuasaan dan kepemimpinan Allah dan Allah pulalah yang akan menentukan
siapa pemimpin kaum muslimin setelah Rasulullah Saww.
-
- Kepemimpinan Para Ulama ( Wilayah
Al-Faqih)
- Islam sebagai agama yang universal dan
lintas bangsa dan generasi sampai hari kiamat telah menjelaskan kepada kita estafet
kepemimpinan setelah Rasulullah Saww. dan para khalifah. Penerima mata rantai kepemimpinan
atau tongkat kepemimpinan mereka adalah para ulama. Ulama dalam Islam bukanlah pribadi
yang hanya menguasai ilmu agama saja, tetapi lebih dari itu ia harus tampil sebagai
pemimpin kaum muslimin yang harus memahami denyut dan detak jantung umat dengan baik dan
peduli terhadap masalah-masalah sosial serta mampu mengatasinya, karena mereka,
sebagaimana dalam beberapa hadis yang akan kami sebutkan, adalah pewaris para nabi. Dan
dalam kenyataannya, sejarah dunia Islam terhiasi dengan perjuangan yang heroik para ulama
dalam membela umat Islam dan melawan kezaliman, khususnya kolonial.
- Berikut ini hadis-hadis tentang posisi
ulama dalam Islam :
1. Dari Abu Abdillah dari
Rasulullah Saww.: "Para fuqaha adalah kepercayaan para rasul selagi
mereka tidak masuk ke dalam (urusan) dunia. " Beliau ditanya, "Wahai Rasulullah,
apa yang dimaksud dengan masuk ke dunia ?" Beliau menjawab, "Mengikuti penguasa
(sultan). Jika mereka mengerjakan itu, maka waspadailah mereka atas agama kalian. "(Al-Kafi
jilid 1 halaman 38)
2. Rasulullah Saww. bersabda,
"Para ulama adalah kepercayaan Allah untuk makhluk-Nya " dan juga beliau
bersabda, " Ulama adalah kepercayaan umatku." (Kanz Al-Ummal)
3. Rasulullah saww. bersabda,
"Ulama adalah pemimpin dan orang-orang bertakwa adalah penghulu", (Kanz
Al-Ummal) dan hadis-hadis yang lain.
-
- Dari hadis-hadis ini tampak jelas begitu
pentingnya posisi ulama dalam Islam. Mereka selaku pewaris nabi mempunyai tugas dan
tanggung jawab yang hampir sama, kalau tidak dikatakan, sama dengan nabi. Tugas yang
paling penting adalah memimpin umat. Jadi dalam pemerintahan Islam kepemimpinan setelah
Allah, rasul dan para khalifah adalah para ulama. Perlu dicatat, bahwa dalam pemerintahan
Ilahi pemimpin tertinggi dan mutlak adalah Allah, sedangkan Nabi dan para khalifah
hanyalah pelaksana saja. Demikian pula ulama tidak lain dari kepanjangan tugas Nabi dan
para khalifahnya. Kepemimpinan ulama tidak berarti dia single fighter dalam
mengurus seluruh urusan pemerintahan. Dia mesti dibantu oleh para pakar atau lembaga dalam
berbagai bidang dan urusan pemerintahan. Dia hanya mengawasi dan membimbing para pejabat
agar tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama. Agar kebijaksanaannya sebagai
pemimpin tidak salah atau merugikan masyarakat, maka dia harus mengadakan musyawarah
dengan dewan ahli (Llihat Wilayat Al-Faqih juz 1:12).
- Sudah menjadi salah kaprah dewasa ini,
gelar ulama diberikan kepada seseorang tanpa sebuah quality selective dalam
keilmuannya, ketakwaannya dan ke-wara-annya, sehingga amat dengan mudah dan
dengan pengertian yang sangat longgar kata ulama disandang seseorang. Sungguh sangat
dilematis, seseorang disebut ulama, padahal tidak memenuhi kriteria ulama, dituntut untuk
berperan sebagai pengganti Nabi. Dan ini tidak jarang menjadi sebuah pelecehan terhadap
posisi ulama yang sangat mulia dan terhormat.
- Melihat kenyataan seperti itu, akhirnya
posisi itu secara absurd diambil alih oleh selain ulama. Dalam urusan pemerintahan
"Ulama" tidak lagi dapat diandalkan untuk memimpin sebuah negara dan sebagai
pemilik otoritas tertinggi dalam pemerintahan. Walaupun terkadang suara ulama diambil
dalam sebuah keputusan, itupun hanya sekedar bahan pertimbangan belaka. Keputusan akhir
tetap oleh pihak yang berkuasa yang bukan ulama. Demikian pula dalam masalah keilmuan.
Oleh karena kualitas keilmuan ulama untuk menjawab berbagai problema kehidupan minim
sekali, maka tidak jarang dari selain ulama mengambil jalan pintas melalui beberapa
referensi ilmu agama (ayat dan hadis) untuk mengambil keputusan sendiri dan menyatakan
bahwa keputusannya itu adalah hukum dan ajaran Islam., dan juga ulama tidak lagi menjadi
teladan dalam kehidupan pribadi dan sosialnya, sehingga umat mencari figur yang bukan
ulama untuk dijadikan idola dan teladan.
- Begitu pentingnya posisi ulama dalam
pemerintahan Ilahi, maka Islam meletakkan beberapa kriteria ulama yang rabbani,
yang mempunyai tugas yang mulia tersebut. Di antara kriteria-kriteria ulama itu ialah :
- Pertama, takut kepada Allah Swt. :
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah para ulama".(QS Al-Fathir
: 28). Allamah Al-Thabathabai dalam tafsirnya berkata, "Yang dimaksud dengan
ulama adalah orang-orang yang mengenal Allah Swt. beserta asma-Nya, sifat-sifat-Nya
dan perbuatan-perbuatan-Nya dengan pengetahuan yang sempurna sehingga menenangkan hati
mereka dan menghilangkan keraguan dari mereka serta akan tampak pengaruhnya dalam tindakan
mereka yang nyata sehingga perbuatan mereka menjadi manifestasi ucapan mereka. Dan yang
dimaksud dengan takut adalah takut yang sebenarnya yang diikuti dengan ke-khusyu-an
batin dan ketundukan lahir. " (Tafsir Al-Mizan juz 17:43).
- Kedua, memahami agama dengan baik
dan mendalam. Allah Swt. berfirman, "Hendaknya sekelompok dari setiap golongan
dari kalian pergi ber-tafaqquh dalam din dan lalu memberi peringatan kepada kaum mereka
jika mereka kembali kepada (kaum mereka) supaya mereka berhati-hati."(QS
At-Taubah, 9: 122). Tafaqquh berarti memahami din secara mendalam. Dari akar
kata yang sama, kata faqih yang berarti seorang yang mendalam dalam pengetahuan din
(Lihat Al-Munjid). Yang dimaksud din adalah agama Islam yang
komprehensif dalam mengatur semua aspek kehidupan manusia, termasuk sosial dan politik.
- Ketiga, memperjuangkan agama,
menjaga diri dari kemaksiatan dan dorongan hawa nafsu serta menaati agama dengan ketat.
Dalam sebuah riwayat yang sampai kepada Imam Al-Mahdi (semoga Allah menyegerakan
kehadirannya) disebutkan, "Barangsiapa dari para faqih terdapat faqih
yang membela agamanya, menjaga dirinya, tidak mengikuti hawa nafsunya dan menaati Allah
[atau Nabi dan Imam], maka bagi orang awam wajib mengikutinya. " (Tahrir
Al-Wasilah jilid 1:3 ).
- Dari keterangan tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa kepemimpinan ulama (wilayah al-faqih) adalah kepanjangan dari
kepemimpinan Allah, Rasul dan para khalifah.[] Selesai, Alhamdulillah.
|