Jadilah
periuk ! kata peribahasa. Maksudnya, makanlah seadanya. Ini adalah ujaran yang biasa
dikeluarkan orang-orang miskin, yang tidak bisa memakan apa saja yang mereka inginkan
setiap saat. Bagi orang-orang miskin, makan seadanya tidak selalu bermakna makan nasi
dengan lauk pauk sederhana, tapi kadang berarti makan singkong saja. Bahkan makan singkong
saja barangkali termasuk "mewah" karena kadang-kadang mereka juga terpaksa hanya
"makan angin" melulu. Mirip dengan periuk kalau tak diisi nasi, diisi singkong
pun no problem. Artinya, bagi orang miskin, bukan mereka tidak bisa menderita, tapi
tidak bisa berontak atau berteriak, karena memang tidak berdaya.
Jadilah periuk ! berarti
setiap makanan dan minuman yang masuk ke perut kita, hendaknya tidak melebihi daya
tampungnya. Amatilah periuk. Benda yang senantiasa kita simpan di ujung akhir rumah kita
itu hanya mampu menampung sesuai dengan kapasitasnya.
Allah Swt mengajarkan kepada kita
untuk makan dan minum seperti halnya periuk, yaitu sebatas daya tampungnya yang alami.
Alias tidak berlebihan. Nabi Saww menambahkan bahwa makan dan minum yang berlebihan dapat
mematikan hati, seperti halnya siraman air yang berlebihan dapat mematikan tetumbuhan.
Cicitnya, Imam Jafar
Ash-Shadiq berkata, "Makan itu patut dipuji jika dilakukan pada saat dibutuhkan,
sebagai suatu sarana dan persediaan, setiap kali secukupnya saja, atau untuk menguatkan
badan. Makan karena dorongan kebutuhan adalah untuk orang yang suci; makan sebagai suatu
sarana dan persediaan adalah penunjang untuk orang yang takwa; makan setiap kali
secukupnya saja adalah untuk mereka yang percaya; dan makan untuk menguatkan badan adalah
untuk orang-orang yang beriman." (99 Wasiat Imam Jafar Ash-Shadiq, hal.
80).
Dalam makanan yang secukupnya, kaum
Muslimin berarti telah bersikap adil kepada dirinya sendiri. Bila salah satu makna adil
adalah keseimbangan maka memperhitungkan berapa banyak makanan yang bisa dimasukkan dengan
kapasitas perut kita, maka itu tiada lain merupakan aplikasi dari keadilan. Dengan begitu,
sikap seperti ini dapat memberikan implikasi lebih jauh yakni bagaimana kita bertenggang
rasa terhadap kaum miskin. Karena, dengan mencukupkan diri dengan setengah porsi berarti
setengahnya lagi bisa disedekahkan kepada mereka yang kurang mampu. Nabi Saww pernah
bersabda, "Jika dalam suatu kampung ada seorang penduduk kelaparan, maka orang
sekampung itu tidak beriman."
Jelaslah, kepekaan sosial seperti
ini hanya mampu dilahirkan dari orang yang beriman. Iman harus melahirkan cinta kepada
sesama. Dan cinta itu harus dibuktikan antara lain dan yang terpenting, dengan memikirkan
kebutuhan perut sesama. Nabi Saww bersabda, "Belum beriman salah seorang di antara
kalian, sebelum ia mencintai saudaranya (sesama Muslim) seperti mencintai dirinya
sendiri." Sehingga orang yang senantiasa memper-tanyakan keimanannya, setiap akan
mema-sukkan makanan ke perutnya, ia bertanya pada dirinya sendiri, "Sudah makankah
pembantu saya ? Supir saya ? Karyawan saya ? Tetangga saya ? Saudara-saudara Muslim saya
?" Orang yang beriman sempurna tentu tidak akan terkena shoppaholic ("gila-belanja").
Artinya, setiap kelebihan yang ia dapatkan dari peker-jaannya bukanlah untuk dibelanjakan
kepada hal-hal yang kurang berguna ataupun yang dapat ditunda. Bagi Mukmin sempurna,
alih-alih untuk berbelanja seperti baju bayi yang mahal-mahal, peralatan modern yang
sebenarnya dapat disubstitusi dengan peralatan tradisional, maka ia akan berpikir untuk
mengalokasikan kelebihannya itu kepada kaum miskin yang lebih membutuhkan, berinfak kepada
lembaga-lembaga dakwah Islam yang acapkali seringkali mengalami kesulitan keuangan ataupun
turut mendirikan klinik-klinik kesehatan yang sasarannya ditujukan untuk pemberdayaan kaum
mustadhafin. Walhasil, banyak hal yang dapat dijalankan apabila kita mampu
untuk "menyederhanakan" kebutuhan perut kita.
Adalah ironis, dalam kondisi yang
serba sulit sekarang ini karena hantaman krisis moneter yang seolah-olah tidak
pernah ada ujungnya - masih ada beberapa orang yang kaya yang mengalo-kasikan kelebihannya
itu untuk kesenang-an-kesenangan materi yang bahkan tak mungkin terbayangkan oleh kaum
miskin.
Hadis Nabi Saww yang mengatakan
bahwa "orang fakir itu lebih dekat dengan kekufuran", bermakna luas. Sebagian
sebab kekufuran orang fakir dimunculkan karena adanya kekurangan atau ketiadaan iman
mereka. Namun sebagian lagi, bisa jadi karena minimnya rasa kepedulian sosial yang ada
pada kaum hartawan. Sehingga lahan garapan yang potensial itu pun diembat oleh kalangan
non-Muslim. Akhirnya mereka, kaum hartawan, pun memiliki andil di dalam meng-kafir-kan
orang fakir.
Imam Ali kw jelas-jelas
memberikan isyarat tentang hal ini dalam ucapan-ucapanya yang terhimpun dalam Nahjul
Balaghah. Menurutnya, "Sesungguhnya Allah Swt telah menetapkan bagian untuk fakir
miskin dalam harta para hartawan. Tiada seorang pun di antara kaum miskin menderita
kelaparan melainkan hal itu pasti disebabkan kelebihan dan kemewahan dalam cara hidup kaum
hartawan. Dan kelak Allah niscaya akan menuntut pertanggung-jawabannya dari mereka."
Sehubungan dengan hal itu pula,
Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib dalam hampir keseluruhan hidupnya begitu
ketat dalam menerapkan disiplin kepekaan sosial ini. Makanannya berupa roti yang amat
keras yang hanya bisa dipatahkan dengan cara menekankan lututnya pada roti itu. Kepedulian
atas kesejahteraan sosial rakyat yang dipimpin-nya tecermin pada sebuah fragmen sejarah
berikut.
Suatu malam beliau berkeliling untuk
melihat-lihat keadaan rakyatnya. Tiba di suatu rumah beliau berhenti karena mendengar
suara ratapan wanita penghuni rumah yang ternyata kekurangan pangan. Dalam ratapannya,
wanita tersebut meratapi suaminya yang meninggal dalam peperangan bersama Imam Ali.
Akibatnya, nasibnya tidak karuan dan tidak mampu untuk membeli pangan. Mendengar hal itu,
esok malamnya Imam Ali datang lagi ke rumah tersebut sembari membawa makanan dan
memasakannya buat keluarga itu. Sembari memasak, Amirul Mukminin mendekatkan wajahnya ke
perapian. Kemudian beliau berkata sesuatu yang menunjukkan suatu penyesalan yang mendalam
atas "kekhilafannya" dalam memperhatikan kesejahteraan keluarga prajuritnya yang
syahid di medan pertempuran.
Pola hidup seperti itu di
zaman modern yang penuh dengan kelimpahruahan materi - diikuti pula Imam Khomeini, salah
seorang pengikut Imam Ali. Beliau hanya makan kentang dengan garam. Imam Khomeini
melakukan hal demikian sebagai sikap empatinya terhadap penderitaan kaum Muslimin di
pelosok dunia.
Amatlah kontras, perbedaan antara
Imam Khomeini dengan pemimpin sekarang. Hanya karena alasan perut, "dimakan"
pula tanah dan bangunan, hutan dan ladang, sawah dan rawa-rawa sehingga hak rakyat pun
dirampasnya. Mungkin periuk di rumah mereka begitu besar, sehingga harus pula diisi dengan
hutan, sawah, ladang, dan bangunan. Mungkin perut mereka terlalu besar hingga keadilan pun
harus dilanggar.
Tentang memikirkan perut sesama ini
ada cerita yang patut direnungkan. Saudara saya diberi hadiah sebuah apel. Alih-alih
memakannya, malahan ia menyimpannya. Saya tanya kenapa tidak memakannya. Dia jawab,
"Saya ingat kedua anak saya !" Saya trenyuh mendengar jawabannya. Sebuah
apel tak "mampu" ia makan karena ingat akan anak-anaknya. Mungkin cerita
tersebut terlalu sederhana, akan tetapi secara pribadi saya punya kesan mendalam terhadap
peristiwa tersebut. Kepekaan sosial memang perlu dilatih dan dibiasakan. Karena, rasanya
musykil orang punya kepekaan sosial terhadap sesama, sementara ingatan kepada anak sendiri
yang belum makan tidak ada.
Jadi, mesti diingat bahwa makan
bukan hanya mencari kenyang. Namun mencari kenikmatan. Maka ketika hendak makan, fungsikan
Bismillah agar sadar bahwa kita makan karena diperintah Allah. Bukan diperintah
karena lapar ataupun makanan lezat. Bagilah isi perut kita menjadi tiga kotak : untuk
makanan, air, dan udara.
Maka, Jadilah periuk ! [ ]
|