Bagaimana seharusnya kita beragama?

Pertanyaan di atas layak diketengahkan dalam rangka introspeksi diri atas keagamaan kita, sehingga kita benar-benar beragama sebagaimana mestinya. Karena betapa banyak orang beragama, namun keberagaman mereka sekedar warisan dari orang tua atau ingkungan sekitar mereka. Bahkan ada sebagian orang beranggapan, bahwa agama hanya sebagai pelengkap kehidupan yang sifatnya eksidental.
Mereka tidak ambil peduli yang lazim terhadap agama. Karenanya mereka beragama asal-asalan, sekedar tidak dikatakan 'Tidak Beragama'. Gejala perpindahan dari satu agama kepada agama yang lain bukanlah semata karena faktor ekonomi. Bahkan, anggapan bahwa semua agama itu sama merupakan akibat dari ketidakpedulian yang lazim terhadap agama. Gejala Pluralisme semacam ini menjadi trend abad kedua puluh.
Dalam persepsi mereka, membicarakan agama adalah suatu hal yang sangat sensitif dan akan merenggangkan hubungan antara manusia. Agama merupakan sesuatu yang sangat personal dan tidak perlu diuungkap dalam forum-forum umum dan terbuka. Jika harus berbicara agamapun, maka ruang lingkupnya harus dibatasi pada sisi peribadatan saja.
Agama telah dirampingkan, sedemikian rupa sehingga, hanya mengurus masalah-masalah ritual belaka. Agama jangan dibawa-bawa ke dalam kancah politik, sosial, dan ekonomi. Karena jika agama dibawa ke dalam arena politik dan sosial, maka kanterjadi perang antar agama dan penindasan atas agama tertentu oleh agama yang berkuasa. Demikian pula, jika agama diperanaktifkan dalam urusan ekonomi, maka akan membatasi kebebasan perilaku menimbun kekayaan, karena banyak lampu-lampu merah dan peringatan-perigatan yang sudah tentu akan menghambat kelancaran bisnis.

Apakah benar demikian ?
Tentu, bagi mereka yang masih memiliki keterikatan dengan agama akan mengatakan, bahwa pernyataan di atas relatif kebenarannya. Sebab, boleh jadi pernyataan di atas adalah suatu kesimpulan dari beberapa kasus sejarah yang parsial dan situasional, bahkan tidak bisa digeneralisasikan.
Namun bagi kau muslimin, pernyataan di atas sama sekali tidak benar, karena secara teoritis agama Islam adalah pegangan hidup (way of life) yang lengkap dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, baik secara individu maupun kemasyarakatan. Islam agama yang sangat luas dan fleksibel. Secara praktek hal ini telha dibuktikan, bahwa dalam sebuah pemerintahan yang menjlankan syariat Islam dengan baik, kehidupan masyarakatnya --baik muslim maupun non-muslim-- aman, damai dan sejahtera, pengetahuan di dalamnya maju pesat.
Yang menjadi acauan kita adalah bagaimana seharusnya kita beragama, agar ajarannya benar-benar terasa dan mewarnai seluruh aspek kehidupan kita.
Sebagaimana telah kita bahas pada edisi sebelumnya, bahwa ajaran-ajaran Din terdiri atas tiga macam , yaitu aqidah (keyakinan), syariah (hukum atau fiqih) dan akhlaq. Semuanya harus kita perhatikan secara proporsional. Di sini kami akan menjelaskan, walaupun ringkas, ketiga jenis ajaran tersebut.

1. Aqidah
Aqidah adalah perkara-perkara yang mengikat akal, pikiran dan jiwa seseorang (mabani-e Syenakht, Syeikh Muhammad Raysyahri). Misalnya, ketika seseorang meyakini adanya satu Dzat yang senantiasa mengawasi gerak-gerik kita, maka keyakinan tersebut mengikat kita sehingga tidak leluasa berbuat sesuatu yang akan menyebabkan-Nya murka.
Pada dasarnya, inti dari Aqidah semua agama, adalah keyakinan akan eksistensi Dzat pencipta alam raya ini, dan ini merupakan fitrah manusia. Dengan demikian, dari sisi ini semua agama sama, khususnya agama samawi. Allah Ta'ala berfirman, "Katakanlah, Wahai Ahli Kitab, marilah kita menuju (membicarakan) kalimat (keyakinan) yang sama antara kami dan kalian." (QS. Ali Imran:64).
Namun perbedaan muncul ketika berbicara tentang siapa Pencipta alam raya ini, bagaimana wujud-Nya, apakh tunggal atau berbilang, atau pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaitan dengan ketuhanan.
Tentu, tidak mungkin semua agama itu benar dalam memahami sang pencipta. Oleh karenanya , hanya ada satu agama yang benar dalam memahami Siapa dan bagaimana Dzat Pencipta itu.
Lalu bagaimana cara menetukan mana agama yang benar?
Dalam hal ini, masing-masing agama tidak bisa membicarakan hal itu menurut kacamatanya sendiri, baik melalui kitab sucinya atau pendapat para pakarnya. Ummat Islam tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan itu Allah dengan Al-Qur'an' maupun hadits, atau Ummat Kristiani dengan kitab Injilnya. Demikian pula ummat lainnya.
Berbicara mengenai tentang Siapa dan bagaimana Tuhan Pencipta, harus dengan sesuatu yang disepakati dan dimiliki oleh setiap agama, yaitu akal. Keunggulan dan keberhasilan suatu agama atau aliran, tergantung sejauh mana dapat dipertahankan kebnarannya oleh akal. Maka di sinilah pelunya kita mempelajari aqidah melalui pendekatan akal, atau yang sering disebut dengan ushuluddin, ilmu Tawhid dan ilmu Kalam (theologi).
Bagaimana kita beraqidah atau bagaiman kita mempelajari aqidah ?
Ayatullah Muhammad Raysyahri dalam Kitab Mabani-e Syenakht membafi manusia beraqidah keapda dua kelompok , yaitu sebagian orang beraqidah atas dasar Taqlid dan lainnya beraqidah atas dasar Tahqiq. Taqlid ialah menerima pendapat orang tanpa dalil dan argumentasi (burhan) aqli, sebaliknya Tahqiq adalah menerima pendapat berdasarkan dalil dan argumentasi (burhan) Aqli.
Beraqidah atas dasar taqlid, menurut akal tidak dapat dibenarkan.Karena masalah Aqidah adalah masalah keyakinan dan kemantapan. Sementara taqlid tidak memberikan keyakinan dan kemantapan.Oleh karenanya, alangkah banyak kalangan awam, dalam masalah keagamaan, karena satu dan lain hal, pindah agama atau keluar dari agamanya. Al-Qur'an sendiri, dalam beberapa ayatnya, mengkritik cara berpikir seprti ini, yang merupakan cara berpikir yang biasa dijadikan alasan oleh orang-orang musyrik untuk tidak mengikuti ajakan para nabi. Misalnya, Al-Qur'an mengatakan,"Jika dikatakann kepada mereka ,'ikutilah apa yang Allah turunkan.' Mereka menjawab,'Tidak.' Akan tetapi kami mengikuti (melakukan) apa yang kami dapati dari pendahulu kami." (QS. Luqman :21).
Selain itu, Al-Qur'an juga melarang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan,"Dan janganlah kalian mengikuti apa yang tidak kalian ketahui." (QS. al-Isra :36). Bahkan Al-Qur'an menyebut orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai binatang yang paling buruk,"Sesungguhnya binatang yang paling buruk di sisi Allah adalah orang yang bisu dan tuli, yaitu orang-orang yang tidak berpikir." (QS. al-Anfal:22) dan ayat-ayat lainnya.
Disamping itu, terdapat hadits Rasulullah saww. yang menganjurkan ummatnya agar beragama atas dasar pengetahuan. Atara lain hadits yang berbunyi,"Jadilah kalian orang yang berilmu atau yang sedang menuntut ilmu, dan jangan menjadi orang yang ikut-ikutan." (Kitab an-Nihayah Ibnu Atsir, jilid I hal. 67)
Ala Kulli Hal, akal diciptakan sebagai sumber kekuatan manusia untuk mengetahui kebenaran dan kesalahan. Salah seorang Ma'shumin berkata, "Allah mempunyai dua hujjah (bukti kebenaran), hujjah lahiriah dan hujjah batiniah. Hujjah lahiriah adalah para Rasul dan Hujjah batiniah adalah akal." Sementara itu, para mutakallimin dan filosof muslim telah bersusah payah membangun argumentasi-argumentasi yang kuat dan kokoh tentang pembuktian keberadaan Allah Ta'ala.
Dengan demikian, kesimpulan yang dapat kita tarik dari keterangan di atas, adalah bahwa dalam masalah aqidah seseorang mesti ber-tahqiq dengan dalil-dalil akal dan tidak boleh ber-taqlid.

2. Syariat
Syariat menurut arti bahasa adalah tempat menagalirnya air. Lalu syariat diartikan lebih luas, yaitu untuk segala jalan yang mengantarkan manusia kepada maksudnya (Lihat tafsir Namuneh dan tafsir Mizan dalam menafsirkan surat al-Jatsiyah ayat 18).
Dengan demikian, Syariat Islamiyah berarti jalan yang mengantarkan umat manusia kepada tujuan Islami.
Setelah seseorang meyakini keberadaan Allah sebagai pencipta dan pemberi Kehidupan sesuai dengan dalil-dalil akal, maka konsekuensi logisnya (bil mulazamah aqliyah) dia akan merasa berkewajiban untik menaati dan menyembah-Nya. Namun sebelumnya, tentu dia harus mengetahui cara bertaat dan menyembah kepada-Nya, agar tidak seperti orang-orang arab jahiliyah yang menyembah Allah, namun melalui patung-patung (QS.az-Zumar: 3).
Mereka, sesuai dengan fitrah-ilahiah, meyakini keberadan Tuhan Sang Pencipta alam raya. Berkenaan dengan itu, Allah Ta'ala berfirman, "Jika kamu bertanya kepada mereka,'Siapakah yang menciptakan bumi dan langit ? Niscaya mereka menjawab 'Allah.' (QS. Luqman : 25). Kemudian , mereka ingin mengadakan hubungan dan berkomunikasi dengan-Nya (menyembah-Nya), sebagaiman Allah lukiskan dalam firman-Nya,"Sebenarnya kami menyembah patung-patung sebagai upaya mendekatkan diri kami kepada Allah semata." (QS. az-Zumar, 3). Meskipun mereka meyakini keberadaan Allah Ta'ala, namun mereka salah dalam cara mengadakan komumikasi dengan-Nya.
Nah, agar tidak terjadi kesalahan dalam kontak dan komunikasi dengan Allah, maka kita mesti melakukannya menurut cara yang dikehendaki-Nya dan tidak mengikuti cara yang kita inginkan. Allah dengan luthuf-Nya (upaya mendekatkan hamba pada ketaatan dan menjauhkannya dari kemaksiatan) mengutus para nabi dan mengajarkan tata cara menyembah (beribadah). Oleh karena itu, kita mesti mengikuti bagaimana Rasulullah saww. beribadah,"Shalatlah kalian, sebagaimana kalian melihat aku shalat."
Kaum muslimin yang menyaksikan Rasulullah beribadah secara langsung, tidak mengalami kesulitan untuk mengikuti beliau. Namun, bagi kita yang telah dipisahkan dari beliau dengan renatang waktu yang cukup panjang (lima belas abad),untuk mengetahui cara beliau beribadah hanyalah dapat dilakukan melalui perantaraan Al-Qur'an dan hadits. Dan untuk memahami maksud Al-Qur'an dan Hadits tidakklah mudah.
Menyangkut Al-Qur'an, Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata,"Kitab Tuhan kalian (berada) ditengah-tengah kalian. Ia menjelaskan tentang halal dan haram, kewajiban dan keutamaan, nasikh (ayat yang menghapus) dan mansukh (ayat yang dihapus), rukhshah dan Azimah, khusus dan umum,'ibrah dan perumpamaan, mursal (mutlaq) dan mahdud (muqayyad), muhkam (ayat yang jelas maksudnya) dan mutasyabih (ayat yang belum jelas maksudnya).." (Tashnif Nahjul Balaghah: 207). Sedangkan mengenai hadits yang sampai kepada kita, ribuan jumlahnya dari berbagai kitab hadits, dan tidak sedikit darinya pertentangan satu dengan lainnya.
Dengan demikian, untuk dapat memahami malsud Al-Qur'an dan hadits, harus terlebih dahulu menguasai sejumlah disiplin ilmu dengan baik, antara lain Bahasa Arab, Tafsir, Ulumul Quran, Ushul iqh, Mantiq, Ilmu Rijal, Ulumul Hadits dan sebagainya.
Orang yang telah menguasai semua disiplin ilmu tersebut dengan baik, dia dapat ber-istinbath (menginterpretasikan hukum) secara langsung dari Al-Qur'an dan hadits (pelakunya disebut Mujtahid). Tetapi orang yang tidak menguasai semua ilmu di atas dengan baik, maka cukup baginya mengikuti (bertaqlid) kepada hasil istinbath seorang Mujtahid. Dalam masalah aqidah taqlid tidak diperkenankan, sementara dalam masalah syariat taqlid diperbolehkan.

3. Akhlak
Para ulama dalam mengartikan akhlaq umumnya mengatakan,"Akhlaq adalah ilmu yang menjelaskan tentang mana yang baik dan mana yang buruk, serta apa yang harus di amalkan." Mereka membagi ilmu akhlaq kepada dua bagian, yaitu akhlaq teoritis dan akhlaq praktis. Mempelajari dan mengamalkan akhlaq sangat diperlukan sebagai proses mencapai tujuan hidup yaitu kesempuranaan.
Kalimat penutup, sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana seharusnya kita beragama, adalah beraqidah atas dasar tahqiq dan menjalankan syariat dengan baik atas dasar ijtihad atau taqlid dan berakhlaq.

Kitab Rujukan :
1. Tafsir al-Mizan, karya Allamah Thabathabai
2. Tafsir Namuneh, karya Ayatullah Makarim Sirazi.
3. Asyna'i ba Ului-e Islami, karya Ayatullah Syahid Muthahhari.
4. Tashnif Nahjul Balaghah, karya Labib Baidhun
5. Mabani-e Syenakht, karya Muhammad Raysyahri

Sumber: Buletin Dwi Mingguan RISALATUNA diterbitkan oleh Yayasan Al-Jawad, Edisi 02-Tahun 1997