Taubat Nasional
Ust. Husein Al-Kaff

Satu tahun yang lalu sebelum lengsernya Soeharto, ketua Partai Amanat Nasional, Amien Rais, yang waktu itu masih menjabat sebagai ketua umum Muhammadiyah, melemparkan gagasan " taubat nasional ". Gagasan ini dilemparkan menyusul terjadinya peristiwa-peristiwa yang dialami negeri ini, seperti kebakaran hutan, kebanjiran, gunung meletus atau kepongahan-kepongahan sejumlah pejabat teras atas dan beberapa konglomerat yang rakus. Gagasan taubat nasional, waktu itu, masih dianggap mengada-ada (bid'ah), sehingga muncul komentar yang pro dan kontra dari berbagai kalangan. Maka pada akhirnya gagasan itu mengalami nasib yang tidak menentu dan hilang begitu saja tanpa ada yang menyambutnya secara luas apagai mem-follow up-nya. Kemudian krisis moneter yang berkepanjangan itu memberikan dampak yang cukup pahit kepada presiden Soeharto, yang secara paksa harus lengser dari kedudukannya sebagai orang nomor wahid di negeri ini. Sampai saat ini peristiwa yang mengenaskan dan mencekam silih berganti dan menghiasi permukaan bumi persada Indonesia.

Dan lalu akhir-akhir ini gagasan yang sempat terkubur itu digali kembali oleh Budayawan Emha Ainun Najib (atau yang biasa dipanggil Cak Nun). Beliau mengajak seluruh elemen bangsa termasuk mantan presiden Soeharto untuk bertaubat dengan menggelar ikrar husnul khatimah. Ajakan Emha ini mendapat sambutan yang luas termasuk Soeharto sendiri, meski realisasinya kandas karena alasan teknis.

Terlepas dari ajakan taubat nasional dari Pak Amien atau ikrar husnul khatimah dari Cak Nun dan terlepas apakah kedua ajakan itu bermuatan politik atau tidak, bertaubat bagi seorang muslim merupakan ajaran yang sangat ditekankan dalam Islam. Karena kata "taubat " itu sendiri berarti " kembali ". Dalam pandangan Islam, manusia berasal dari Allah sebagai Sumber Wujud Yang Maha Awwal (terdahulu) dan manusia dalam perjalanannya pasti berakhir kepada-Nya. Pandangan ini diekspresikan dalam ungkapan yang biasa kita ucapkan, "inna lillahi wa inna ilaihi raaji'un" (Sesungguhnya kami milik Allah (berasal dari Allah) dan sesungguhnya kami akan kembali kepadaNya ).

Ungkapan tadi secara ringkas dan tepat menjelaskan hakikat manusia bahwa dia hanya milik Allah, artinya bahwa wujud (eksistensi) manusia , apalagi fisik dan harta yang hanya sebagai aksesoris kehidupan yang aksidental, tergantung kepada wujud-Nya. Tanpa -Nya atau tanpa kehendak-Nya, maka manusia tidak akan pernah wujud. Setelah manusia mewujud dalam alam fisik dan karena watak alam materi yang jauh dari Allah seringkali manusia menjauh dari-Nya, maka manusia harus berusaha meminimalisasi pengaruh watak alam materi yang gelap, kotor dan jauh, untuk mendekatkan diri dari sumber Sumber Wujudnya yang suci. Berpijak dari asumsi ini, taubat merupakan upaya untuk kembali kepada Allah dan untuk memimalisasi pengaruh materi dari alam wujud dan kehidupan manusia.

Secara keseluruhan praktek-praktek ritual Islam adalah sebuah proses kembali kepada Allah. Yang paling menonjol adalah shalat sebagai simbol berhadapan (tawajjuh) dan komunikasi seorang hamba dengan Sang Pencipta. Dalam sebuah hadis disebutkan, "shalat adalah mi'raj setiap orang yang beriman". Seorang muslim melakukan shalat setiap hari, minimum, lima kali, berarti setiap hari ia bertaubat kepada Allah swt. Seorang yang tidak pernah bertaubat, hatinya akan kotor dan makin merasa berat untuk bertubat. Tetapi orang yang sering bertaubat, maka hatinya akan bersih. Rasulullah saww. menganalogikan shalat lima kali setiap hari dengan seorang yang mandi setiap hari lima kali, Apakah masih terisisa kotoran yang menempel di tubuhnya?. Tentu tidak. Demikian pula, seorang yang melakukan shalat lima kali setiap hari -dengan khsyu' tentunya- maka hatinya pasti bersih. Selain shalat lima kali dalam sehari, Islam juga mewajibkan shalat Jum'at sekali dalam seminggu. Shalat Jum'at adalah istilah lain dari taubat kolektif untuk skup dusun, kampung dan kota.

Jadi sebenarnya tanpa ada ajakan taubat pun, sebenarnya umat Islam, jika istiqamah dengan agama, setiap hari mereka melakukan taubat. Memang ada anjuran secara spesifik untuk melakukan taubat atau istighfar (permohonan ampun dari segala kesalahan). Meskipun maksum, Nabi Muhammad saww. melakukan istighfar kepada Allah tujuh puluh kali (menurut versi lain, seratus kali) setiap hari. Mengapa beliau beristighfar?

Justru karena beliau maksum dan sebagai hamba Allah yang paling bertaqwa, merasa dirinya kurang baik dan tidak sempurna. Maka beliau selalu beristighfar dan bertaubat agar selalu dan bertambah dekat kepada Allah swt. Dalam ilmu akhlak (atau tashawwuf) dijelaskan bahwa makin tinggi kedudukan seorang hamba di sisi Allah, maka makin merasa mempunyai banyak dosa dan kesalahan. Sebaliknya, makin jauh seorang hamba dari Allah, maka merasa selalu benar terus dan tidak pernah merasa bersalah. Dan itu sama dengan menganggap dirinya Tuhan yang tidak pernah berbuat kesalahan. Puncak kedudukan hamba Allah adalah Rasulullah saww. yang selalu meminta ampun kepada Allah, dan kedudukan yang paling rendah adalah Fir'aun yang tidak pernah merasa bersalah. Oleh karena itu, Fir'aun mempertuhankan dirinya, karena tidak pernah merasa bersalah. Dan fir'aunisme akan selalu ada setiap zaman, yakni orang-orang yang enggan mengaku bersalah dan merasa dirinya salalu benar.

Dalam kitab-kitan akhlak disebutkan tentang syarat-syarat taubat yang benar. Taubat tidak hanya diucapkan dengan lisan saja, tetapi harus diawali dengan penyesalan atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan dan niat yang sungguh-sungguh untuk tidak Mengulanginya kembali. Kemudian jika kesalahan itu berkaitan dengan hak-hak orang, maka harus dikembalikan kepada para pemiliknya.

Bertaubat kepada Allah bisa dilakukan sendiri-sendiri dan berjama'ah. Dua cara ini mempunyai kelebihan tersendiri, misalnya bertaubat sendirian lebih memungkinkan untuk ikhlas, tidak riya'. Sedangkan kelebihan taubat berjama'ah adalah adanya perasaan malu jika mengulangi kesalahan, karena adanya pengawasan dari orang yang menyaksikan taubat.

Peristiwa-peristiwa yang menimpa bangsa kita ini lebih pantas dikatakan sebagai siksaan atau azab dari Allah ta'ala, karena kesalahan yang dilakukan bangsa ini baik perorangan maupun pemerintahan. Penyalahgunaan kekuasaan terjadi di semua sektor pemerintahan, suap-menyuap, kerusakan moral para pemuda merebak ke semua pelosok dan lain sebagainya. Semua ini terjadi di depan mata para ulama dan para cendekiawan muslim, dan mereka tidak mampu berbuat apapun untuk mencegahnya (nahi munkar). Maka dari itu, kalau bangsa Indonesia tidak mau berubah (taubat) dari kemunkaran-kemunkaran yang sudah dianggap biasa (ma'ruf), maka tidak mustahil Allah akan menghapus negeri ini dan menutup lembaran sejarah bangsa Indonesia, seperti yang dialami oleh umat-umat sebelum kita.[]