Dalam buku
The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Iqbal mengutip sebuah hadis Nabi
saw. yang berbunyi : Takhallaqu bi akhlaqillah yang artinya "berakhlaklah
dengan akhlak Allah". Pada dasarnya manusia memiliki ego yang hidup, berkembang
dan mempunyai kekuatan sendiri. Dalam pandangan Iqbal, ego merupakan suatu kekuatan yang
akan mengantarkan manusia ke tingkat hidup yang lebih tinggi dan mulia, hingga ia mencapai
tahap insan. Ego dalam diri insan inilah yang menghantarkan manusia menjadi pribadi.
Dengan memperkuat pribadi (ego), manusia dapat mendekati Ego Mahabesar, Tuhan dengan
segala kesempurnaan-Nya. Dengan kekuatan ego ini, manusia akan mengejawantahkan
(sifat-sifat) Tuhan dalam dirinya.
- Tatkala dibenturkan dengan kenyataan sosialnya--
dalam sebuah realitas sosial yang absurd yakni saat modus interaksi sosial di tingkat
kultur dan struktur, sumber -sumber otentik Islam (Al-Quran dan Sunnah) tidak dijadikan
bingkai rujukan- manusia Muslim seringkali berada pada noktah krisis eksistensial.
Terlebih lagi ketika idealita yang menjadi obsesi dan dambaan hidup begitu paradoks dengan
kenyataan yang ada. Di sini, penjara kenyataan masyarakat telah menjauhkan manusia dari
misi sucinya, yakni tatkala ia tidak mampu membuktikan sosoknya sebagai aktor sejarah.
Alih-alih menjadi aktor sejarah, ia terpola dengan persepsi dan formalitas masyarakat
-yang karena dibentuk dengan sistem nilai yang lain- dengan sifatnya yang nisbi.
- Bagi seorang Mukmin sejati persoalan-persoalan
tersebut takkan menjadi keniscayaan jika hubungan-hubungan simbiotik-organik -baik di
antara sesama Mukmin sebagai aktor sejarah maupun rumusan-rumusan gagasan interpretatifnya
atas kenyataan sosial- begitu terjalin secara tegas dan erat. Bentuk-bentuk hubungan ini
akan terjadi melalui silaturahim. Secara harfiah, silaturahim tidak hanya bermakna
menyambungkan tali kasih sayang. Akan tetapi, lebih jauh mempunyai potensi untuk mengubah
bangunan-bangunan sosial yang ada bila dilakukan secara intensif, memiliki kekuatan
informatif, dan teratur.
- Menempatkan silaturahim secara signifikan dalam
aktivitas kesejarahan komunitas Syiah -secara khusus, dengan meminjam ujaran Ali
Syariati (1993) ihwal tanggung jawab sejarah- berarti mendudukkan silaturahim secara
fungsional yakni: (1) sebagai proses integrasi pada kekuatan sejarah; (2) sebagai proses
transformasi dan pelembagaan sistem nilai; (3) sebagai proses aktualisasi sunnah yang
hidup.
-
- Berikut penjelasan secara sederhana ihwal fungsi
-fungsi silaturahim :
- 1. Sebagai proses integrasi pada kekuatan sejarah
- Kepentingan pertama silaturahim adalah menjadikannya
sebagai proses integrasi pada kekuatan sejarah. Ada hubungan dialektis pada silaturahim
dalam budaya khas dengan bingkai masyarakat Muslim. Pertama, silaturahim terwujud karena
kesadaran mendalam akan eksistensi diri, yaitu kesadaran yang dibangun atas dasar
pembuktian akan kebenaran secara rasional Islam vis a vis sistem keyakinan ideologi
lain -baik secara normatif maupun historis- dalam bentuk manifestasinya ke tingkat praksis
kehidupan. Kedua, silaturahim akan membangun kesadaran setiap individu akan beban sejarah
-dalam ujaran Syariati, ini disebut tanggung jawab sosial Syiah- yang
karenanya maka hidupnya akan menyejarah dan bukan menyerah pada sejarah.
- Proses integrasi ini tercapai karena terjadinya
diskursus intelektual dan spiritual yang harmonis, sehingga mampu mengatasi kebekuan dan
berbagai krisis eksistensial yang mungkin terjadi, dan akan menjadikan kenyataan sosial
sebagai tantangan, peluang, dan harapan untuk meraih buah spiritual. Silaturahim, dengan
demikian, berfungsi sebagai "ice-breaker" (pemecah kebekuan) atas
kenyataan sosial.
- Ringkasnya, elan vital (semangat dasar)
silaturahim sebagai proses integrasi ini akan menjadikan bangunan masyarakat Muslim
sebagai sebuah keniscayaan.
-
- 2. Sebagai proses transformasi dan pelembagaan
sistem nilai.
- Silaturahim sebagai proses transformasi dan
pelembagaan sistem nilai akan mengukuhkan sistem nilai itu sendiri sehingga tidak pernah
memberi ruang terjadinya akumulasi secara teoretis, namun secara tepat akan mengatasi
seluruh bentuk ikatan primordial. Dengan silaturahim, sistem nilai yang dibangun para
pecinta Ahlulbayt Nabi as. seperti tawhid, keadilan Ilahi, kenabian, imamah, dan qiyamah
menjadi terpelihara. Secara pasti, silaturahim akan menyatukan komunitas Syiah pada
visi dan orientasi yang jelas. Hal ini dimungkinkan mengingat platform Imamah dalam paham
Syiah memiliki ketegasan dan kejelasan dibandingkan dengan konsep-konsep
kepemimpinan mazhab manapun.
- Bagi komunitas Syiah, silaturahim dalam makna
fungsional ini menuntut sikap kritis agar pemihakan (berwilayah) kepada Ahlulbayt Nabi as.
dapat dibuktikan secara rasional. Menempatkan silaturahim sebagai proses transformasi dan
pelembagaan sistem nilai bermakna adanya tuntutan untuk membuka ruang dialog kritis dan
pertanyaan yang serius: sejauh mana sistem nilai Syiah mampu diterapkan dalam dunia
kehidupan (lebenswelt) masyarakat secara optimal. Apresiasi terhadap pertanyaan ini
selayaknya dikembalikan kepada pribadi masing-masing. Dengan pertanyaan instrospektif ini,
diharapkan seorang Syiah tidak terpaku pada masa lalu, tanpa mengemban suatu
tanggung jawab sosial di masa depan. Dengan demikian, ia akan melepaskan klaim kebenaran (truth
claim) secara historis an sich dan bergerak menuju suatu intizhar (penantian Imam
Zaman) yang positif. Ia tidak hanya hapal sejarah berdarah para Imam Ahlulbaytas. namun ia
akan menciptakan sejarah --dengan kepemimpinan Al-Mahdi as.-- guna menegakkan keadilan dan
kebenaran.
-
- 3. Sebagai proses aktualisasi sunnah yang hidup
- Islam sebagai sistem gagasan yang serba mencakup
menuntut pembumian atau realisasi. Jika kedua dimensi fungsional silaturahim tersebut
bermuara pada fungsi baik pada kekuatan sejarah maupun sistem nilai, maka silaturahim
sebagai proses aktualisasi ini menjadi jabaran nyata dalam realitas sosio-kultural
masyarakat kita. Seluruh tema Al-Quran Suci yang menjadi ciri khas dalam kehidupan
masyarakat Muslim -seperti fastabiqul khairat, taawun, tawshiyah dsb- menjadi
aktual. Silaturahim, dengan demikian, akan mengajak kita untuk mewarisi tradisi Para Nabi
dan Para Imam as. Inilah sunnah yang hidup yakni tradisi yang mengharuskan terjadinya
perubahan (transformasi) baik secara individual maupun sosial.
- Ketiga dimensi fungsional inilah yang penulis
pandang akan menjadikan silaturahim memenuhi makna hadis yang dikutip di muka yakni proses
menciptakan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia.
- Selanjutnya, makna silaturahim ini akan
terefleksikan secara khas dan sakral baik secara individual maupun sosial yang akan
penulis coba elaborasi dalam dua sub tema berikut .
-
- Silaturahim dan Transendensi
- Ketiga dimensi fungsional silaturahim tersebut
penulis anggap sebagai premis-premis utama dalam membicarakan titik artikulasi yang tegas
antara silaturahim dan transendensi. Seperti yang telahdisebutkan, ketiga dimensi tadi
berarak menuju pada satu muara yaitu menghadirkan Tuhan dalam diri manusia. Pertama-tama
ini harus dipahami lebih bercorak individual yaitu bagaimana silaturahim ini menjadi
manifestasi agung sebagai bukti penyerahan total kepada Tuhan Yang Penyayang (Al-Rahim).
Di sini jelas, silaturahim bersifat habluminallah (transenden) dan sakral dan bukan
aktivitas interaksi fisis dan mekanis. Keadaan seperti ini amat bergantung kepada
pengalaman spiritualitas dan pencerahan ruhani seseorang yang tentu perlu latihan terus
menerus.
- Dalam hadis qudsi, misalnya, disebutkan bahwa Allah
menisbatkan diri-Nya sebagai orang yang sakit, orang yang lapar, yang menegur manusia yang
tidak menengok-Nya. Menengok orang yang sakit, memberi makan orang yang lapar seolah -olah
merupakan perjumpaan antara seorang manusia dengan Tuhan. Seluruh gerak psiko-motorik
manusia pada hakikatnya merupakan manifestasi dari kecenderungan batin manusia, demikian
Iqbal ketika menjelaskan relasi antara gerak manusia dengan ego-nya. Berarti di sini,
dengan meminjam ungkapan Iqbal tadi, terdapat relasionitas antara pemikiran (pengetahuan)
dengan perspektif dirinya (eksistensinya). Teori ini penulis pandang mampu menjabarkan
fenomena-fenomena sosial yang nampak dalam masyarakat kita seperti keterasingan
(alienasi), krisis eksistensial, rasa pesimis antara cita dan harapan yang kesemuanya
jelas diakibatkan pemikiran yang dihasilkan dari pergulatan dengan realitas sosialnya.
Intensitas pergulatan dengan pemikiran dalam konteks pemihakan yang jelas (berwilayah)
kepada Ahlul bayt Nabi as. akan mengeliminasi berbagai problem-problem tersebut. Secara
normatif, hal ini telah diisyaratkan oleh Nabi Islam Saw. yang menyatakan bahwasanya
berpegang kepada Ahlulbaytnya akan menyelamatkan manusia dari bencana dan kebinasaan.
Sejauh mana pemihakan (berwilayah) kepada Ahlulbayt Nabi Saw. mampu memecahkan persoalan
amat tergantung kepada kemampuan untuk membisosiasikan (:menafsirkan dan mengaitkan antara
teks/fakta yang satu dengan teks/fakta yang lain) realitas dengan pijakan normatif dari
mereka - alaihimussalam.
- Silaturahim akan meyelaraskan pemikiran setiap
individu, karena wacana spiritual dan intelektual yang terjadi akan memberikan kerangka
yang jelas bagi setiap interpretasi kehidupan. Dengan silaturahim, landasan gerak individu
mempunyai tarikan yang jelas dengan konsep kepemimpinan (Imamah) yang hakiki, karena
pemihakan yang dilakukannya. Silaturahim dalam spektrum yang lebih luas, baik dari makna
silaturahim gagasan maupun silaturahim emosional akan mengantarkan individu pada
pengenalan yang lebih dalam tentang Tuhan. Silaturahim yang ditempatkan pada kenyataan
hidup ini pada gilirannya akan mengajak setiap individu untuk mengabdi dan melayani secara
total seluruh kehidupannya kepada Yang Mutlak.
-
- Silaturahim dan Ummah
- Al-Quran meletakkan amanah kepada kaum Muslimin dua
hal : transedensi dan ummah. Dengan mengutip Roger Garaudy, Ummah merupakan suatu
masyarakat yang didasarkan pada sistem nilai (kepercayaan), dan bukannya dalam arti yang
terdapat dalam komunitas keagamaan. Ummah adalah masyarakat yang tidak saja bersifat
religius, namun di dalam masyarakat itu keimanan memasuki segala tindakan --dan karenanya
sistem tindakan mengandung dimensi esoterik. Kehidupan menjadi bukan kehidupan pribadi
semata tetapi par excellence kehidupan sosial dan kehidupan politik.
- Senada dengan Garaudy, adalah penting untuk kita
mengutip pendapat dari Muthahhari ihwal ciri-ciri Ummah. Dalam bukunya yang berjudul Masyarakat
dan Sejarah (1992:21-24), Muthahhari menyebutkan bahwasanya Ummah (society) merupakan
:
- Suatu senyawa sejati, sebagaimana senyawa-senyawa
alamiah. Tetapi, yang disintesis di sini adalah jiwa, pikiran, kehendak, serta hasrat,
sintesisnya bersifat kebudayaan, bukan kefisikan. Unsur-unsur bendawi, yang dalam proses
aksi dan reaksi, saling susut dan lebur, menyebabkan munculnya suatu wujud baru, dan
berkat reorganisasi ini, mewujudlah suatu senyawa baru, dan unsur-unsur itu terus maujud
dengan identitas baru.... yang diistilahkan sebagai "jiwa kemasyarakatan".
- Pendeknya, dalam Ummah terdapat : gagasan sejarah
bersama, tujuan bersama, catatan-bersama perbuatan, kesadaran, pengertian, perasaan, dan
perilaku bersama. Silaturahim, sekali lagi, akan mampu melahirkan konsep Ummah yang ideal
sesuai dengan pandangan Al-Quran.
- Dari sana, akan terlahir suatu gagasan sejarah
bersama, cita-cita bersama, damn sampai pada akhirnya timbul perilaku bersama. Tentu ini
tidak berarti mengingkari adanya perbedaan yang bersifat inheren pada setiap manusia.
-
- Khulasah
- Dari paragraf-paragraf tersebut dapat kita tarik
kesimpulan bahwasanya silaturahim tidak semata-mata bersifat kontak fisik. Akan tetapi, ia
memiliki makna spiritual dan historis yang tinggi. Dalam silaturahim terdapat tiga dimensi
fungsional yang akan bermuara pada dua noktah yakni transendensi dan ummah.
- Ketiga dimensi fungsional tersebut adalah sebagai:
(1) proses kekuatan sejarah; (2) proses tranformasi dan pelembagaan sistem nilai dan; (3)
proses aktualisasi sunnah ang hidup.
- Semoga dengan ibadah puasa Bulan Ramadhan silam
serta Hari Raya Iedul Fitri yang baru saja kita laksanakan mampu menyegarkan kembali makna
silaturahim dan menghidupkan silaturahim terus menerus dengan seluruh makna yang terkait.
Wallahu 'alam |