Bagaimana Menjadi Khalifatullah ?
Ust. Husein Al-Kaff

Ingatlah, ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Sesungguhnya Aku akan menciptakan di muka bumi seorang khalifah. Para malaikat serentak berkata, Apakah Engkau hendak menciptakan di muka bumi (makhluk) yang akan melakukan kerusakan dan akan menumpahkan darah di dalamnya, padahal kami senantiasa bertasbih dengan menyanjung-Mu dan mensucikan-Mu? Seraya Allah menjawab, Sungguh Aku lebih mengetahui apa-apa yang tidak kalian ketahui. (QS. Al-Baqarah ayat 30).

Ayat di atas termasuk dari sekian firman Allah Ta’ala yang senantiasa segar dibahas dan dikaji. Hingga saat ini para ulama, khususnya Mufassirin (ahli tafsir Al-Qur’an), belum puas-puas dan tidak henti-hentinya mengungkap dan mengeksplorasi sedalam-dalamnya maksud dari ayat tersebut, untuk mendapat kebenaran darinya. Alasan mereka jelas dan sederhana. Karena ayat ini menyangkut eksistensi manusia yang sebenarnya.
Dengan memahami ayat tersebut secara baik dan benar, maka akan terpecahkan sebuah problema yang maha besar, yaitu hakikat manusia. Memahami hakikat manusia sangat menentukan pandangan dunia, ideologi, sikap, perjalanan dan nasib manusia setelah mati.
Hakikat manusia bagi sebagian pemikir dan filosof, masih merupakan teka-teki yang membingungkan. Umat Islam dengan pancaran cahaya Al-Qur’an, sedikit banyaknya terbantu dalam mengetahui hakikat manusia dan itu pun tergantung sejauh mana mereka memahami ayat tersebut.

Apa Arti Khalifah?
Islam memandang manusia sebagai khalifatullah, yakni khalifah Allah. Itulah hakikat manusia. Namun apakah dalam kenyataannya setiap manusia itu khalifatullah ? Bukankah di antara mereka ada yang kafir ?
Lalu apa yang dimaksud dengan manusia sebagai khalifatullah ? Atau bagaimana manusia menjadi khalifatullah ?Sebelum pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab, maka terlebih dahulu harus dipahami arti khalifah itu sendiri.
Khalifah atau khilafah, berasal dari akar kata khalaf yang berarti di belakang punggung, meninggalkan sesuatu di belakang atau sesuatu yang menempati tempat sesuatu yang lain. Al-Qur’an menyebut kata khalifah atau khilafah dengan berbagai turunannya. Selain itu, Al-Qur’an menggunakan kata khalifah untuk manusia dan untuk selain manusia.
Misalnya, ayat yang berbunyi, “Dialah yang menciptakan malam dan siang silih berganti (malam menempati siang dan siang menempati malam), bagi mereka yang mau berpikir atau bersyukur.” (QS. Al-Furqan : 62)
Ketika kata khalifah digunakan untuk manusia, kata ini mempunyai arti yang netral. Maksudnya bisa untuk kebaikan dan bisa pula untuk keburukan.
Lalu datanglah setelah mereka generasi (pengganti), yang melalaikan shalat dan mengikuti hawa napsu. Mereka kelak niscaya akan mendapatkan kesesatan."(QS. Maryam : 59).
Atau firman-Nya yang berbunyi, "Maka datanglah setelah mereka generasi (pengganti), yang mewarisi kitab." (QS. Al-Araf : 169).
Tetapi ketika kata khalifah disandarkan (di-idhafah-kan) kepada Allah atau Rasulullah, maka kata itu mengandung arti yang positif. Maksudnya jika yang diganti (al-mustakhlif) baik, maka yang menggantikannya (khalifah, mustakhlaf) harus baik juga. Andaikata tidak, maka akan merusak reputasi mustakhlif.
Manusia adalah khalifah dari Allah dan Allah adalah puncak segala kebaikan dan kesempurnaan. Dengan demikian manusia adalah titisan dari kebaikan dan kesempurnaan-Nya.
Jadi manusia berkedudukan sebagai wakil atau pengganti Allah di muka bumi. Yaitu manusia yang mempunyai kemampuan untuk mengatur dan mengubah alam. Manusia yang sedikit banyak mengetahui rahasia alam. Semua itu tidak berlaku bagi makhluk-makhluk lainnya. Akan tetapi bagaimana dengan kenyataan umat manusia zaman kini ? Sungguh ironis sekali bukan.
Syekh Taqi Mishbah berpendapat, bahwa kedudukan khalifah tidak terbatas pada Adam saja, melainkan manusia lain pun dapat menduduki jabatan khilafah dengan satu syarat, yaitu mengetahui asma. (lihat kitab Ma’arif Al-Qur’an, juz 3 hal 73).
Allamah Thabathaba’i dalam kitab Tafsir al-Mizan, jilid I halaman 116 berkata, “Khilafah tidak terbatas pada diri Adam as. saja, tetapi para keturunannya pun sama menduduki khilafah tanpa kecuali.”
Selanjutnya beliau menjelaskan, “Maksud mengajarkan asma, adalah menyimpan ilmu pada manusia yang senantiasa akan tampak secara bertahap. Jika manusia mendapatkan petunjuk, maka dia akan membuktikannya secara faktual (bil-fi’li) setelah sebelumnya berupa potensial (bil-quwwah).”
Maksud dari penjelasan Allamah Thabathaba’i di atas, bahwa manusia secara potensial adalah khalifah Allah. Namun yang mampu memfaktualkannya tidak semua manusia. Hanya sebagian kecil saja di antara mereka yang mampu. Hal itu kembali kepada ikhtiar dan pilihan manusia itu sendiri.

Kriteria-Kriteria Khalifatullah
Pada dasarnya manusia diciptakan Allah sebagai khalifah-Nya. Namun hal itu masih berupa potensi, seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Nah, agar potensi itu berkembang dan mewujud secara nyata, maka terdapat seperangkat kriteria yang harus dipenuhi sehingga manusia benar-benar menjadi khalifah Allah Ta’ala.
Kriteria-kriteria khalifah Allah itu ialah :

1. Ilmu
Kriteria pertama adalah ilmu. Pada ayat yang telah disebutkan terdahulu, selanjutnya disambung dengan ayat yang berbunyi :
Dia mengajarkan kepada Adam asma (nama benda-benda) semuanya, kemudian dia mempertunjukkannya kepada para malaikat. Lalu Allah berfirman (kepada para malaikat), Sebutkanlah kepada-Ku asma-asma itu, jika kalian memang benar ?"(QS. Al-Baqarah : 31).

Para mufasir berbeda pendapat tentang pengertian asma yang tercantum pada ayat di atas. Walaupun mereka berbeda pendapat tentang makna asma, tetapi yang pasti (al-qadru al-mutayaqqan) dan yang tidak diperselisihkan lagi adalah, bahwa Adam as. dibekali pengetahuan dan ilmu yang tidak dimiliki oleh para malaikat.
Sebagaimana telah kami kutipkan komentar Allamah Thabathaba’i tentang pengertian asma pada surat Al-Baqarah ayat 31 tersebut, beliau menjelaskan bahwa Allah telah menyimpan dalam diri manusia sebuah potensi ilmu, yang akan nyata dengan mengikuti petunjuk-Nya.
Jadi untuk menjadi khalifatullah, hendaknya manusia berilmu. Manusia yang tidak berilmu, tidak bisa dikatakan sebagai khalifah Allah Ta’ala.

2. Iman dan Amal
Pada ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman tentang kriteria khalifah-Nya.
"Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal shaleh (kebaikan), bahwa Dia akan menjadikan mereka sebagai khalifah di bumi, Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah. Sesungguhnya Dia akan meneguhkan bagi mereka agama mereka, yang telah diridhai-Nya untuk mereka, serta Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka menjadi aman setelah mereka ketakutan. Mereka akan menyembah-Ku dan tidak menyekutukan apapun dengan-Ku. Dan barang siapa kafir setelah itu, maka mereka adalah orang-orang yang fasik." (QS. An-Nur : 55).

Pada ayat tersebut, jelas sekali Allah berjanji akan menjadikan hamba-hamba-Nya sebagai khalifah yang akan menguasai dan memimpin dunia. Tetapi janji itu akan ditepati-Nya bagi manusia yang beriman dan beramal kebaikan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kriteria lain dari seorang khalifatullah adalah iman dan amal shaleh.

3. Memberi keputusan dengan benar (haqq) dan tidak mengikuti hawa nafsu
Allah Ta’ala berfirman,
"Wahai Dawud, Kami jadikan engkau sebagai khalifah di bumi, maka berilah keputusan dengan benar dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena hawa nafsu akan menyesatkanmu dari jalan Allah." (QS. Shad : 26).

Allamah Thabathaba’i berkata, “Maksud khalifah di sini secara lahiriah adalah khalifatullah, sama dengan maksud dari firman Allah (pada surat Al-Baqarah ayat 30). Dan seorang khalifah seharusnya menyerupai Yang mengangkat dirinya sebagai khalifah dalam sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya. Oleh karena itu khalifatullah di bumi hendaknya berakhlak dengan akhlak-akhlak Allah, berkehendak, bertindak sebagaimana yang Allah kehendaki dan memberi keputusan dengan keputusan Allah serta berjalan di jalan Allah.”

Selanjutnya ketika menafsirkan ayat :
"Dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena hawa nafsu akan menyesatkanmu dari jalan Allah."
Beliau berkata, “Makna ayat tersebut adalah, bahwa engkau dalam memutuskan (sesuatu) janganlah mengikuti hawa nafsu, maka engkau akan disesatkan olehnya dari kebenaran, yaitu jalan Allah.” (Tafsir al-Mizan, jilid 17 halaman 194-195).

4. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Rasulullah saww bersabda, “Barang siapa ber-amar ma’ruf dan nahi munkar, maka dia adalah khalifatullah di bumi dan khalifah kitab-Nya serta khalifah rasul-Nya.’’ (Kitab Mizan al-Hikmah, jilid 3 hal 80).

Kesimpulan
Semua manusia secara potensial (bil-quwwah), diciptakan untuk menjadi khalifatullah. Namun agar potensi tersebut menjadi nyata (bil-fi’li), terdapat sejumlah kriteria yang harus dimilikinya, yaitu ilmu, iman, amal shaleh, memberi keputusan dengan benar, tidak mengikuti hawa nafsu dan ber-amar ma’ruf dan nahi munkar. []