Siapakah Muhammad Saaw
?
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diperjelas sudut pandang kita dalam melihat pribadi
Nabi Muhammad saaw. Dari sisi mana kita memandang beliau. Karena tanpa itu kita akan
terjebak pada pandangan yang dingin terhadap beliau. Pandangan yang tanpa muatan pensucian
(taqdis) dan penghormatan (tasyrif). Bahkan terkadang memandangnya hanya sebagai satu
sosok manusia yang bernyawa, makan, minum, nikah dan akhirnya mati, titik.
Lalu bagaimana seharusnya kita memandang pribadi Rasulullah saaw ? Memang Rasulullah saaw
adalah seorang manusia sebagaimana saudara-saudaranya dari keturunan Adam. Akan tetapi
bukankah justru kemanusiaan seorang manusia tidak dilihat dari unsur jasmaninya (fisik) ?
Karena melihat manusia dari sisi jasmaninya, tidak lebih dari binatang yang juga bernyawa,
makan, minum, nikah dan mati.
Dengan demikian kita harus melihat manusia dari sisi ruhani atau spiritualnya. Karena dari
sisi inilah, manusia lebih mulia dari binatang. Dalam hal ini derajat manusia
berbeda-beda.
Jika manusia dipandang dari sisi jasmaninya saja, kita tidak boleh membedakan seorang
manusia dari manusia lain atau satu golongan manusia dari golongan lainnya, sebab manusia
secara substansial adalah sama. Perbedaan fisik yang ada, sifatnya hanya eksidental,
seperti warna kulit, ras, etnis dan lain-lain.
Terkadang mereka menuju kesempurnaan dan terkadang menuju kehancuran.
Tidak demikian halnya bila dipandang dari sisi ruhani, manusia mempunyai perbedaan dan
tingkatan-tingkatan kemuliaan.
Allah Taala berfirman, Wahai manusia, Kami ciptakan kalian dari laki-laki dan
perempuan, dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian, adalah yang paling taqwa.
(QS. Al-Hujurat : 13).
Allah mengangkat orang-orang beriman dan berilmu pengetahuan di antara kalian
beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah : 11).
Ayat pertama ingin menekankan, bahwa perbedaan jenis kelamin, warna kulit dan bangsa
merupakan pertanda kebesaran Allah Taala dan jangan dijadikan sebagai penyebab yang
satu lebih mulia dari yang lain. Karena kemuliaan hanya dilihat dari ketaqwaan yang
merupakan ciri spiritualitas seseorang dan bukan dilihat dari ciri-ciri fisikal.
Demikian pula ayat kedua menjelaskan, bahwa ketinggian derajat manusia diukur dari iman
dan ilmu. Keduanya merupakan bagian dari unsur ruhani.
Jadi andaikan saja kita tidak boleh melihat dan membedakan manusia dari unsur jasmani,
maka alangkah naifnya jika kita melihat Rasulullah saaw dari sisi jasmani.
Kita harus melihat Nabi dari sisi ruhani, sehingga akan jelas siapa sebenarnya beliau.
Apakah beliau seperti manusia lainnya ?
Kemudian apakah pantas kita mengatakan, bahwa Muhammad saaw sama dengan kita, hanya karena
beliau adalah manusia ?
Apabila kita bermaksud membicarakan pribadi Rasulullah saaw, maka harus kita jauhkan unsur
jasmaninya. Sebab jika tidak, berarti kita membicarakan maaf-maaf unsur kebinatangannya.
Sehingga dengan menjauhkan unsur jasmaninya, kita dapat mendudukkan beliau pada proporsi
yang sesuai dengan ketinggian ruhaninya.
Memang kita yakini, bahwa dari sisi jasmaninya pun beliau mempunyai banyak kelebihan dan
itu merupakan percikan sekian persennya saja dari kemuliaan ruhaninya yang sangat agung.
Nabi Muhammad saaw dalam pandangan Allah Taala
Lantaran keterbatasan dan kerendahan spiritual kita (manusia selain Rasulullah), maka
sulit bagi kita untuk mengetahui siapakah sebenarnya Nabi Muhammad saaw itu ?
Benar adanya apa yang dikatakan Imam al-Bushiri dalam salah satu bait syair pujian beliau
terhadap Rasulullah, yang termuat dalam kitab al-Burdah. Beliau berujar :Sungguh,
keutamaan Rasulullah
tiada dibatasi
dengan batas
yang dapat diungkap
mulut manusia.
Yang paling layak dan benar melihat dan menilai Rasulullah
saaw, adalah yang menciptakan beliau sendiri, yaitu Allah Taala.
Marilah kita lihat bagaimana Allah Subhanahu wa Taala memandang Rasulullah saaw.
1. Dalam banyak ayat Al-Quran diterangkan, bahwa Muhammad adalah seorang Nabi dan
utusan Allah. Ini merupakan suatu kemuliaan yang tidak sembarangan orang dapat
menggapainya.
Kenabian adalah kedudukan spiritual yang sangat tinggi. Hanya manusia-manusia tertentu
yang meraihnya. Dengan kedudukan ini, beliau dapat berkomunikasi langsung dengan Allah.
Bahkan lebih dari itu, beliau telah mengalami perjalanan spiritual dan fisik yang tidak
pernah dialami seorang pun manusia sebelum dan sesudahnya, yaitu Isra dan Miraj.
Saya kira dengan pengangkatan Muhammad saaw sebagai Nabi dan Rasul, cukup menjadi bukti
bahwa beliau benar-benar mulia dan patut dimuliakan dan diagungkan, serta tidak bisa
disetarakan dengan manusia lainnya.
Begitu tingginya kedudukan beliau, sampai-sampai Allah menyertakan ketaatan kepada Nabi
dengan ketaatan kepadaNya dan mengikuti Nabi adalah syarat kecintaan kepada-Nya (Lihat
Al-Quran surat Ali-Imran ayat 31).
Setelah itu apakah kita pantas mengatakan bahwa Nabi sama dengan kita, hanya karena beliau
seorang manusia ?
2. Dalam Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 21, Allah Taala berfirman :
Sungguh bagi kalian pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik, bagi
orang yang mengharapkan (ridha) Allah dan hari akhirat, serta banyak berzikir.
3. Dalam Al-Quran surat Al-Qalam ayat 4, Allah Taala berfirman :
Sesungguhnya engkau berada pada akhlak yang agung.
4. Dalam surat At-Taubah ayat 128, Allah berfirman : Sungguh telah datang kepada
kalian seorang Rasul dari (jenis) kalian. Berat terasa olehnya penderitaan kalian, yang
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian. Amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin.
5. Dalam surat Al-Insyirah ayat 4, Allah berfirman : Dan Kami tinggikan sebutanmu
(Muhammad saaw).
Demikian pula masih banyak ayat-ayat lainnya yang mengungkapkan keagungan Rasulullah saaw,
yang tidak mungkin dicantumkan semua dalam lembaran yang sangat terbatas ini.
Ungkapan-ungkapan di atas dan yang sejenisnya dalam Al-Quran keluar dari perkataan
Sang Pencipta seluruh alam semesta. Sudah jelas semua itu bukan sekedar basa-basi yang
acapkali dilakukan oleh manusia ketika memuji yang lain. Karena Allah sama sekali tidak
berkepentingan untuk menyanjung, dengan sanjungan yang sifatnya basa-basi atau mencari
muka.
Seluruh ungkapan di atas benar-benar menjelaskan fakta yang sesungguhnya, bahwa Nabi
Muhammad saaw sebagai suri tauladan untuk umat manusia. Beliau adalah seorang yang
berakhlak agung dan luhur, dan beliau adalah seorang yang sangat penyayang dan pengasih
(terhadap umatnya). Adakah pujian dan sanjungan yang lebih tulus dan lebih benar, dari
pujian dan sanjungan-Nya ?
Kalau saja Allah sedemikian tinggi memuji Rasulullah saaw, lantas apakah kita diam tidak
mengikuti sunnatullah, karena alasan khawatir terjerembab ke dalam pengkultusan individu ?
Nabi Muhammad saaw menurut Hadis
Ketinggian dan kebesaran Nabi Muhammad saaw banyak dikutip dalam berbagai kitab Hadis.
Kajian tentangnya, membutuhkan tulisan yang khusus dan luas.
Mengenai keagungan dan kebesaran Nabi Muhammad saaw dapat kita lihat dalam kitab-kitab
Hadis dan sejarah beliau. Dalam lembaran yang sangat terbatas ini, hanya akan dikutip
sebagian kecil saja dari Hadis-Hadis yang menceritakan ketinggian dan kebesaran beliau,
antara lain :
1. Abu Abdillah Jafar as Shadiq as. berkata, Suatu malam Rasulullah saaw
berada di rumah Ummu Salamah ra., salah seorang isteri beliau. Beliau mendatangi isterinya
tersebut di tempat tidurnya. Kemudian beliau melakukan hubungan dengannya sebagaimana
layaknya beliau lakukan pada isteri-isteri lainnya.
Setelah itu, Ummu Salamah mencari-cari beliau di sekitar rumahnya, sampai ia menjumpai
beliau di sudut kamarnya dalam keadaan berdiri dan mengangkat kedua tangannya sambil
menangis dan berucap,
Ya Allah, janganlah Engkau renggut kebaikan yang telah Engkau anugerahkan kepadaku
selama-lamanya.
Ya Allah, janganlah Engkau hibur daku dengan seorang musuh dan janganlah pula dengan
seorang yang dengki selamanya.
Janganlah Engkau kembalikan daku kepada kejelekan, yang telah Engkau selamatkan daku
darinya selama-lamanya.
Ya Allah, janganlah Engkau jadikan daku berserah diri kepada diriku sendiri, walau sekejap
pun untuk selama-lamanya.
Kemudian Ummu Salamah berpaling sambil menangis, hingga Rasulullah pun berpaling, lantaran
mendengar tangisan isterinya tersebut. Lalu beliau bertanya kepadanya, Gerangan apa
yang menyebabkan engkau menangis, wahai Ummu Salamah ?
Seraya ia menjawab, Demi ayah dan ibuku, bagaimana aku tidak menangis, sementara
Tuan dengan kedudukan yang telah Allah berikan kepada tuan sekarang, yang mana Allah telah
menjamin Tuan dengan ampunan atas dosa-dosa Tuan yang telah lalu dan yang akan datang
masih memohon kepada-Nya, agar Dia tidak mengembalikan Tuan ke dalam kejelekan yang Tuan
telah diselamatkan-Nya darinya untuk selama-lamanya, agar Dia tidak mengambil kembali
kebaikan yang telah dianugerahkan kepada Tuan selama-lamanya, dan agar tidak menjadikan
Tuan berpasrah diri kepada diri Tuan sendiri walau sekejap pun, untuk selama-lamanya
?
Rasulullah saaw balik bertanya, Wahai Ummu Salamah, apa yang dapat menjadikan aku
aman (dari azab Tuhan) ? Sungguh, Yunus bin Mata telah berserah diri kepada dirinya
sendiri untuk sekejap mata, maka terjadilah apa yang pantas terjadi pada dirinya ?
2. Al-Husein bin Ali, ketika menjelaskan tentang kekhusyuan Rasulullah saaw dalam
shalatnya, beliau berkata, Rasulullah saaw menangis hingga air matanya membasahi
tempat shalatnya. Tidak syak lagi hal itu disebabkan rasa takut beliau kepada Allah swt.
Nabi Muhammad Saaw menurut pandangan Imam Ali bin Abi Thalib as.
Sengaja kami kutip komentar Imam Ali as. mengenai Rasulullah saaw, karena Ali adalah
seorang sahabat yang paling dekat dengan beliau dan paling kenal kepada beliau.
Imam Ali bin Abi Thalib as. ketika menerangkan pribadi Rasulullah saaw berkata :
Ikutilah Nabimu yang paling baik dan paling suci, karena pada dirinya terdapat suri
tauladan bagi yang meneladaninya dan tempat berduka yang paling duka. Hamba yang paling
Allah cintai adalah orang yang meneladani Nabi-Nya dan mengikuti jejaknya.
Dia telah melepaskan dunia dan tidak memperdulikannya. Dia adalah penghuni dunia yang
paling kurus dan paling sering lapar. Telah ditawarkan padanya dunia, namun dia enggan
menerimanya. Dia mengetahui bahwa Allah tidak menyukai sesuatu, maka diapun tidak
menyukainya. Allah meremehkan sesuatu, maka diapun meremehkannya dan jika Allah menganggap
kecil sesuatu, maka diapun menganggapnya kecil.
Sekiranya yang kita cintai adalah sesuatu yang Allah dan Rasul-Nya murkai, dan yang kita
besarkan adalah sesuatu yang oleh Allah dan Rasul-Nya kecilkan, maka itu cukup menjadi
bukti penolakan dan penentangan kita terhadap perintah Allah.
Rasulullah saaw adalah orang yang makan di atas tanah, yang duduk laksana duduknya seorang
budak, yang menambal sandalnya dengan tangannya sendiri, yang menjahit bajunya dengan
tangannya sendiri, yang mengendarai keledai yang tak berpelana dan yang membawa tumpangan
di belakangnya.
Pernah suatu hari di atas pintu rumahnya dipasang tabir yang bergambar. Lalu beliau
berkata kepada salah seorang isterinya, Wahai Fulanah, hilangkan tabir itu dariku,
karena aku jika melihatnya, maka aku akan ingat dunia dan segala keindahannya.
Dia berpaling dari dunia dengan hatinya, mematikan ingatan kepada dunia dari dalam jiwanya
dan menyukai hilangnya hiasan dunia dari pandangannya, agar dia tidak menjadikan perhiasan
darinya, menganggapnya kekal dan mengharapkan kesempatan darinya. Maka dia keluarkan
(cinta) akan dunia dari jiwanya, dia enyahkan hal itu dari hatinya, serta dia hilangkan
semua itu dari perhatiannya.
Kesimpulan
Setelah kita melihat bagaimana tinggi dan agungnya pribadi Rasulullah saaw dari sisi
ruhaninya, lantas apakah hati kita tidak tergerak untuk menyatakan kekaguman dan
keterpesonaan terhadap beliau, dengan memuji dan menyanjungnya ?
Sungguh telah banyak orang yang terpesona dengan keindahan akhlak beliau dan berdecak
kagum dengan kepribadian beliau sepanjang sejarah umat manusia. Kekaguman itu mereka
ungkapkan dalam puisi-puisi, pembacaan-pembacaan maulud dan manaqib Rasulullah saaw.
Merekalah yang benar-benar memahami arti sebuah kebesaran dan keindahan. Entahlah kita,
apakah termasuk dari mereka atau termasuk dari orang yang enggan karena malu, atau karena
hati yang keras, sehingga tidak mengenal arti keindahan dan kebesaran pribadi beliau,
serta menganggap bahwa memuji dan menyanjung beliau sebagai pengkultusan individu ? [] |