DR. Sony Yuliar |
Metoda SaintifikHukum Newton, teori relativitas Einstein dan teori kuantum merupakan teori saintifik. Maksudnya, mereka merupakan bangunan konsep atau ide tentang fenomena fisika yang disusun berdasarkan cara atau proses tertentu. Cara atau proses ini disebut metoda saintifik. Metoda saintifik inilah satu-satunya tumpuan para saintis dalam berupaya menghampiri dan mengenali realitas fisik, serta membangun teori tentangnya. Teori saintifik pada hakikatnya merupakan model bagi dunia nyata, dan ide-ide sains berkenaan dengan model tersebut, bukan dengan dunia nyata. Istilah penemuan (discovery), misalnya, merujuk pada hubungan matematika yang berhasil diungkap. Penemuan itu sendiri perlu didasarkan pada pengamatan terhadap fenomena alam, dan penalaran induktif. Berdasarkan data-data khusus, saintis berusaha membangun teori yang umum melalui proses penyimpulan induktif tersebut. Memang terdapat jurang pemisah antara sebuah model dengan realitas yang diwakili model ini. Saintis bahkan tidak pernah tahu, sebarapa tepat model itu menggambarkan realitas. Namun, sepanjang model itu cukup bersesuaian dengan hasil pengamatan eksperimental, kita bisa cukup yakin akan keabsahan model tersebut. Dari Popper sampai Feyerabend Di awal abad 20, Karl Popper (1902-1949) mengkritik metoda induktif yang digunakan sains. Ia sepakat dengan pendukung moetoda empiris David Hume (1711-1776) bahwa terdapat masalah serius dengan induksi. Seluruh bukti induktif adalah terbatas: kita tidak mengamati Alam Semesta di semua waktu dan di seluruh tempat. Karena itu kita tidak bisa memperoleh pengesahan dalam membuat kaidah umum dari pengamatan-pengamatan khusus. Popper memberikan contoh berikut. Bangsa Eropa selama ribuan tahun telah mengamati adanya angsa putih. Berdasarkan induksi, kita bisa membuat teori bahwa angsa berwarna putih. Namun, penjelajahan di Asutralasia memperkenalkan angsa hitam pada bangsa Eropa. Pernyataan Popper adalah: tak jadi soal berapa pun banyaknya pengamatan telah dilakukan untuk mendukung sebuah teori, selalu ada peluang bahwa pengamatan di masa depan akan mengingkari teori ini. Induksi tidak mampu menghasilkan kepastian. Popper mengusulkan metoda saintifik yang didasarkan pada falsifikasi atua penyangkalan. Betapa pun banyaknya kasus-kasus yang mendukung sebuah teori hanya diperlukan satu pengamatan untuk menyangkalnya. Hanya satu angsa hitam diperlukan untuk meruntuhkan teori bahwa seluruh angsa berwarna putih. Sains mengalami kemajuan hanya jika sebuah teori terbukti salah dan sebuah teori baru yang bisa menjelaskan dengan lebih baik tampil. Bagi Popper, saintis harus berusaha untuk menyangkal teorinya, alih-alih terus-menerus berusaha membuktikan kebenarannya. Memang Popper tetap berpendapat bahwa sains bisa membantu kita menghampiri kebenaran. Tetapi kita tidak akan pernah bisa bahwa kita telah memiliki penjelasan final. Thomas Kuhn (1922 - ) bersikap kritis terhadap gambaran mendangkal yang dilukiskan para pemikir sains. Kuhn menengok pada sejarah sains dan berargumen bahwa sains tidak maju hanya berdasarkan pengamatan-pengamatan. Seperti halnya Popper, ia setuju bahwa seluruh pengamatan itu diwarnai oleh pengatahuan sang pengamat. Dengan kata lain, Kuhn mengakui peran subyek dalam membangun teori saintifik, dan menolak ide tentang obyektifitas murni. Saintis memiliki sebuah pandangan dunia atau paradigma. Paradigma Alam Semesta mekanistik Newton berbeda dengan paradigma Alam Semesta relativistik Eistein. Masing-masing merupakan suatu penafsiran tentang dunia, bukannya penjelasan obyektif. Menurut Kuhn sejarah sains diwarnai oleh revolusi dalam paradigma saintifik. Saintis menerima paradigma yang dominan sampai suatu kejanggalan muncul. Saintis kemudian mulai mempertanyakan basis paradigma itu. Teori-teori baru bermunculan dan menantang paradigma dominan tersebut sampai akhirnya teori-teori baru ini diterima sebagai paradigma yang baru. Paul Feyerabend berpendapat bahwa tidak seharusnya kita mengasumsikan superioritas dari metoda saintifik modern. Ia berargumen bagi pendekatan yang anarki: kita tidak bisa memprediksi seperti apa pengetahuan di amsa denapan akan berbentuk, karena itu kita tidak perlu membatasi diri hanya pada satu metoda untuk meraih pengetahuan. Feyerabend setuju dengan Kuhn bahwa sejarahs ains menghimpun sejumlah pandangan dunia yang berbeda. dan bagi Feyerabend, ini berarti bahwa yang akan menjadi pengetahuan di masa depan bisa jadi paradigma-paradigma yang kita tidak tahu sama sekali saat ini. Karena kita tidak dapat mengetahuinya sekarang, kita tidak boleh melarang upaya-upaya intelektual masa depan dengan membatasi hanya pada satu paradigma sempit menggunakan model-model fisika. Dalam abad 20, teori relativitas Einstein membuang paradigma Newton yang telah dominan sejak zaman Pencerahan. Perubahan paradigma ini menyadarkan para pemikir sains bahwa prinsip-prinsip fundamental sains tidaklah merupakan kumpulan hukum-hukum alam yang statik. Melainkan, paradigma-paradigma itu merupakan penafsiran yang dibuat manusia yang dipengaruhi oleh komunitas yang melingkupinya. Penjelasan saintifik tidak lagi bisa dipandang obyektif dan nentral. Pada dinding-dinding batas sains, paradigma-paradigma baru muncul untuk menantang pandangan ortodoks yang ada. Bagaimana sains di abad 21 akan berkembang merupakan pertanyaan yang terbuka lebar. Perceraian sains dan filsafat Kita telah melihat dua permasalahan besar sains di penghujung abad 20 ini. Pertama, rapuhnya bangunan ide tentang materi itu sendiri. Dan kedua, keterbatasan atau, meminjam istilah kosmolog Indonesia Karlina Leksono, ketercakrawalaan metoda saintifik yang empirik dan induktif tersebut. ketercakrawalaan ini hendak didongkrak oleh para reformis metoda saintifik seperti Popper, Kuhn dan Feyerbend, walaupun tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti. Kedua permasalahan ini menunjukkan bahwa materialisme sains dan metoda saintifik tidak mampu mengukuhkan keabsahan dirinya sendiri. Khususnya, metoda saintifik tidak berhasil mengantarkan para saintis mencapai misi utama sains: pencerahan pikiran manusia mengenai Alam Semesta. Selanjutnya kita akan melihat permasalahan sains dari sudut pandang yang lain, yang tak kalah pentingnya. Sejarah pengetahuan manusia menunjukkan bahwa terdapat dua sumber utama bagi pengembangan pengetahuan manusia: (1) pengetahuan dan niscaya rasional dan (2) pengetahuan empirik melalui pengamatan inderawi. Pengetahuan niscaya rasional merupakan pengetahuan yang kebenarannya telah jelas dengan sendirinya, sehingga tidak memerlukan bukti apa pun. Misalnya, prinsip non-kontradiksi. Yaitu bahwa pembenaran sesuatu dan pembantahan sesuatu tersebut tidak mungkin terjadi sekaligus. Sebagai ilustrasi, kalau seorang penguasa berwatak korup dan tiran, tidak mungkin ia peduli terhadap keadilan sosial. Sebab, tiran dan adil adalah dua hal yang berlawanan. Prinsip rasional lain misalnya adalah prinsip sebab-akibat dan prinsip bahwa sebagian itu lebih kecil dari keseluruhan. Pengetahuan niscaya rasional inilah yang merupakan tumpuan dari bangunan filsafat. Sedangkan, pengetahuan empirik diperoleh melalui data pengamatan inderawi. Teori-teori dalam sains bertumpu pada pengetahuan jenis ini. Baik sains maupun filsafat keduanya merupakan 'alat-alat' manusia untuk melihat Alam Semesta, fenomena sosial dan dirinya sendiri. Perbedaan antara sains dan filsafat terletak pada sumber-sumber pokok pengetahuan yang dijadikan tumpuan mereka. Sains bertumpu pada hasil pengamatan eksperimental, sementara filsafat bersandar pada prinsip-prinsip niscaya rasional yang kebenarannya tidak bergantung pada pengamatan inderawi manusia. karena itu, keduanya bersifat saling melengkapi dan sesungguhnya tidak perlu dipertentangkan. Sains dan filsafat bahkan pernah menjalin hubungan yang serasi di era Yunani Kuno (abad 5 SM sampai sekitar abad 5 M) dan di era Islam (sekitar 750 M sampai 1100 M). namun hubungan ini mulai retak ketika di abad 17 M sains menafikan (atau menolak mentah-mentah) filsafat secara total. Penafian (penolakan mentah-mentah) terhadap filsafat diawali sekitar tiga abad yang lalu ketika para perintis empirisme seperti John Locke (1632-1704), Berkeley (168-1753) dan David Hume (1711-1776) memproklamasikan hak monopoli pengalaman inderawi dalam membangun pengetahuan manusia. penafian ini kemudian dipertajam belakangan oleh positivisme, yang ditokohi oleh Alfred Ayer (1910 - ). Ayer menegaskan bahwa sebuah pernyataan itu bisa bermakna, hanya jika ia dapat dibenarkan atau disalahkan melalui eksperimental inderawi. Empirisme ini membangun landasan epistemologis bagi paham materialisme. Di sisi lain, Fisika Newton memberikan landasan hukum empirik yang mekanistik bagi materialisme. Dengan empirisme dan fisika materialistik Newton maka tegaklah fondasi materialisme. Dan dengan kukuhnya materialisme ini, resmilah perceraian antara sains dan filsafat. Perceraian antara sains dan filsafat merupakan karakter utama dari peradaban Barat semenjak zaman Renaisans di abad 17. Sejak perceraian itu sains mengambil alih posisi filsafat dan berperan sebagai penguasa tunggal dalam pengembangan pengetahuan manusia, baik tentang fenomena fisika, sosial maupun tentang diri manusia itu sendiri. Hal inilah yang bisa berdampak bencana besar bagi pemikiran manusia itu sendiri. Sebab, dengan dikesampingkannya filsafat dan sumber pengetahuan rasional, perkembangan pengetahuan itu sendiri menjadi sangat terbatasi. Sains, yang salah satu misi utamanya adalah mencerahkan manusia dengan cahaya pengetahuan tentang Alam Semesta, menjadi berkurang atau bahkan kehilangan daya pencerahannya. Perceraian sains dan filsafat juga berdampak sekularisasi, yakni pemisahan antara sains dan agama. Sebab, bangunan agama, sebagai sumber pengetahuan dan ajaran yang universal, tidak bertumpu pada metoda saintifik. Karena itu sains dan agama tidak mungkin bertemu, selama perceraian antara sains dengan filsafat masih terjadi. Selain itu semua, ketika sains memegang hak monopoli dalam pengetahuan, ia menjadi bersifat tertutup, tidak transparan dan otoriter. Dalam situasi demikian, kekeliruan atau penyimpangan yang dilakukan oleh sains tersebut tidak bisa terkoreksi. Memasuki abad 21 dengan dialog Barat-Timur Di zaman Yunani Kuno, para pemikira ketika itu menyakini betul kekuatan pencerah dari sains. Mereka memberi penghargaan yang tinggi terhadap sains karena kemampuannya dalam menjelaskan tentang realitas. Sains, yang di masa itu diberi nama filsafat alam, merupakan sumber penting bagi pengetahuan dan kebijaksanaan manusia. filsafat alam dan filsafat tidak hidup terpisah. Ketika itu, para ekonomi dari sains tidak terlalu mendapat perhatian. Di zaman Islam, sejarah menunjukkan adanya penghargaan yang tinggi terhadap sains sebagai bagian dari pengetahuan relijius mereka. Sains, sebagaimana juga seni dan ilmu-ilmu sosial, memperoleh posisi yang tinggi dalam kehidupan masyarakat ketika itu. Sains dipelajari secara terpadu dan harmonis dengan filsafat dan agama. Bahkan agama itulah yang menjadi sumber inspirasi upaya-upaya saintifik ketika itu. Melihat itu semua, jelas bahwa sains itu memiliki nilai yang luhur dan senantiasa memiliki peran yang penting di berbagai peradaban manusia. Maka kurang tepatlah kalau kita mengesampingkan atau meninggalkan sains dengan segala buahnya. Juga keliru kalau kita merendahkan sains sehingga hanya bernilai ekonomi. Kita perlu optimis untuk bisa mengembalikan sains pada tempatnya yang tinggi dan luhur: sebagai pencerah manusia akan realitas Alam Semesta. Namun, berdasarkan kelemahan-kelemahan sains yang telah diungkapkan oleh para saintis berkompeten itu sendiri, terdapat beberapa hal yang penting untuk diperhatikan. 1. Pertama, kita perlu memberikan tempat yang seluas-luasnya pada sumber-sumber pengetahuan lain seperti filsafat rasional dan agama. Sejarah menunjukkan bahwa filsafat dan agama memainkan peran yang sentral dalam membangun pengetahuan manusia tentang realitas alam dan dirinya sendiri. Feyerabend telah mengisyaratkan perlunya keterbukaan demikian. Isyarat ini tampaknya perlu ditanggapi secara serius dan lebih meluas di berbagai kalangan intelektual. 2. Tuduhan bahwa agama itu hanya berisi kumpulan doktrin irasional dan mitos, dan bahwa filsafat itu tidak memiliki bangunan pemikiran yang bertumpu pada realitas perlu ditinjau kembali. Selama ini, sering kali para pendukung sains empirik mengesampingkan peran filsafat dan agama berdasarkan tuduhan-tuduhan terburu-buru seperti itu. Namun, mereka kurang memperhatikan pernyataan-pernyataan dari para tokoh yang kompeten di filsafat dan agama. sikap pra duga demikian perlu ditinjau kembali, agar rasa saling mempercayai bisa tumbuh. 3. Di masa depan, yang penting bukannya siapa yang paling sah atau paling layak untuk berperan. Melainkan, kita perlu mengakui dan memberi peran pada masing-masing sumber pengetahuan ini pada tempatnya, sesuai dengan kelebihan, keabsahan dan kompetensinya. Sikap mutually exclusive dan keinginan memonopoli dunia pengetahuan perlu dibuang jauh-jauh. Sebagai gantinya, sikap saling mempercayai, menghargai dan menghormati perlu ditumbuh-kembangkan. Berdasarkan sikap ini kemudia dilaksanakan dialog-dialog antara sumber-sumber pengetahuan yang ada. Sains yang empirik dan induktif berada di Barat, sementara filsafat rasional yang deduktif, dan agama, hidup di Timur. Dengan dialog seperti inilah kita bisa memasuki lembaran sejarah masa depan dengan penuh optimisme, semangat dan harapan.[] |