|
Kaum
Bughot
Sebuah Tinjaun Teologis
dan Historis
Ustadz Husein Alkaff
Menyusul
desakan agar Gus Dur mundur dari jabatan presiden dari
berbagai kalangan, para pendukung berat Gus Dur yang rata-rata
berasal dari kalangan Nahdhiyyin, tidak tanggung-tanggung,
bersedia menjadi relawan sampai tetes darah terakhir untuk
membela Gus Dur. Hal itu diyakininya sebagai jihad, dan
mati karenanya adalah mati syahid. Menurut mereka, bahwa
kalangan yang meminta , atau memaksa Gus Dur turun merupakan
kaum bughot yang harus diperangi. Sampai saat ditulisnya
tulisan ini, para kyai NU tengah mengadakan bahtsul masaail
di Cilegon, salah satu tema bahasannya adalah sikap para
relawan yang siap jihad dan mati demi pemerintahan yang
sah.
Sejak Gus Dur
menduduki jabatan kepresidenan yang diiringi dengan menaiknya
pamor NU dan bertambahnya kiprah para santri di panggung
politik, telah muncul istilah dan kata baru yang memperkaya
perbedaharaan kamus bahasa Indonesia. Istilah dan kata
yang biasa berputar di antara para kyai dan pesantren,
yang mereka ambil dari kitab-kitab kuning, sekarang menjadi
konsumsi kalangan luar pesantren dan acapkali dipakai
dalam media cetak dan elektronik. Diantara istilah pesantren
itu, kata "bughot". Kata ini tidak saya dapatkan
dari buku Kamus Besar Bahasa Indonesia. Untuk memahami
kata itu, saya harus membuka kamus Bahasa Arab yang paling
lengkap, Lisan al 'Arab. Saya mendapatkan keterangan
yang menarik dari kamus Lisan al 'Arab sehubungan
dengan kata "bughot" ini.
Oleh
karena itu, tulisan ini ingin menjelaskan makna " bughot
" dari sisi etimologi, dan yang lebih penting dari itu,
tulisan ini menyoroti kata ini dari sisi kajian teologis
dan historis. Mengapa demikian ?. Karena sejak Gus Dur
jadi presiden seringkali simbol-simbol keagamaan diangkat,
meskipun Gus Dur sendiri tidak setuju dengan itu. Namun,
de facto dan hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa bagaimanapun
juga beliau adalah seorang kyai yang membawahi ratusan
kyai, ribuan santri dan jutaan kaum muslimin tradisionil.
Beliau dengan kelompok NU tidak bisa dipisahkan dari simbol-simbol
keagamaan. Beliau seorang yang dilahirkan dan dibesarkan
dari lingkungan pesantren NU yang sangat konsisten dan
mempunyai komitmen yang tinggi dengan doktrin Ahlu sunnah
wal jama'ah ( baca: ASWAJA). Doktrin inilah yang melandasi
seluruh gerak dan sikap NU. Manusia dalam kehidupan sosialnya
tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan, apakah ia berkuasa
atau dikuasai. Doktrin ASWAJA yang merupakan interpretasi
dari Qur'an dan sunnah nabi, mempunyai pandangan tersendiri
tentang kekuasaan dan kepemimpinan. NU sebagai refresentasi
dari doktrin ASWAJA mempunyai sikap yang jelas terhadap
kekuasaan dan kepemimpinan, baik disaat mereka berkuasa
dan memimpin , maupun disaat mereka dikuasai dan dipimpin.
Oleh
karena itu, pembahasan tentang "bughot" ,yang berkaitan
dengan kekuasaan, dari sisi teologi ASWAJA layak dikaji
secara saksama. Demikian pula, kata " bughot "
harus ditinjau dari sisi kesejarahan, karena kata ini
tidak muncul belakangan ini saja. Kata ini telah ada sejak
dari generasi pertama kaum muslimin.
Makna Bughot
Bughot
bentuk jamak ( plural ) dari baaghii
( muzakkar ) atau baghiyah (
muannats ) yang berarti orang yang melakukan kerusakan
atau kedzaliman. Ibnu Mandzur al Afriqi dalam kamusnya,
Lisan al 'Arab, berkata, " al fi'ah al baghiyah
hiya al dhalimah al kharijah 'an al imam al 'adil "
(Kelompok baghiyah adalah kelompok dzalim yang
keluar dari ketaatan kepada pemimpin yang adil ) { lihat
Lisan al 'Arab pada kata " bagha " }.
Yang
menarik, Ibnu Mandzur memberikan contoh dari kata " baghiyah
" dengan mengutip sebuah hadis Nabi saww. " Beruntunglah
'Ammar putra Sumayyah, yang akan dibunuh oleh kelompok
baghiyah ". Hadis ini diriwayatkan dalam beberapa
kitab hadis dan sejarah, seperti al Thabari dan
al Kamil fi al Tarikh.
Kalau boleh
saya uraikan bahwa bughot adalah kelompok yang
keluar dari ketaatan kepada pemimpin yang adil, atau kelompok
yang melawan pemimpin yang adil. Mereka keluar dan melawan
pemimpin yang adil secara dzalim dan untuk melakukan kerusakan
dan kekacauan. Atau dengan keterangan lain, ketika ada
sekelompok manusia yang menentang dan memerangi pemimpin
yang sah ( konstitusional ) dan bersikap adil, tidak dzalim,
maka kelompok itu dianggap sebagai kelompok baghiyah.
Bughot
dalam Tinjauan Teologis
Saya ingin
mengutip pandangan para Mutakallimin dari kaum
Salaf dan Khalaf yang termaktub dalam kitab-kitab
kuning, dengan tujuan agar orang luar pesantren juga mengetahui
isi dari kitab kuning yang dijadikan sebagai referensi
oleh para kyai NU dalam forum bahtsul masaail yang
sering mereka gelar. Namun sebelum itu, perlu dijelaskan
bahwa NU dalam masalah doktrin teologi (aqidah)
mengikuti Abu al Hasan al Asy'ari ( 270- 324 Hijriyah
) dan Abu al Manshur al Maturidi ( wafat 333 Hijriyah
) yang kemudian doktrin teologi dua tokoh ini dikenal
dengan doktrin kaum khalaf. Sedangkan kaum salaf
dikembangkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal ( 213-290 Hijriyah
), seorang imam mazhab fiqih dan mutakallim,
dan dilanjutkan oleh Ahmad bin Taymiyah ( wafat 728 Hijriyah),
kemudian terakhir oleh Muhammad bin Abdul Wahhab ( 1115-1206
Hijriyyah ). Diantara dua aliran teologi ini ( Salaf
dan Khalaf ) terdapat perbedaan yang signifikan
dalam masalah-masalah teologis. Mari kita simak pernyataan
Imam Ahmad bin Hanbal, tokoh kaum salafi, tentang masalah
kepemimpinan, " Dan khilafah (kepemimpinan) berada pada
kaum Quraisy selagi masih ada dua orang manusia. Tidak
diperbolehkan seorangpun dari umat manusia merebutnya
dari mereka dan tidak boleh melawan mereka ".
Kemudian mengatakan,
" Dan ( wajib) mentaati orang yang telah diangkat oleh
Allah untuk mengurusi urusan kalian. Kamu tidak boleh
mencabut tangan ( menolak )dari mentaatinya dan tidak
boleh keluar melawannya dengan pedangmu. Kamu harus mendengarkan
dan mentaatinya. Jika penguasa memerintahkan kamu dengan
sebuah perintah, padahal perintah itu kemaksiatan bagi
Allah, maka kamu tidak boleh mentaatinya dan tidak boleh
juga melawannya ".( al Sunnah, Ahmad bin Hanbal
44 ) Beliau juga berkata, " Dan barangsiapa keluar melawan
seorang pemimpian dari pemimpin-pemimpin kaum muslimin,
dan umat manusia telah sepakat dan mengakuinya dengan
cara apapun, baik dengan suka rela maupun dengan kekuatan,
maka orang yang melawan itu telah meretakkan tongkat kaum
muslimin dan melanggar sunnah Rasulullah. Jika orang yang
melawan itu mati, maka mati seperti mati jahiliyyah ".
( Tarikh al Madzahib al Islamiyyah, Abu Zahrah
jilid 2 halaman 322 ).
Imam Abu al
Hasan al Asy'ari, tokoh kaum khalaf, menyatakan
bahwa mereka (ASWAJA) berpendapat boleh sholat ied, jum'at
dan jama'ah dibelakang setiap imam yang baik maupun fasik.
Mereka juga berpendapat boleh mendoakan para pemimpin
kaum muslimin dengan kebaikan ,dan mereka tidak membolehkan
keluar terhadap mereka ( para pemimpin ) dengan pedang
". (Maqaalaat al Islaamiyyin halaman 323 ).
Berdasarkan
kitab-kitab kuning tersebut dan kitab kuning lainnya,
NU berpendapat dilarang melawan pemerintah, selagi pemerintahan
itu terbentuk secara sah (konstitusional ). Oleh karena
itu, mereka tidak pernah melawan pemerintah setelah kemerdekaan.
Mereka berdamai dan mendukung pemerintahan yang sah, dengan
alasan bahwa pemerintah yang sah adalah ulil amri
yang harus ditaati. Dengan demikian segala bentuk perlawanan
terhadap pemerintahan yang sah dianggap makar atau bughot
yang harus diperangi. Apalagi pemerintahan RI sekarang
ini di tangan salah seorang tokoh terbesar mereka, KH.
Abdurahman Wahid.
Bughot dalam Tinjauan Historis
Seperti
yang dicontohkan oleh Ibnu Mandzur dalam Lisan al 'Arab
diatas tadi, bahwa 'Ammar bin Yasir akan dibunuh oleh
kelompok baghiyah ( bughot ). Ammar bin
Yasir adalah seorang sahabat nabi saww. yang mulia dan
setia. Ayahnya adalah Yasir yang mati sebagai syahid dibunuh
oleh kaum musyrik Quraisy. Demikian pula ibunya Sumayyah,
seorang wanita syahid pertama dalam Islam dibunuh oleh
mereka. Keduanya dibunuh di depan mata 'Ammar. 'Ammar
dikarunia usia yang panjang sehingga dapat menyaksikan
berbagai peristiwa yang menimpa kaum muslimin setelah
ditinggalkan oleh Nabi Muhammad saww. Peristiwa yang paling
memilukan, yang disaksikan oleh 'Ammar, adalah perpecahan
yang mengakibatkan perang saudara pada masa khilafah Amirul
mukminin, Ali bin Abi Thalib ra.
Setelah
terbunuhnya khalifah ketiga, Usman bin 'Affan, kaum muslimin
secara aklamasi meminta Ali bin Abu Thalib untuk tampil
sabagai khalifah untuk menggantikan Usman bin 'Affan yang
terbunuh. Ali bin Abi Thalib pada mulanya menolak untuk
menjadi khalifah mengingat perpecahan di tengah kaum muslimin
makin meluas, dan tugas khalifah saat itu amat sangat
berat. Namun karena desakan mereka cukup kuat, maka beliaupun
menerima permintaan dan harapan mereka. Beliau adalah
satu-satunya khalifah dari empat khalifah kaum muslimin
yang diangkat secara aklamasi.
Pada masa khilafah
beliau yang berlangsung selama kurang-lebih lima tahun
( 35-40 Hijriyah ), telah terjadi tiga perang saudara;
antara beliau dengan kelompok lain. Pada perang Jamal
( Unta ), beliau berhadapan dengan Thalhah dan Zubair
yang didukung oleh 'Aisyah, istri Nabi saww.; pada perang
Shiffin antara beliau dengan Mua'wiyah bin Abu
Sufyan, dan pada perang Nahrawan antara beliau
dengan kaum Khawarij.
Banyak dari
kaum muslimin mendapatkan kesulitan dalam menilai, ketika
terjadi peperangan antara kaum muslimin yang melibatkan
beberapa sahabat nabi saww., manakah diantara dua kubu
yang bertikai itu yang benar dan yang salah ?. Di satu
sisi, Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah yang sah, dan
juga sahabat dekat nabi saww., tidak boleh diperangi sesuai
dengan doktrin ASWAJA, dan di sisi yang lain, terdapat
sejumlah sahabat nabi saww.
Hadis Nabi
saww. tentang akan terbunuhnya 'Ammar bin Yasir oleh kelompok
baghiyah telah memberikan kepada kita tolok ukur kebenaran,
sehingga dapat diketahui kelompok manakah yang benar.
Para ahli sejarah
bersepakat bahwa ketika perang Shiffin meletus pada tahun
37 Hijriyah, 'Ammar bin Yasir dalam usianya yang sudah
lanjut berada bersama pasukan Amirul Mukminin Ali bin
Abu Thalib ra. dan ikut serta memerangi Mua'wiyah bin
Abu Sufyan. Dalam perang ini, beliau menghembuskan nafas
terakhirnya karena dibunuh oleh pasukan Mu'awiyah.
Al Thabari
dan Ibnu al Atsir mengungkapkan dalam kitab tarikh mereka,
" Ketika 'Ammar bin Yasir hendak berangkat perang berkata,
" Hari ini aku akan menjumpai para kekasihku ; Muhammad
dan golongangannya ".( Tarikh al Thabari 3 /28
dan al Kamil fi al Tarikh 2/371)
Dalam kedua kitab ini juga
diceritakan bahwa ketika disampaikan kepada Muawiyah bahwa
'Ammar dibunuh oleh pasukannya, dan disampaikan pula kepadanya
hadis nabi tersebut, dia berkata bahwa sebenarnya yang
membunuh 'Ammar bukanlah dia, tetapi kelompok yang membawanya
perang, yakni Amirul mukminin Ali bin Abu Thalib ra.
Dengan melihat
hadis nabi saww. dan keterangan para ahli sejarah, bahwa
kata " bughot " atau "baghiyah" menjadi
istilah untuk kelompok yang memerangi pemimpin yang sah
dan adil. Dalam hal ini, Mu'awiyah adalah contoh konkrit
dari kelompok bughot.
Relevankan
Kata " Bughot " Dalam Konteks Pemerintahan RI ?
Keterangan di atas tadi adalah doktrin ASWAJA dan bagian
dari sejarah Islam. Untuk konteks Indonesia, tentu istilah
itu tidak relevan diberikan kepada pihak-pihak yang menghendaki
mundurnya Gus Dur, karena istilah ini berlaku dalam sebuah
pemerintahan Islam, sementara Indonesia bukanlah pemerintahan
Islam sebagaimana yang diakuinya sendiri oleh Gus Dur
dan NU. Dalam sistem pemerintahan Islam, yang dijelaskan
dalam kitab-kitab kuning, proses pengangkatan pemimpin
tidaklah sama dengan yang sekarang berkembang di dunia
modern ini. Kemudian cap bughot sendiri berlaku
untuk kelompok yang memerangi pemimpin dengan cara yang
dzalim dan dengan berbuat kerusakan, seperti yang dilakukan
oleh Mu'awiyah, sementara pihak-pihak yang menghendaki
turunnya Gus Dur apakah sudah melakukan hal itu ?. Wallahu
a'lam. []
|
|