|
'Asyura
Seberkas Cahaya Ilahi
Ustadz Husein Alkaff
Dari tahun
ke tahun kita selalu dan akan terus diingatkan oleh tradisi
Tasyayyu' tentang sebuah peristiwa sejarah kemanusiaan
yang agung dan suci; asyura' atau karbala. Peristiwa ini
seharusnya menghentak jiwa dan pikiran kita untuk selalu
melihat diri kita dan perjalanan kita menuju kesempurnaan
Ilahi. Apa yang telah kita lakukan untuk datang menjumpai
Allah yang Maha Besar? atau, Apakah jalan yang kita tempuh
untuk sampai kepadaNya benar atau salah?.
Mengingat
perjalanan ini bukan perjalanan materiil, tetapi perjalanan
akal dan spiritual (sayr aqly wa ruhy). Perjalanan
yang luas dan dalam, lebih luas dari tujuh langit dan
bumi, dan lebih dalam dari lautan (Ali Imran: 133), bahkan
lebih luas dan lebih dalam dari kata " luas " dan " dalam
" yang kita pahami itu sendiri. Namun, ini tidak berarti
bahwa Allah itu jauh; Ia Maha Dekat, lebih dekat kepada
manusia dari urat lehernya sendiri (Qaaf: 16). Ia dekat
dengan setiap makhlukNya karena Ia penegak keberadaan
semua yang ada selainNya (al Qayyum), dan semua
yang ada selainNya berada padaNya, kalau tidak demikian,
maka semuanya tidak ada.
Oleh
karena itu, manusia membutuhkan cahaya (nur) yang
akan membantunya mengetahui jalan yang harus ditempuh,
dan menuntunnya bergerak di atas perjalanan menuju Allah
swt. di tengah kegelapan-kegelapan alam materi (dunya)
yang berlapis-lapis; kegelapan yang ada dalam diri manusia
itu sendiri maupun kegelapan yang ada di sekelilingnya.
Dua kegelapan ini, yang satu lebih gelap dari yang lain.
Tanpa cahaya, manusia tidak akan mengetahui jalan dan
tidak akan dapat bergerak Allah berfirman, "Apakah
orang yang mati lalu Kami hidupkan dan Kami jadikan untuknya
cahaya yang ia berjalan dengannya di tengah manusia seperti
orang yang berada dalam kegelapan-kegelapan sementara
ia tidak bisa keluar darinya? ".(al Ana'm:122).
Gerangan
apa cahaya itu ?.Cahaya itu adalah Allah, Pencipta segala
sesuatu, Maha Awwal dan Maha Akhir dari segala sesuatu.
Dialah cahaya langit dan bumi (al Nur: 35).
Lalu cahaya ini menyebar menjadi cahaya-cahaya. Cahaya-cahaya
ini pada haqiqatnya, merupakan bagian dari cahaya yang
pertama itu, mempunyai fungsi dan peranan yang sama, yakni
membantu manusia untuk mengetahui jalan yang lurus dan
benar, dan menuntunnya untuk sampai ke kesempurnaan.
Kitab-kitab Allah dan para nabi adalah cahaya-cahaya
Ilahi yang menyinari kegelapan-kegelapan diri manusia
dan dunia. Allah ta'ala berfirman,
"Sungguh
telah datang kepada kalian dari Allah cahaya dan kitab
yang jelas".(al Maidah: 15)
"Dan Kami turunkan kepada kalian cahaya yang jelas".(al
Nisa': 174)
Pada
permulaan dakwahnya, Nabi Ibrahim as. mengajak Azar sebagai
orang yang dekat dengannya, "Wahai ayahku, janganlah
kamu menyembah setan, sesungguhnya setan itu durhaka Tuhan
yang Maha Pemurah ".( Maryam 44 ).
Demikian pula
Ahlul bait Nabi saww. sebagai cahaya-cahaya Ilahi, karena
mereka, sebagaimana dalam hadist "al Tsaqalain"
adalah pendamping Qur'an dan penentu keselamatan umat
manusia dari kesesatan dan perselisihan, dan mereka adalah
penerus (khalifah) Rasulullah saww. Tanpa mengikuti
mereka berarti tidak mengikuti Qur'an, dan mengikuti mereka
sama dengan mengikuti Rasulullah saww.
Hadis-hadis
tentang masalah ini sangat banyak dan tidak perlu dituangkan
disini semuanya. Karena bagaimanapun juga, umat manusia
pada setiap zaman membutuhkan cahaya Ilahi yang menyinari
jalan kehidupan mereka. Oleh karena itu kehadiran seorang
yang berperan sebagai cahaya Ilahi senantiasa harus ada,
tanpa kehadirannya maka pencapaian ke kesempurnaan tidak
akan terealisasi.
Cahaya Ilahi
di manapun dan kapanpun mempunyai fungsi dan peranan yang
tetap dan tidak berubah, yakni menyinari dan menyingkirkan
kegelapan. Namun kegelapan, meskipun sesuatu yang berlawanan
dengan cahaya, muncul dalam berbagai bentuk dan entitas.
Oleh karena itu, dalam Qur'an kata "kegelapan"
selalu disebut dalam bentuk jama' (dzulumaat),
sebaliknya, kata "cahaya" selalu disebut dalam
bentuk tunggal (nuur).
Oleh karena
cahaya berfungsi tunggal (menyinari dan menyingkirkan
kegelapan), maka tugas dan fungsi para nabi dan Ahlul
bait nabi sama dan satu. Sikap dan bentuk perjuangan mereka
yang sekilas berbeda itu hanya karena perbedaan bentuk
kegelapan yang mereka hadapi. Jadi perbedaan yang ada
antara mereka bukan karena perbedaan entitas mereka, namun
karena kegelapan-kegelapan yang mereka hadapi itu berbeda-beda.
Pola juang
Imam al Hasan as. yang berdamai dengan Muawiyah berbeda
dengan pola juang Imam al Husain as. yang mengangkat pedang
melawan Yazid itu dikarenakan perbedaan bentuk kegelapan
yang mereka tonjolkan. Sementara perjuangan kedua Imam
itu bertujuan menyingkirkan kegelapan yang mewujud dalam
diri Muawiyah dan Yazid. Demikian pula halnya dengan pola
juang imam-imam Ahlul bait yang lainnya.
Ahlul Bait as. Mercusuar Umat Manusia
Ahlul Bait as. sebagai penerus Nabi saww. dan pelaksana
Qur'an merupakan cahaya yang menjelaskan kepada umat manusia
jalan yang benar dan lurus, dan pada saat yang sama mereka
juga menunjukkan pergerakan yang harus ditempuh demi mencapai
kesempurnaan Ilahi. Dua hal ini berbeda. Mengetahui jalan
yang benar dan lurus adalah sebuah realitas, dan berjalan
untuk mencapai kesempurnaan adalah realitas yang lain.
Banyak manusia yang mengetahui bahwa Ahlul Bait adalah
benar, tetapi tidak sedikit orang yang enggan mengikuti
dan berjalan bersama mereka untuk mencapai kesempurnaan.
Kebenaran
Ahlul Bait as. sudah lebih jelas untuk diungkapkan dalam
tulisan ini, dan hadist al Tsaqalain sudah cukup
menjadi bukti dan hujjah yang kuat atas kebenaran
mereka. Namun, disini kami ingin mengutip beberapa pernyataan
Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib as. sehubungan dengan
kedudukan Ahlul Bait as. dan beliau sendiri sebagai salah
satu Imam Ahlul Bait as.
"Dengan
kami kalian mendapatkan petunjuk dalam kegelapan dan menaiki
kedudukan yang tinggi, dan dengan kami kalian meluncur
dari kegelapan".(Khutbah 4, Nahj al Balaghah)
"Tidak
seorangpun dari umat ini yang bisa dibandingkan dengan
keluarga Muhammad saww. dan juga sama sekali tidak bisa
disamakan dengan mereka seorang yang jasa mereka telah
mengalir kepadanya. Mereka adalah fondasi agama dan pilar
keyakinan. Kepada mereka dikembalikan orang yang melampuai
batas dan dengan mereka disusulkan orang yang akan datang.
Mereka mempunyai kriteria-kriteria untuk menjadi pemimpin
dan untuk mereka wasiat dan warisan".(Khutbah 2, Nahj
al Balaghah).
"Perumpamaanku
di tengah kalian seperti mercusuar dalam kegelapan, orang
yang memasuki kegelapan itu akan mendapatkan cahaya darinya".
(Khutbah 185, Nahj al Balaghah)
"Mereka
adalah penghidup keilmuan dan pembunuh kebodohan. Kebijakan
mereka memberitakan kepada kalian akan pengetahuan mereka,
lahiriah mereka mengungkapan batiniah mereka dan diam
mereka menyatakan kebijakan-kebijakan ucapan mereka. Mereka
tidak akan menyalahi kebenaran dan tidak pula mereka berselisih
di dalamnya. Mereka adalah tonggak-tonggak Islam dan tali-tali
persatuan. Dengan mereka kebenaran kembali ke tempatnya
dan kebatilan tersingkir dari tempatnya serta terputus
lisannya. Mereka memahami agama dengan pemahaman yang
penuh kesadaran dan pemeliharaaan, bukan pemahaman yang
melintas ke telinga dan mulut . Sungguh banyak orang yang
menghafal ilmu, namun sedikit yang memeliharanya".
(Khutbah 237, Nahj al Balaghah)
"Pada merekalah
kemuliaan-kemuliaan Qur'an dan mereka adalah kekayaan-kekayaan
Rahman. Jika mereka berbicara, maka benar, dan jika mereka
diam, maka mereka tidak akan terdahului". (Khutbah
152, Nahj al Balaghah)
"Kami adalah
pohon kenabian, persinggahan kerasulan, tempat kunjungan
para malaikat, sumber ilmu dan mata air hukum. Orang yang
menolong dan mencintai kami menantikan rahmat, sedangkan
orang yang memusuhi dan membenci kami menunggu siksaan".
(Khutbah 107, Nahj al Balaghah)
Ahlul Bait
as. tidak hanya dikenal sebagai lambang dan simbol kebenaran
saja, tetapi mereka juga harus diikuti dan diteladani.
Kalau mereka hanya untuk dikenal dan dicintai saja, maka
semua orang yang berakal dan berhati bersih pasti mencintai
mereka, karena mereka adalah kebenaran, keindahan dan
kebaikan, dan tidak sedikitpun mempunyai kekurangan dan
cacat. Tidak ada satupun celah keburukan dan kenistaan
dari pribadi mereka yang layak dibenci. Kebencian para
musuh Ahlul Bait as. bukan karena kekurangan yang ada
pada diri Ahlul Bait as., tetapi karena kehadiran Ahlul
Bait as. yang mengancam kepentingan mereka. Simaklah komentar
Muawiyah, musuh utama Imam Ali bin Abi Thalib as., tentang
latar belakang kebencian dan permusuhannya kepada beliau,
"Ibnu Qutaibah berkata, "Abdullah bin Mihjan datang
menghadap Mu'awiyah dan berkata, " Hai Amirul mukminin,
sesungguhnya aku telah datang dari seorang yang dungu,
penakut dan kikir ". (maksudnya, Ali bin Abi Thalib )
Kemudian Mu'awiyah berkata, " Allah, tahukah kamu apa
yang kamu katakan tadi ?. Adapun perkataanmu bahwa ia
seorang dungu, demi Allah, jika mulut-mulut manusia dikumpulkan
dan dijadikan satu mulut, maka itu sama dengan mulut Ali,
dan perkataanmu bahwa ia seorang penakut - semoga Allah
melaknatmu -, maka tidak ada satupun jagoan yang kamu
lihat kecuali mati ditangannya, serta perkataanmu bahwa
ia seorang kikir, demi Allah, jika dia mempunyai dua rumah,
yang satu terbuat dari tanah dan yang lain terbuat dari
jerami, niscaya ia akan berikan yang terbuat dari tanah
sebelum yang terbuat dari jerami ".
Lalu al Tsaqafi
bertanya, " Kalau begitu, mengapa anda memeranginya? ".
Mua'wiyah menjawab, " Karena darah Utsman ". (Mutiara
Akhlak Nabi 61-62)
Ahlul Bait
as. selain harus dicintai, juga harus diikuti, karena
tanpa itu, manusia tidak akan sampai kepada kesempurnaan
dirinya. Berkenaan dengan ini, Allah swt. berfirman,
"Katakanlah (hai Muhammad), apa yang aku minta dari
kalian berupa upah (timbal balik) hanya (dari) orang yang
berkehendak untuk membuat jalan menuju Tuhannya ".
(al Furqan: 57)
Imam Ali Zainal
A'bidin as. berkata,
"Tidak ada hijab antara Allah dan hujjahNya dan juga
tidak ada penghalang yang menghalangi Allah dari hujjahNya.
Kami adalah pintu-pintu Allah. Kami adalah shiraat
mustaqim". (Tafsir al Mizan jilid 1/41)
Meneladani
dan mengikuti langkah-langkah Ahlul Bait as. sebenarnya
konsekwensi praktis dari cinta kepada mereka. Orang yang
benar-benar mencintai Ahlul Bait as. pasti mengikuti mereka,
dan ketika mengikuti mereka akan mendapatkan berbagai
ujian dan cobaan dari Allah Swt. Imam Ali bin Abi Thalib
as. berkata,
"Barang siapa
mencintai kami, Ahlul Bait, maka bersiap-siaplah berlindung
dari kefakiran dan ujian". (Hikmah 112, Nahj al Balaghah)
'Asyura'
Jalan Menuju Allah Swt
Imam al Husain
as. salah satu dari rangkaian imam-imam Ahlul Bait as.
Pada zamannya, beliau adalah cahaya Ilahi yang menunjukkan
jalan kebenaran dan sekaligus figur teladan yang berjalan
menuju kesempurnaan. Beliau tidak hanya menjelaskan kebenaran
dan mengajak kaum muslimin ke kebenaran, tetapi beliau
juga menunjukkan cara yang benar untuk sampai kepada Allah
swt.
Pada waktu
itu, kaum muslimin sudah mengetahui secara pasti bahwa
al Husain bin Ali seorang yang benar. Bayangan wajah Rasulullah
saww. menjelma dihadapan mata mereka ketika melihat wajah
al Husain. Ucapan Rasulullah saww.
"Husain
dariku dan aku dari Husain" masih terngiang-ngiang
di telinga mereka. Ciuman dan pelukan kasih sayang Rasulullah
saww. terhadap al Husain as.terpatri kuat dalam benak
mereka. Dan bahwasanya al Husain as. itu benar tidak perlu
dibuktikan lagi oleh apapun, bahkan kebenaran itu sendiri
diketahui melalui sikap dan perbuatan beliau. Tentang
beliau as, Rasulullah saww. bersabda,
"Al Husain adalah
mercusuar petunjuk dan bahtera keselamatan".
Namun pengetahuan
mereka tentang kebenaran al Husain as. tidak cukup untuk
mendorong mereka bergabung dengan kafilah beliau menuju
kesempurnaan insani, karena bergabung dengan beliau membutuhkan
kecintaan yang tulus dan kesetiaan yang penuh, tidak sekadar
ucapan cinta yang menghiasi bibir dan pengetahuan yang
memadati otak semata. Oleh karena itu, dari ribuan kaum
muslimin yang mendengarkan keberangkatan beliau melawan
pemerintahan yang zhalim, Yazid bin Mu'awiyah dan yang
bersama beliau di padang Arafah hanya tujuh puluh tiga
orang saja yang ikut bergabung bersama beliau menyongsong
syahadah . Beliau mengajak mereka untuk melawan Yazid,
karena, pada waktu itu, hanya dengan melawan Yazid , seseorang
dapat meraih kesempurnaan dirinya. Beliau sangat sadar
bahwa kekuatan beliau tidak imbang dengan kekuatan pasukan
Yazid. Logika yang beliau pakai bukan logika kalah-menang,
beliau semata-mata melaksanakan tugas Allah yang suci
dan keinginannya mencapai kesempurnaan, dan beliaupun
mengetahui secara pasti bahwa melaksanakan tugas suci
itu akan mengantarkan beliau ke syahadah, dan bahwa keinginannya
mencapai kesempurnaan harus melalui tetesan darah. Rasulullah
saww. pernah bersabda kepada Imam Husain as.,
"Sungguh Allah telah berkehendak menyaksikanmu terbunuh"
Mengikuti
jejak beliau pada waktu itu sangat berat sekali, demikian
pula pada waktu-waktu setelahnya. Para pengikut Ahlul
Bait as. dikejar-kejar, disiksa dan dibunuh. Yang bisa
menyelamatkan nyawa mereka adalah memutuskan hubungan
dengan para Imam Ahlul Bait as. atau pergi jauh dari pusat
pemerintahan kaum muslimin. Kenyataan ini merupakan resiko
dan konsekwensi mengikuti Ahlul Bait as.dan sebagai jalan
yang lurus (shirooth mustaqiim) menuju Allah swt.
dan sebagai upaya mencapai kesempurnaan insani.
Sebaliknya
kaum muslimin yang tidak mengikuti Ahlul Bait menjalankan
kehidupannya dalam suasana yang damai dan tenang, bahkan
tidak sedikit dari ulama mereka justru menyalahkan Ahlul
Bait dan mendukung pemerintahan Bani Umayyah dan Bani
Abbas.
Sepanjang
zaman sampai hari akhir nanti, dua kelompok kaum muslimin
itu akan selalu ada; yang mencintai dan mengikuti Ahlul
Bait as. dengan segala konsekuensi dan resikonya, dan
yang mencintai tanpa mengikuti mereka dengan segala ketenangan
dan kedamaian yang dirasakan.[]
Salam
sejahtera atasmu, ya Abu Abdillah al Husain
dan atas nyawa-nyawa
yang
berjatuhan di haribaanmu.
Atas kalian semua dariku salamullah selamanya,
selagi aku ada dan selama malam dan siang silih berganti.
Salam sejahtera atas al Husain
Salam sejahtera atas Ali bin al Husain
Salam sejahtera atas putra-putri al Husain
Salam sejahtera atas sahabat-sahabat setia al Husain.
|
|