Sebelum menyebutkan
ayat-ayat yang berkenaan dengan ketuhanan, kami terlebih dahulu ingin menjelaskan bahwa
Al-Qur,an tidak pernah melarang umat manusia menggunakan akalnya. Bahkan, menganjurkan
mereka menggunakan akalnya.
Allah Ta'ala berfirman, "Sungguh, Kami turunkan al-Qur,an dengan (berbahasa) Arab,
agar kalian berpikir."(QS.Yusuf.2). Banyak ayat-ayat senada lainnya yang diakhiri
dengan kalimat afala ta'qilun, afala tatafakkarun, afala ta'lamun, atau Iafala
yafqahun."
Selain itu, al-Qur,an menganggap orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai binatang,
dengan ungkapan, "Mereka memiliki akal, tetapi mereka tidak memahami (berpikir).
Mereka mempunyai mata, tapi mereka tidak melihat, mereka mempunyai telinga, tetapi mereka
tidak mendengar. Mereka bagaikan binatang. Mereka adalah orang-orang yang lengah."
(QS.al A,raf: 179).
Al-Quran sendiri menguji kebenaran dirinya kepada akal, "Tidakkah mereka
merenungkan al-Quran. Sekiranya ia bukan dari Allah, pasti mereka mendapatkan
perselisihan yang banyak didalamnya."(QS.an-Nisa: 82)
Ayat di atas ditujukan kepada orang-orang yang meyakini wujud Allah, namun mereka masih
ragu apakah al-Quran itu kalamullah atau bukan. Karena itulah Allah
berfirman, "Sekiranya al-Quran itu bukan dari Allah, maka pasti mereka
menemukan perselisihan yang banyak di dalamnya."
Akan tetapi, karena tidak ditemukan perselisihan di dalamnya, berarti al-Qur,an itu
benar-benar dari Allah. Argumentasi yang dipakai al-Quran semacam ini, dalam istilah
para ahli mantiq (logika), dinamakan Qiyas Istitsnai.
Jadi, akal dijadikan sebagai alat yang digunakan untuk mengetahui kebenaran dan
kesalahan sebatas ruang lingkup diri sendirinya.
Dengan demikian, benarkah al-Qur,an melarang penggunaan akal? Bagaimana pulakah
al-Quran berbicara tentang ketuhanan?
Perlu diketahui, bahwa al-Quran dijadikan sebagai dalil atas wujud Allah setelah
terbuktikan keberadaan-Nya melalui akal. Oleh karena itu, kalangan Syiah Imamiah
menjadikan al-Quran sebagai penguat dan pendukung dalil-dalil aqli (lihat
Buletin RISALATUNA, edisi nomor 3).
Terdapat beberapa metode pendekatan yang dipakai al-Qur'an dalam membahas tentang wujud
Allah Taala, antara lain, sebagai berikut :
Fitrah
Pada beberapa ayat al-Quran, masalah tauhid atau ketuhanan dianggap sebagai masalah
fitrah, sehingga tidak perlu lagi dicari dalilnya, karena ia merupakan bagian dari fitrah
(ciptaan) manusia. Betapa seringnya al-Quran berusaha membangkitkan fitrah ketuhanan
ini dari kedalaman hati orang-orang yang mengingkari wujud Allah Taala.
Simaklah ayat-ayat berikut, yang berbicara mengenai ketuhanan :
1. Surat Rum ayat 30:
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama sebagi fitrah Allah, yang
telah menciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan pada ciptaan (fitrah) Allah."
Pada ayat ini jelas sekali, bahwa Din merupakan fitrah manusia dan bagian dari
fitrah manusia yang tidak akan pernah berubah.
Syekh Muhammad Taqi Mishbah, seorang mujtahid dan filosuf kontemporer, ketika mengomentari
ayat di atas menyatakan, bahwa ada duia penafsiran yang dapat diambil dari ayat ini, (1)
Pertama, maksud ayat ini ialah, bahwa prinsip-prinsip agama, seperti tauhid dan hari
akhir, dan hukum-hukum agama secara global, seperti membantu orang-orang miskin,
menegakkan keadilan dan lainnya, sejalan sengan kecenderungan manusia. (2)Kedua,
tunduk kepada Allah Taala mempunyai akar dalam diri manusia. Lantaran manusia
secara fitrah, cenderung untuk bergantung dan mencintai Kesempurnaan yang mutlak
Kedua penafsiran di atas bisa diselaraskan. Penafsiran pertama mengatakan, bahwa mengenal
agama adalah fitrah, sedangkan penafsiran kedua menyatakan bahwa yang fitri adalah
ketergantungan, cinta dan menyembah kepada Yang Sempurna. Namun menyembah kepada Yang
Sempurna tidak mungkin dilakukan tanpa mengenal-Nya terlebih dahulu. Dengan demikian,
penafsiran kedua kembali kepada yang pertama. (Maarif al-Quran, juz 1
halaman 31-32).
Allamah Thabathabai memberikan penjelasan mengapa Din itu merupakan fitrah.
Dalam kitab Tafsir al-Mizan, beliau berkata,"(Lantaran) Din tidak lain
kecuali tradisi kehidupan dan jalan yang harus dilalui manusia, sehingga dia bahagia dalam
hidupnya. Tidak ada tujuan yang ingin dicapai manusia, melainkan kebahagiaaan."
Selanjutnya, beliau menjelaskan bahwa setiap fitrah mendapat bimbingan untuk sampai kepada
tujuannya masing-masing. Sebagaimana terungkap dalam firman Allah berikut, "Tuhan
kami yang menciptakan segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk."(QS. Thaha:
50).
Manusia, seperti juga makhluk lainnya, mempunyai tujuan dan mendapat bimbingan agar sampai
kepada tujuannya. Bimbingan tersebut berupa fitrah yang akan mengantarkan dirinya kepada
tujuan hidupnya." (Tafsir al-Mizan, juz 21 halaman 178-179).
2. Surat al-Araf ayat 172: "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu
mengeluarkan dari sulbi anak-anak Adam keturunan mereka dan mengambil kesaksian dari
mereka atas diri mereka sendiri, Bukankah Aku ini Tuhan kalian? Seraya mereka
menjawab, Benar (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi. (Hal ini Kami
lakukan), agar dihari kiamat kalian tidak mengatakan, Sesungguhnya kami lengah atas
ini (wujud Allah).
Dalam ayat tersebut dikatakan, bahwa setiap manusia sebelum lahir ke muka bumi ini
pernah dimintai kesaksiannya atas wujud Allah Taala dan mereka menyaksikan
atau mengenal-Nya dengan baik. Kemudian, hal itu mereka bawa terus hingga lahir ke dunia.
Oleh karena itu, manusia betapapun besarnya dia, kuat dan kaya, namun dia tetap tidak
dapat mengingkari bahwa dirinya tidak memiliki wujud dirinya sendiri dan tidak dapat
berdiri sendiri dalam mengurus segala urusannya. Sekiranya dia memiliki dirinya sendiri,
niscaya dia dapat mengatasi berbagai kesulitan dan kematian. Dan sekiranya dia pun berdiri
sendiri dalam mengurus segala urusannya, maka dia tidak akan membutuhkan
fasilitas-fasilitas alam.
Ketidakberdayaan manusia dan ketergantungannya kepada yang lain, merupakan bagian dari
fitrah (ciptaan) manusia. Jadi, selamanya manusia membutuhkan dan bergantung kepada yang
lain. Dan dia tidak akan mendapatkan tempat bergantung yang sempurna, kecuali Allah Taala
semata. Itulah yang dinamakan fitrah bertuhan (fitrah Ilahiyah). (Lihat kitab Tafisr
al-Mizan, juz 9 halaman 306-323).
Selanjutnya ayat tersebut menyatakan, bahwa dengan dibekalinya manusia (dengan) fitrah,
maka ia tidak mempunyai alasan untuk mengingkari dan lengah atas wujud Allah Taala.
Syekh Taqi Misbah berpendapat, bahwa pengetahuan dan pengakuan manusia akan Allah, dalam
ayat tersebut, adalah pengetahuan yang sifatnya huduri-syuhudi (ilmu huduri) dan
bukan hushuli (Lihat kitab Maarif al-Quran, juz 1 halaman 33).
3. Surat Yasin, ayat 60-61:
"Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian, wahai anak-anak Adam, agar kalian
tidak menyembah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang nyata. Dan
sembahlah Aku. Itulah jalan yang lurus."
Sebagian ulama, seperti Ayatullah Syahid Muthahhari berpendapat, bahwa perintah ini
terjadi di alam sebelum alam dunia, dan dijadikan sebagai bukti, bahwa mengenal Allah
adalah sebuah fitrah (Kitab Fitrat, halaman 245).
4. Surat al-Ankabut ayat 65:
"Dikala mereka menaiki kapal, mereka berdoa (memanggil) Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya. Namun, ketika Allah menyelamatkan mereka ke daratan, mereka kembali
berbuat syirik."
Ayat ini menjelaskan, bagaimana fitrah itu mengalami pasang surut dalam diri manusia.
Biasanya, fitrah itu muncul saat manusia merasa dirinya tidak berdaya dalam menghadapi
kesulitan.
Dalam kitab tafsir Namuneh disebutkan, bahwa kesulitan dan bencana dapat menjadikan
fitrah manusia tumbuh, karena cahaya tauhid tersimpan dalam jiwa setiap manusia. Namun,
fitrah itu sendiri bisa tertutup, disebabkan oleh tradisi dan tingkah laku yang
menyimpang, atau pendidikan yang keliru. Lalu ketika bencana dan kesulitan dari berbagai
arah menimpanya, sementara dia tidak berdaya menghadapinya, maka pada saat seperti itu dia
berpaling kepada Sang Pencipta. (Tafsir Namuneh, juz 16 halaman 340-341)
Oleh karena itu, para ahli marifat dan ahli hikmah meyakini, bahwa dalam
suatu musibah besar, yaitu kesadaran manusia terhadap (keberadaan) Allah muncul kembali.
Ayat-ayat Afaqi
Selain menegaskan bahwa masalah tauhid adalah fitrah, al-Quran juga berusaha
mengajak manusia berpikir dengan akalnya bahwa di balik terciptanya alam raya dan
perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya (membuktikan) adanya Sang Pencipta.
Allamah al-Hilly dalam kitab Bab Hadi al-Asyr halaman 7 menjelaskan, bahwa para
ulama dalam upaya membuktikan wujud Sang Pencipta mempunyai dua jalan. Salah satunya,
adalah dengan jalan membuktikan wujud Allah melalui fenomena-fenomena alam yang
membutuhkan sebab, seperti diisyaratkan dalam ayat al-Quran berikut ini:
"Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di alam raya ini (afaq)
dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa sesungguhnya Dia itu
benar (haq)."(QS. Fush-shilat: 53).
Inilah jalan yang ditempuh Nabi Ibrahim as. Pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as. seperti
ini dalam mencari Tuhan, yang sebenarnya beliau tujukan untuk mengajak kaumnya berpikir,
merupakan metode Afaqi yang efektif sekali.
Untuk lebih jelasnya, kita dapat melihat langsung ayat-ayat yang menjelaskan pengembaraan
rasional Nabi Ibrahim as. tersebut dalam al-Quran, surat al-Anam ayat
75 sampai 79.
Ayat-ayat al-Quran yang mengajak kita untuk merenungkan fenomena alam dan
keunikan-keunikan makhluk yang ada di dalamnya, sangatlah banyak. Tentang hal ini, kami
mencoba mengklasifikasikan kepada dua kelompok:
Pertama, ayat-ayat tentang benda-benda mati di langit dan di bumi. Misalnya, ayat
yang berbunyi, "Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian
malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang memiliki akal." (QS.
Ali Imran:190).
Atau ayat lain berbunyi,"Sesungguhnya, pada pergantian malam dan siang dan apa
yang Allah ciptakan di langit dan di bumi, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
bertaqwa." (QS. Yunus: 6). Untuk menambah wawasan tentang ayat-ayat
semacam ini bacalah pula surat an-Nahl ayat 3 sampai 17.
Kedua ayat tersebut dan ayat-ayat lainnya, memandang langit dan seisinya serta bumi dan
segala yang terkandung di dalamnya, sebagai tanda dan bukti wujud Allah Ta'ala. Karena
secara akal, tidak mungkin semua itu ada dengan sendirinya, di samping semuanya itu akan
mengalami perubahan atau hadits (lihat pembahasan burhan huduts pada risaltuna
edisi 3).
Demikian pula, yang terdapat pada peristiwa peredaran matahari dan bulan serta benda-benda
langit lainnya yang teratur, tanaman-tanaman di dalam bumi yang disirami air yang tumbuh
besar, lalu mengeluarkan ranting-ranting yang dihiasi dengan dedaunan yang rindang dan
memberikan berbagai buah-buahan dengan seribu rasa, subhanallah.
Begitulah, semuanya terus berlangsung dengan sangat teratur.. Tiada lain, hal itu semua
menunjukkan wujud Allah Ta'ala semata. (Lihat burhan an-nidham dalam buletin
Risalatuna nomor 3).
Kedua, ayat-ayat tentang keunikan berbagai ragam binatang. Diantaranya ayat yang berkenaan
dengan kehidupan lebah berikut ini,"Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah,
Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, pada pohon-pohon dan tempat-tempat yang dibuat
manusia. Kemudian makanlah dari berbagai buah-buahan, dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang
telah dimudahkan. (Lalu) dari perut lebah tersebut akan keluar minuman (madu) yang
bermacam-macam warnanya. Padanya terdapat obat untuk manusia. Sesungguhnya, pada semua itu
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir." (QS. An-Nahl :
68-69)
Seekor lebah akan hinggap dari satu bunga kepada bunga yang lain, untuk menghisap cairan
yang terkandung di dalamnya, lalu (darinya) dihasilkan madu yang lezat dan dapat
dimanfaatkan sebagai penawar penyakit.
Kitab
Rujukan :
1. Al-Qur'an al-karim
2. Kitab al-Bab al-Hadi Asyr, karya Allamah al-hilli.
3. Kitab Tafsir Namuneh, karya Ayatullah Makarim Syirazi.
4. Kitab Tafsir al-Mizan, karya Allamah Thabathabai.
5. Kitab Fitrat, karya Ayatullah Syahid Muthahhari. |