|
PENGHAMBAT
KEBENARAN
Ustadz Husein Alkaff
Manusia untuk
sampai pada kesempurnaan dirinya, disamping harus menggunakan
akalnya, juga harus meminta bantuan dari wahyu Ilahi,
yang terangkum dalam kitab suci, Qur'an, maupun keterangan-keterangan
Rasulullah saww. dan Ahlul baitnya yang disucikan. Ketika
Rasulullah saww. bersabda, " Aku tinggalkan di tengah
kalian dua pusaka yang berat, selagi berpegangan dengannya
kalian tidak akan pernah sesat (menyimpang). Kedua pusaka
itu adalah, Kitabullah dan Ahlul Bait-ku", beliau ingin
menjelaskan bahwa agar kaum muslimin dalam perjalanannya
menuju Allah ta'ala tidak sesat dan menyimpang, maka mereka
harus berpegangan dengan Qur'an dan ahlul bait. Sedangkan
untuk menerima kebenaran ajaran Qur'an dan Rasulullah
beserta ahlul baitnya, diperlukan akal pikiran yang jernih.
Oleh karena itu, akal mempunyai peranan signifikan untuk
menentukan mana yang benar dan mana yang salah, atau mana
yang baik dan mana yang buruk. Berkenaan dengan akal,
Imam Musa Al-Kadzim as. pernah mengatakan bahwa setiap
manusia mempunyai dua petunjuk (hujjah); hujjah dhohiroh
(lahiriah) dan hujjah batinah. Ada petunjuk dari dalam
diri kita dan ada petunjuk dari luar diri kita.
Hujjah dhohiroh
yaitu para Nabi dan kitab-kitab samawi yang bertugas menyinari
kegelapan-kegelapan yang menyelimuti jalan menuju Allah
swt. Hujjah batinah adalah petunjuk akal. Para mutakallim
Imamiah merumuskan petunjuk-petunjuk akal dalam lima dasar
agama ( ushulullddin); tauhid (al tawhid), keadilan (al
'adl), kenabian (al nubuwwah), kepemimpinan (al imamah)
dan hari akhirat (al ma'ad). Lima dasar agama ini merupakan
fondasi yang melandasi semua ajaran-ajaran Islam, dan
akar dari sebuah pohon agama yang kokoh, rindang dan berbuah
lebat. Salah satu kelebihan imamiah terletak pada lima
dasar agama ini.
Pada kesempatan
ini, saya tidak ingin membahas ushuluddin yang sebagian
darinya sudah kita bahas dan pelajari. Pada kesempatan
ini, saya tertarik untuk mengajak ikhwan menyimak keterangan-keterangan
orang-orang suci, yang sarat dengan hikmah, kesejukan
dan keilmuan yang luas dan dalam. Kita mempunyai hazanah
ilmu Ahlul Bait yang sangat luas. Imam Khomeini qs. dalam
surat wasiatnya, mensitir tentang khazanah ilmu Ahlul
bait yang diwariskan untuk kita semua. Anda bayangkan
bagaimana luasnya ilmu Imam Ali as. Beliau pernah mengatakan,
" Kekasihku Rasulullah mengajariku seribu cabang ilmu.
Dari setiap cabang itu terbagi seribu cabang lagi ". Jadi
berapa cabang ilmu yang beliau kuasai, sejuta cabang.
Itu menunjukkan banyaknya ilmu yang diajarkan Rasulullah
saww. kepada Imam Ali bin Abi Thalib as. lalu secara berurutan
kepada imam-imam suci lainnya dari keturunan beliau, baik
ilmu tentang ketuhanan, metafisik, juga ilmu-ilmu saintis
dan lain sebagainya. Kemudian mereka menyampaikannya kepada
orang-orang berdasarkan kapasitas dan kesiapan mereka
untuk menerima ilmu-ilmu tersebut, dan disesuaikan pula
dengan kondisi dan situasi zaman mereka. Tentu ilmu yang
mereka ketahui tidak melalui eksperimen atau laboratorium.
Mereka mendapatkannya melalui wahyu atau ilham. Sebagai
contoh Nabi Dawud as. diajarkan oleh Allah swt. cara membuat
baju ( al Anbiya' : 80) dan membuat pekakas dari besi
(Saba' : 10). Bahkan menurut sebuah teori, teknologi ini
berasal dari para Nabi atau dari Ahlul Bait. Sekarang
ini manusia tinggal mengembangkannya saja. Matematika
atau aljabar, sebagai contoh, dirintis oleh Jabir al Hayan,
salah seorang murid Imam Ja'far a.s.
Ala kullihal,
para Nabi mempunyai ilmu yang luas sekali. Tapi ilmu yang
mereka terima tidak seperti yang kita miliki dengan cara
belajar atau di laboratorium-laboratorium. Mereka secara
langsung menerima ilmu itu dari Allah Swt.
Yang akan
kita bahas dalam pertemuan ini, sambil kita ber-tabarruk
dengan kata-kata suci Ahlul Bait as., adalah tentang penghambat-penghambat
ma'rifah.
Setiap manusia
dibekali akal, hati dan indra. Dengan akal manusia dapat
mengetahui sejumlah pengetahuan, demikian pula dengan
hati dan indranya, dia dapat memiliki ilmu. Dengan akalnya
manusia berpikir, yang menghasilkan filsafat, logika,
dan sains, sementara dengan pensucian hati, manusia akan
mendapatkan ilmu-ilmu tertentu. Allah swt. berfirman,
" Dan bertaqwalah kalian kepada Allah niscaya Allah akan
mengajar kalian " (al Baqarah : 282). Tentang tiga sarana
ilmu tersebut (akal, hati dan indra) Qur'an menjelaskan,
" Dan Allah telah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian,
sedangkan kalian tidak mengetahui apapun. Lalu Allah menjadikan
untuk kalian pendengaran, penglihatan dan hati (atau,
akal ) ". (al Nahl : 78)
Masing-masing
dari tiga sarana ini mempunyai ruang lingkup pengetahuan
yang berbeda-beda. Dan tiga sarana ini akan berfungsi
sesuai dengan fungsinya selagi tidak ada hambatan yang
menghambatinya. Oleh karena itu, tugas manusia adalah
menghilangkan hambatan-hambatan dari tiga sarana ilmu
itu, kalau tidak, maka ketiga sarana itu tidak akan menghasilkan
pengetahuan.
Pada kesempatan
ini, kita batasi pembicaraan kita pada penghambat-penghambat
akal dan hati dari fungsinya sebagai sarana pengetahuan.
Namun sebelum kita membicarakan masalah itu, saya ingin
kutip bagaimana dekatnya para imam Ahlul bait dengan Allah
swt. Bagi mereka wujud Allah sangatlah jelas sehingga
tidak ada tabir dan hijab antara mereka denganNya. Misalnya
Imam al Husain as. dalam salah satu penggalan doanya yang
sangat indah sekali di padang Arafah, beliau mengatakan,
" Ya Allah kapan Engkau gaib dariku ? sehingga Engkau
membutuhkan petunjuk yang akan menunjukkan-Mu. Apakah
selainMu memiliki kejelasan yang tidak Engkau miliki ?".
Bagi beliau
tidak ada sesuatu yang lebih jelas dari Allah swt. Beliau
tidak saja mengetahui wujud Allah swt. melalui akal, tetapi
beliau " melihat " dan " merasakan " kehadiranNya secara
nyata. Imam Ali as. pernah mengatakan, " Bagaimana aku
menyembah Tuhan yang tidak kulihat ? ". Para failusuf
muslim mengatakan bahwa Yang benar-benar jelas dan ada
adalah Allah swt. SelainNya itu jelas dan ada karenaNya,
tanpaNya maka alam semesta tidak akan jelas dan bahkan
tidak akan ada. " Allah adalah cahaya langit dan bumi
" ( al Nur : 35 ) Gerangan apa yang menjadikan mereka
seperti itu ? Mengapa kita tidak dapat melihat dan merasakan
kehadiran Allah swt. ?
Para ulama
akhlak mengatakan bahwa terdapat hijab dan tabir yang
menghalangi kita dari melihat Allah swt. Imam Ali a.s.
mengatakan, " Andaikan hijab disingkapkan dari hadapanku
maka keyakinanku tidak akan bertambah ". Artinya bagi
beliau tidak ada tabir lagi. Andaikan tabir itu disingkapkan
sehingga melihat haqiqat-haqiqat, maka itu tidak akan
menambah keyakinanya, karena beliau sudah yakin.
Hijab itulah
yang menghambat ma'rifah. Ketika kita tidak bisa menyaksikan
itu semuanya, yang salah adalah kita. Kita membuat tabir-tabir
yang tebal sehingga kita tidak menyaksikan surga, tidak
menyaksikan neraka, tidak menyaksikan Allah Ta'ala.
Dalam Nahjul
Balaghah disebutkan, ada seorang sahabat Imam Ali as.bernama
Hammam. Dia berkata kepada Imam Ali, "Ya Imam tolong jelaskan
kepadaku tanda-tanda orang bertaqwa". Imam Ali berkata,
"Sabar ya Hamam, jangan tanya masalah itu." Hammam mengulangi
permintaannya kepada beliau sampai tiga kali. Kemudian
Imam Ali as. menjelaskan tentang ciri-ciri orang bertaqwa.
Salah satu cirinya adalah " Orang bertaqwa adalah orang
yang seakan-akan menyaksikan surga sehingga dia merasa
terhibur dengan surga, dia seakan-akan telah menyaksikan
neraka sehingga tersiksa ketika melihatnya ".
Jadi orang-orang
bertaqwa itu sudah menyaksikan surga dan neraka. Itulah
ciri orang bertaqwa. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa
pernah Rasulullah saww. ketika shalat, beliau maju ke
depan kemudian mundur lagi. Lalu beliau ditanya oleh sahabat,
" Mengapa ketika shalat, Anda maju ke depan lalu mundur
kembali, ya Rasulullah ? ". Nabi menjawab, " Aku melihat
surga di hadapanku ".
Dalam riwayat
lain, Nabi saww. pergi ke mesjid berjumpa dengan seorang
pemuda yang kurus dan pucat mukanya. Nabi bertanya, "Bagaimana
keadaan anda di pagi hari ini ? " Dia menjawab, " Alhamdulillah,
di pagi hari ini aku beriman kepada Allah swt". Nabi bertanya
lagi, " Apa tanda keyakinanmu wahai pemuda ?". Jawabnya,
" Ya Rasulullah, sekarang aku menyaksikan surga dan di
hadapan mataku". Pemuda itu menyaksikan surga sekarang
ini dan menyaksikan neraka.
Jadi sebenarnya,
Allah, surga, neraka dan hal-hal lain yang dianggap gaib
bagi Nabi saww., Ahlul bait as. dan orang yang bertaqwa
tidaklah gaib. Bagi kita hal itu gaib karena adanya hijab
atau tabir yang menghalangi kita. Sekarang apa saja penghambat-penghambat
itu. Saya akan bacakan beberapa Hadis dari Rasulullah
saww. atau dari Ahlul Bait as.
Imam Ali as.
berkata, " Barang siapa belum mendidik jiwanya, maka dia
tidak memanfaatkan akalnya "( kitab al Hayat ). Artinya
seorang itu akan menggunakan akalnya ketika dia telah
mendidik jiwanya. Namun ketika hatinya kotor dosanya banyak,
maka segala informasi tentang hak atau kebenaran tidak
akan ia terima dan akan ia tolak.
Boleh jadi
Abu Jahal setiap hari melihat Nabi saww. dan sering mendengarkan
ajakan beliau, bahkan dia tahu kemulian akhlak dan kejujuran
beliau. Tetapi kenapa Abu Jahal tidak meyakini Nabi Muhammad
sebagai utusan Allah swt. ? itu tidak lain karena hatinya
yang kotor. Dia punya akal tetapi tidak digunakan untuk
berpikir, dia punya telinga tetapi tidak dipakai untuk
mendengarkan kebenaran. Itu semua karena dia belum mendidik
jiwanya dan membersihkan hatinya. Jadi ketika seorang
tidak mendidik jiwanya, maka tidak akan bisa menggunakan
akal secara maksimal.
Kemudian termasuk
penghambat ilmu atau ma'rifah adalah hawa-nafsu. Imam
Ali as. mengatakan, " Musuh akal adalah hawa nafsu."(
idem). Seringkali seseorang, karena hawa nafsunya yang
telah menguasai dirinya, atau nafsu ammarah telah mengalahkan
akalnya, menolak kebenaran. Hawa nafsu yang tidak bisa
dikendalikan akan menyebabkan seseorang tidak menerima
ajakan akal pikirannya dan akan menentangnya.
Juga penghambat
ma'rifah adalah cinta kepada selain Allah swt. Nabi bersabda,
"Kecintaanmu pada sesuatu itu menyebabkan kebutaan dan
ketulian "( idem). Kalau kita mencintai sesuatu secara
berlebihan, akhirnya segala bentuk nasihat tidak akan
didengar.
Juga Imam
Ali a.s. mengatakan, "Mata orang yang mencinta itu menjadi
buta ketika menyaksikan keburukan orang yang dia cintai,
dan telinganya menjadi tuli terhadap kejelekan kekasihny
"( idem). Ini merupakan kata lain dari fanatisme.
Juga Imam
Ali mengatakan, "Tidak ada akal bersama syahwat."( idem).
Jadi, akal dengan syahwat tidak mungkin beriringan. Ketika
syahwat menguasai maka akalnya kalah. Ketika akal menguasai
maka syahwatnya akan dikendalikan. Oleh karena itu ada
sebuah hadis, " Tidak mungkin seseorang berzina, dikala
berzina dia mukmin". Ketika seseorang berzina, maka dia
tidak dalam keadaan beriman. Selesai berzina mungkin dia
kembali beriman, dan menyesali perbuatannya itu.
Imam Shadiq
a.s. meriwayatkan, bahwa Imam Ali a.s. pernah mengirim
surat pada salah seorang sahabatnya memberi nasihat :
"Tolaklah dunia, karena mencintai dunia akan membuatmu
buta dan tuli." (idem)
Imam Ali a.s.
mengatakan, "Barang siapa yang mengagumi ilmu-ilmunya,
maka akan dikalahkan oleh musuh-musuhnya." Selanjutnya
Imam Ali a.s. mengatakan, "Tidak ada kesendirian yang
lebih menakutkan dari 'ujub " . Kalau boleh saya menafsirkan,
orang ketika ujub dalam hatinya merasa dirinya hebat,
akhirnya dia berpikir tentang kehebatan dirinya sendiri
sehingga muncul penyakit lain namanya ghurur. Akhirnya
tidak akan menerima nasihat, karena merasa dirinya hebat.
Ada orang-orang
yang kena penyakit ghurur, merasa dirinya paling hebat
sehingga setiap nasihat dari orang lain itu dianggapnya
remeh atau salah. Setan adalah contoh makhlul yang 'ujub
dan ghurur. Dia mengatakan, mengapa aku harus bersujud
di hadapan Adam, aku dari api dia dari tanah ? Saya lebih
hebat dari Adam dan lebih kuat dari Adam, kenapa disuruh
sujud kepada Adam ?. Sehingga dia meremehkan Adam. Itulah
penyakit 'ujub dan ghurur. []
|
|