|
- Sejarah dan Filsafat Aza'iyah Husain
- Bashir Rahim
A. Pesan
Lebih dari 1350 tahun yang lalu, pada 10 Muharram, sesaat sebelum Ashar, seorang lelaki
berdiri di lautan pasir di Karbala. Sekujur tubuhnya berdarah yang keluar dari
luka-lukanya. Dia telah kehilangan segalanya. Sejak pagi hari ia telah membawa mayat-mayat
ke dalam kemahnya. Dia bahkan telah menguburkan anaknya yang masih bayi. Dia memandang
mayat-mayat orang kecintaannya.
Air matanya mengalir. Dia menatap langit dan tampak tergambar kekuatan-kekuatan dari
sumber gaib. Kemudian, bagaikan seorang muazin dari menara, ia mengumandangkan suaranya :
Adakah orang yang akan membantu kami ?
Adakah orang yang akan menjawab seruan untuk membantu ?
Dia memalingkan arah dan mengulang seruan tersebut. Dia melakukannya empat kali. Siapakah
yang ia panggil? Sesungguhnya ia tidak mengharapkan siapapun untuk datang membantunya.
Mereka yang ingin membantunya telah berguguran dan mengorbankan nyawa mereka karena alasan
itu. Dia tahu tak ada satu pun yang tersisa. Dia tahu bahwa tidak ada al-Hurr lain. Dan
ia, berusaha keras dan bersusah payah untuk tetap yakin bahwa seruannya bergema di seluruh
penjuru.
Tentu saja seruan itu merupakan seruan kepada seluruh Muslimin di setiap generasi di
setiap negeri. Ia merupakan seruan kepada kita di mana pun kita berada. Ini merupakan
seruan untuk pertolongan. Bantuan menentang Yazidisme yang ada di setiap zaman yang
memunculkan tokoh-tokoh jahatnya untuk menindas keadilan, kebenaran, dan moralitas. Imam
kita menyeru kepada setiap Muslim di setiap ruang dan waktu untuk memerangi Yazidisme,
baik yang ada dalam dirinya sendiri maupun dari kekuatan eksternal. Ini merupakan tangisan
perjuangannya demi jihad akbar. Ia telah mendemonstrasikan bahwa tujuannya selalu dalam
keadaan menciptakan kesadaran spiritual melalui amar makruf nahi munkar. Sekarang beliau
menyeru untuk kelanjutan jihad ini pada aras individu, sosial, dan politik.
B. Asal Usul dan Perkembangan Azaiyah
Kaum Muslimin, khususnya Syi'ah, telah membalas seruan ini dengan lembaga khas dari
azaiyah Husain. Dengan setiap air mata yang kita teteskan untuk beliau, kita
bersumpah menentang tekanan kezaliman, imoralitas, perbedaan, dan kepalsuan. Setiap kali
kita angkat tangan kita dan memukulkannya ke dada kita dalam matam, kita ucapkan :
"Labbaik, labbaik, Ya Mawla!" kepada Imam kita, Husain bin Ali, cucunda Nabi
Suci Saww.
Untuk waktu yang lama kata azaiyah Husain telah digunakan secara khusus dalam
kaitannya dengan upacara peringatan syahadah Imam Husain. Azaiyah Husain mencakup
upacara ziarah ratapan, matam dan tindakan-tindakan yang serupa yang mengungkapkan
perasaan sedih kemarahan dan di atas semuanya, penentangan terhadap apa Yazid lakukan.
Emosi-emosi ini, bagaimanapun, menyisakan kesia-siaan dan kemunafikan kecuali digabungkan
dengan kehendak untuk mereformasi baik di tingkat individu maupun tingkat masyarakat.
Istilah majlis mempunyai pengertian gramatikal dan pengertian yang berkaitan dengan
azaiyah Husain. Dalam arti teknis, majlis artinya pertemuan, atau perkumpulan.
Dengan merujuk kepada azaiyah Husain, ia berarti pertemuan untuk meratapi Imam
Husain. Dalam arti pertama ini digunakan pertama kalinya oleh Imam Keenam kita, Ja'far
Shadiq as. Diriwayatkan bahwa sahabatnya Fudhail bin Yasir datang untuk menyampaikan
salamnya kepada Imam Suci.
Setelah saling bertukar salam, Imam bertanya kepada : "Apakah orang-orang Anda pernah
mengadakan majlis-majlis guna mengenang syahadah Imam Husain?" Fudhail, dengan
meneteskan air matanya, menjawab : "Wahai putra Rasulullah, sesungguhnya kami
melakukannya." Imam berkata : "Semoga Allah merahmati Anda. Aku sangat
menghargai majlis-majlis seperti itu."
Pada kesempatan lain, penyair Ja'far bin Ifan membacakan sebuah syair di hadapan Imam
Shadiq tentang tragedi Karbala. Imam mulai menangis secara tidak terkontrol. Kemudian
beliau mengomentari syair tersebut dengan kata-kata berikut : "Wahai Iffan,
janganlah engkau mengira bahwa hanya mereka yang bisa melihatmu di sini yang mendengar
syairmu. Sesungguhnya malaikat Allah yang terdekat hadir di sini, di majlis ini dan mereka
semua mendengarkan bacaanmu dan mereka juga meratap dan menangis. Semoga Allah merahmatimu
berkat apa yang telah kaubacakan. Insya Allah, Dia akan membalasmu dengan surga atas
usahamu atas nama kami."
Azaiyah Husain merupakan suatu fenomena yang mencengkeram kesadaran kaum Muslim
segera setelah tragedi Karbala.
Majlis Husain pertama diselenggarakan di sebuah pasar di Kufah oleh seorang wanita yang
dari kepalanya yang berhijab terkoyak-koyak, harapan dan aspirasi telah dihancurkan di
gurun berlumur darah Karbala namun memiliki spirit yang tidak putus-putusnya melangkah
maju untuk membebaskan nilai-nilai Islam dari kesemena-menaan tirani dan penindasan.
Wanita ini merupakan orang pertama yang menjawab seruan Imam Husain. Berdiri di atas
untanya yang tidak berpelana, dia menatap kepada puncak kegemilangan kejayaan Yazid.
Segera orang-orang melihatnya, lantas mereka diam. Mereka tahu bahwa sebuah peristiwa
sejarah atas Kufah telah datang. Dengan menatap lurus-lurus kepada orang-orang, putri Ali
itu berkata :
"Celakalah atas kalian, wahai penduduk Kufah. Apakah kalian tahu potongan-potongan
hati Muhammad yang telah kalian bantai ! Bai'at yang telah kalian putuskan ! Darah yang
telah kalian tumpahkan ! Kehormatan yang telah kalian musnahkan ! Itu bukan semata-mata
Husain yang tubuhnya yang tak berkepala tidak dikubur di gurun Karbala. Itu adalah jantung
Nabi Suci. Ia adalah jiwa sejati Islam."
Majlis pertama itu menyentuh dan menggerakkan penduduk Kufah begitu dalam yang akhirnya
melahirkan gerakan Al-Tawwabun [Orang-orang yang Bertaubat] dan tuntutan Al-Mukhtar
untuk balas dendam.
Sepuluh hari setelah Asyura, seorang utusan Yazid tiba di Madinah. Namanya Abdul Malik bin
Abi Al-Harits Al-Sulami. Dia datang untuk menyuruh Gubernur [Madinah] Amr bin Said Al-Aas
bahwa Husain bin Ali telah dibunuh di Karbala. Sang gubernur, yang lebih menyadari suasana
masyarakat, yang ia sendiri tidak sanggup menyampaikan berita itu kepada umum selain Abdul
Malik, yang jika ia harapkan, dapat membuat pengumuman tentang itu. Abdul Malik
menyampaikan berita itu setelah shalat Subuh.
Ratapan dan tangisan yang panjang bermula dari rumah-rumah Bani Hasyim sehingga
menggetarkan setiap dinding Masjid Al-Haram. Zainab, Ummi Luqman, putri Aqil bin Abi
Thalib keluar berseru : " Apa yang akan kalian katakan tatkala Nabi menanyai kalian :
'Apa yang telah kalian lakukan, wahai umat terakhir, terhadap anak cucu dan keluargaku
sepeninggalku ? Sebagian mereka menjadi tawanan dan sebagian mereka roboh terbunuh,
berlumuran darah. Apa balasan risalah ini sehingga kalian tidak menaatiku dengan menindas
anak cucuku ?".Fatimah binti Huzam, yang juga disebut Ummul Banin, menggendong
cucunya Ubaidillah bin Abbas dan bersiap hendak keluar. Ketika ditanyakan kemana dia akan
pergi, dia menjawab akan membawa yatimnya Abbas untuk memintakan simpati kepada ibu
Husain. Marwan bin Hakam melaporkan bahwa setiap petang para lelaki dan wanita bergerombol
menuju jannatul baqi dan mengadakan peringatan tragedi Karbala dan ratap tangis terdengar
sampai beberapa mil jauhnya.
Ketika para tawanan akhirnya dilepaskan oleh Yazid, mereka meminta keleluasaan untuk
menjalankan ritual peringatan di Damaskus. Sebuah rumah dibuat untuk mereka dan
azaiyah Husain berlanjut selama lebih dari seminggu. Sebagaimana Hazhrat Musa
Kalimullah muncul dari istana musuh Allah, Firaun, Bibi Zainab meletakkan landasan
azaiyah Husain di ibu kota kerajaan pembunuhnya!.
Ketika mereka kembali ke Madinah, Bibi Zainab mengambil alih pimpinan azaiyah Husain
di kota Nabi Suci. Ini membangkitkan emosi yang begitu kuat pada masyarakat dan kutukan
terhadap penindas sehingga Amr bin Said bin Al-Aas menulis surat kepada Yazid untuk
memerintahkan pengusiran Bibi Zainab dari Madinah. Perintah pengusiran tersebut
dilaksanakan pada awal tahun 62 H. Bibi Zainab wafat tidak lama kemudian. Imam ke-4 dan
ke-5 keduanya memberi dukungan besar terhadap peringatan azaiyah Husain. Pada masa
mereka azaiyah Husain dilaksanakan secara rahasia karena pemerintah menentang segala
bentuk peringatan peristiwa Karbala. Penyair-penyair yang merangkai bait-bait syair dan
para pengikut imam yang setia dengan penuh perhatian berkumpul ketika bait-bait syair
tersebut dibacakan tanpa mempedulikan resikonya terhadap hidup mereka. Begitulah, para
penyair terus menerus menuangkan emosi mereka dalam bentuk syair.
Beberapa dari syair-syair ini masih tetap bertahan hingga hari ini dan orang dapat melihat
kentalnya keyakinan dan kesedihan suci dalam untaian kata para penyair. Secara
berangsur-angsur, lembaga ziarah ini terbentuk. Orang-orang mengunjungi makam para syuhada
dan di sana melaksanak azaiyah Husain. Para Imam kita menuliskan untuk mereka doa
ziarah untuk dibacakan. Salah satu doa ziarah ini dibaca oleh kita dan dikenal sebagai doa
Ziarah Waritsa. Ketika kita menelaah Ziarah Waritsa ini, kita dapat melihat
tidak hanya pengakuan akan kebesaran Imam Husain dan alasan gerakannya yang melukiskan
pengorbanannya karena Allah semata, melainkan juga sebuah janji suci dan sebuah komitmen
bagi pembacanya :
'Dan aku jadikan Allah, Malaikat-Nya, Nabi-Nya, dan Rasul-Nya, sebagai saksi kepada Al-Haq
bahwa sungguh aku percaya pada Imam Husain dan kembaliku kepada Allah. Aku juga percaya
pada hukum Allah dan pembalasan bagi perbuatan manusia. Aku telah serahkan hasrat hatiku
kepada hatinya (Imam Husain a.s.) dan aku bersungguh-sungguh taat kepadanya dan (berjanji
untuk mengikuti segala perintahnya)".
Tentu saja, usaha ini tidak dimaksudkan oleh para imam sebagai ritual kosong belaka.
Pembacaan Ziarah Waritsa adalah sebuah komitmen terhadap peristiwa Imam Husain a.s.
yang dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah, para malaikat-Nya, para nabi dan rasul-Nya,
danpenuh perhatian terhadap perhitungan akhir perbuatan manusia. Orang harus senantiasa
mencerminkan keseriusan dan kesetian terhadap janji ini.
Sampai masa ghaibah kubra (kegaiban besar), kita dapatkan Imam selalu memberi semangat
untuk azaiyah Husain. Mereka melihat pada azaiyah Husain ini tidak hanya
sekadar sebuah demonstrasi kesedihan terhadap Imam Husain dan para syuhada Karbala namun
juga sebuah pembaharuan komitmen seseorang kepada Allah dan hukum-hukum-Nya sebagaimana
diterangkan dalam Al-Quran dan Hadis.
Kita harus merekam perkataan para naib [yakni empat wakil Imam Mahdi yang resmi
ditunjuk oleh beliau sendiri red.] selama ghaib shugra [kegaiban kecil] yang
menjelaskan dan mendukung azaiyah Husain. Dari tahun 329 H para fuqaha dan para
ulama setelahnya mengambil alih atas dirinya untuk menyebarluaskan pesan-pesan Karbala.
Syeikh Ibn Babawayh Al-Qummi yang lebih dikenal sebagai Syaikh Shaduq yang wafat pada
tahun 381 H adalah ulama pertama yang telah memperkenalkan prosesi tersebut sebagai media
penyampai pesan-pesan Imam Husain. Dia biasa berdiri di atas mimbar dan berbicara secara
spontan sementara para muridnya duduk di samping mimbar dan mencatat khutbahnya.
Khutbah-khutbah beliau masih tersimpan dan hingga hari ini dikenal sebagai Amali (diktat)
Syaikh Shaduq.
Demonstrasi kesedihan umum pertama kali terjadi pada tahun 351 H pada tanggal 10 Muharram,
terjadi prosesi spontanitas di jalan-jalan kota Baghdad dan ribuan lelaki, wanita daan
anak-anak keluar menyerukan Ya Husain! Ya Husain! memukul-mukul dada mereka
dan membacakan syair-syair sedih.
Pada tahun yang sama, sebuah prosesi yang serupa dilaksanakan di Mesir. Pemerintah sekuat
tenagamencoba meredam gelombang massa tersebut tetapi gagal. Dalam waktu singkat
azaiyah Husain menjadi sebuah lembaga yang mengakar kuat dalam dada kaum Muslimin.
Majlis terserap ke dalam suatu lembaga amal makruf nahi munkar sebagai peringatan terhadap
peristiwa tragis tersebut.
Bersama dengan penyebaran Islam, beberapa budaya berbeda mengadopsi model-model yang
beragam azaiyah Husain. Taimur Lang memperkenalkan lembaga Tabut dan Alam
di India. Bersamaan dengan penyebaran Islam ke anak benua belahan selatan, bentuk itu
berubah menyebar sesuai dengan aturan nilai budaya lokal sehingga dapat menyampaikan
pesan-pesan Karbala melalui media yang dapat diterima oleh masyarakat pribumi, baik Muslim
maupun Kristen.
Pada awal abad ke-19, tidak ada sudut dunia ini, dari Spanyol sampai Indocina, yang tidak
mempunyai bentuk peringatan 10 Muharram yang sama.
Bentuk-bentuk tersebut bervariasi dari negara ke negara. Di Iran, bentuk yang paling
populer berupa drama sebagai suatu medium untuk menyampaikan pesan Karbala di samping
majlis-majlis dari mimbar.
Di India, upacara Asyura menjadi bagian dari kebudayaan Muslim India. Bahkan kaum Hindu
berpartisipasi dalam acara ini. Maharaja Gwalior sering terlihat berjalan dengan telanjang
kaki di belakang Hazhrat Abbas dan tanpa pengawalan dari kantor pusatnya. Marthiya dan
majlis-majlis berpengaruh kuat di kalangan masyarakat Muslim yang menolong memperkuat
tidak hanya keyakinan Islam mereka namun juga tujuan politik mereka. Sejarah mencatat
bahwa bahkan Gandhi pun pada perjalanan protesnya yang terkenal menentang penindasan
Kerajaan Inggris mengajak 72 orang bersamanya terinspirasi oleh protes Imam Husain
terhadap penindasan Yazid.
C.Pentingnya Azaiyah
Kalimat berikut adalah kutipan dari pesan dan wasiat terakhir dari Almarhum Ayatullah
Ruhullah Khumaini r.a. yang begitu menyentuh dan berkesan :
Ingatan terhadap peristiwa perjuangan agung ini (Asyura) harus tetap hidup. Ingatlah,
ratap tangis dan kutukan muncul disebabkan kekejaman rezim kekhalifahan Bani Umayyah
terhadap para Imam suci, dicerminkan dalam protes heroik menentang para tiran yang kejam
selama berabad-berabad. Ini penting bahwa kejahatan para tiran pada setiap masa dan era
ditandai dalam ratap tangis dan pembacaan syair-syair yang diperuntukkan bagi para
Imam.
Kemanapun orang-orang Syiah pergi mereka telah membawa bersamanya bentuk-bentuk budaya
dari azaiyah Husain sebagaimana dipraktikkan di negeri asal mereka. Hari ini,
azaiyah Husain dalam satu bentuk ataupun bentuk lainnya, dapat dilihat di seluruh
penjuru dunia.
Azaiyah Husain adalah sebuah lembaga yang penting dan kita harus memastikan bahwa
lembaga ini akan tetap hidup guna menjaga dan memelihara pesan-pesan Islam pada setiap
diri kita dan agar anak-anak kita dan keturunannya tetap ingat kepada peristiwa Imam
Husain a.s.
D. Azaiyah pada tingkat Personal
Kita tidak boleh kehilangan pandangan fakta bahwa bentuk azaiyah Husain dapat
mencerminkan budaya pribumi setempat, meskipun intisari dari azaiyah Husain harus
senantiasa menjadi peringatan kesyahidan Imam Husain dan meneruskan kebaktian kita kepada
perjuangannya.
Selalu ada bahaya jika bentuk tersebut muncul bertentangan dengan norma setempat dan terus
menerus tidak lengkap kepada generasi muda atau kepada masyarakat pribumi yang kepada
mereka kita menginginkan kesan dari pesan-pesan Karbala, substansi tersebut
berangsur-angsur mungkin akan kehilangan maknanya. Struktur dari substansi tersebut tanpa
kecuali teregantung kepada penerimaan bentuknya.
Sepanjang sejarah bentuk azaiyah Husain senantiasa mengalami perubahan untuk
menampung norma-norma setempat. Oleh karenanya, kita perlu keseriusan guna mengevaluasi
kembali bentuk-bentuk tersebut dengan maksud untuk meyakinkan bahwa kita dapat melanjutkan
kepada anak cucu kita substansi dari azaiyah Husain dalam keadaannya yang asli dan
juga membuat azaiyah Husain sebagai sebuah instrumen tabligh yang sangat menarik.
Kita wajib menggantungkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya untuk meyakinkan bahwa anak cucu
kita tumbuh besar dengan menerima azaiyah Husain bukan hanya sekedar kegiatan
ritual, tidak juga sebagai cara untuk bertobat, tetapi sebagai sebuah komitmen serius
kepada nilai-nilai asasi Islam.
Dr. Liyakat Takim dalam pembicaraannya di Toronto pada saat hari terakhir Imam Husain
membuat pernyataan ini : Pesan Imam Husain hanya bisa terpahami ketika kita
menyimpan dalam benak kita prinsip-prinsip Al-Quran tentang tauhid yang menuntut komitmen
teguh kita kepada Allah semata.
Saya menerima bahwa tidak semua kita dapat tiba-tiba memenuhi atau meneguhkan komitmen.
Tetapi ketika hari Asyura, setelah melakukan amal kita atau ketika ziarah dibacakan
setelah azaiyah, masing-masing kita berjanji, dengan nama Husain bin Ali,
menghentikan setiap perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam betapa kita menjadi
sebuah komunitas yang kuat dan betapa kita akan meninggalkan kepada anak cucu kita warisan
yang sangat berharga !! Ini dalam pendapat saya akan menjadi azaiyah Husain yang
terbaik!
E. Azaiyah sebagai alat tabligh
Merupakan tugas kita menyampaikan pesan Imam Husain kepada penduduk setempat pada setiap
negeri yang kita diami. Kita hanya bisa berhasil dalam tugas ini hanya jika kita sendiri
menunjukkan sebagai pengikut-pengikut sejati Imam dalam seluruh interaksi kita dengan
masyarakat luas. Kita harus mencerminkan integritas maksimal, nilai-nilai Islam, serta
komitmen kita yang tulus kepada Imam. Kita tidak mungkin membuat komitmen yang diabadikan
dalam Ziarah Waritsa tanpa niat sama sekali menghargai komitmen tersebut.
Prosesi ini tentu saja merupakan lembaga yang secara efektif digunakan di negeri-negeri
Timur dan Afrika. Kita mesti meyakinkan diri kita bahwa lembaga ini bisa sama-sama efektif
di Barat. Jika tidak, kita mesti mengembangkan makna-makna lain dari penunaian pesan Imam
kepada orang-orang. Kita harus melakukan aktivitas-aktivitas seperti :
- Donor darah melalui Bank Darah Husain
- Membagikan makanan kepada yang membutuhkan
- Memanfaatkan media secara maksimal untuk menjelaskan peristiwa dan fakta Imam Suci yang
terbunuh demi menyelamatkan nilai-nilai mendasar yang dihargai oleh seluruh masyarakat.
- Menerbitkan dan menyebarkan selebaran-selebaran
- Membagikan minuman-minuman dingin di sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya
- Menjenguk para pasien di rumah-rumah sakit dengan hadiah-hadiah bunga. Anda bisa
menemukan bahwa ketika membawakan hadiah kecil untuk seorang pasien di rumah sakit,
niscaya Anda telah membawa pesan Imam Husain kepada seluruh keluarga pasien itu.
Semua anjuran ini didasarkan pada lembaga umum sabil yang kita masih
mengadakannya di Timur dan Afrika. Meskipun meratap adalah penting, mungkin kita harus
membatasi itu dengan penahan Imambargah kita, dan mendfemonstrasikan semangat sejati dari
kedermawanan Imam Husain ketika beliau memerintahkan Hazhrat Abbas memberikan air kepada
Al-Hurr dan pasukannya. Barangkali kita juga menyaksikan sejumlah besar gerakan menuju
Islam dan Imam Husain.
F. Zakiri dan Presentasi sejarah
Saya memohon, dengan permintaan yang sangat, untuk memberikan kata-kata peringatan kepada
semua sejawat zakir saya.
Pernyataan yang berlebih-lebihan hanyalah bisa mendiskreditkan kita dan maksud Imam
Husain. Laporan-laporan sejarah harus diikuti meskipun di saat-saat tertentu, dalam
kecemasa kita untuk membangkitan emosi, kita terpaksa melakukan pernyataan-pernyataan
berlebih-lebihan. Kita telah mempunyai sejarah tercatat sebagai pedoman; sedangkan akal
dan logika kita sebagai pembatas kita sebagaimana dilakukan sebagian besar ulama dan
fuqaha kita.
Abu Mikhnaf merupakan sejarawan paling awal yang mengutip pernyataan-pernyataan dari para
saksi mata yang disusun dalam maqtalnya. Terdapat dalam masa kita sekarang ini sebuah
kitab berbahasa Arab yang disebut Maqtal Abi Mikhnaf. Adalah disangsikan apakah ini adalah
naskah asli atau bukan, tetapi bagaimanapun kita mempunyai kutipan yang diriwayatkan oleh
Thabari dan sejarawan lainnya. Kita, para zakirin, telah bersandar kepada berbagai
sumber-sumber terutama Bihar Al-Anwar-nya Al-Majlisi dan selainnya. Beberapa buku
yang bagus dalam bahasa Inggris tersedia untuk pembahasan ini. Maulana Sayyid Muhammad
Ridhwi adalah penyusun sebuah buku yang memuat beberapa artikel yang sangat menarik
berhubungan dengan sejarah tragedi Karbala. Lalu ada juga Al-Irsyad-nya Syeikh
Mufid r.a.
Memperluas kesimpulan tertentu dari fakta-fakta yang diketahui adalah, menurut pendapat
saya dan pendapat para ulama, tidak dapat disanggah. Sebagai contoh penggambaran emosi
alamiah manusia, meskipun tidak diriwayatkan secara rinci dapat diperluas jika gambaran
tersebut berada dalam batasan akal dan tidak menyimpang dari karakter orang-orang yang
terlibat.
Beberapa orang maqaatil dapat melakukan kesaalahan berkenaan dengan
pernyataan-pernyataan tertentu sebagai contoh, Thabari mencatat bahwa umur Imam Zainal
Abidin a.s. dipertanyakan di Kufah dan beliau diuji untuk menentukan apakah ia telah
mencapai bulugh (lihat Sejarah Al-Thabari, jilid XIX halaman 166). Syeikh Mufid
menyatakan umur Imam keempat pada waktu itu adalah 23 tahun. Pada umur ini masyhur bahwa
Imam telah menikah dan mempunyai seorang anak.
Terdapat banyak kontradiksi dalam maqaatil tetapi ini bukan berarti bahwa kita harus
menolak setiap riwayat berkenaan dengan itu. Peristiwa rinci, dan kadang nama-nama yang
terlibat di dalamnya, adalah sangat sulit untuk direkam secara akurat bahkan oleh riwayat
seorang yang jujur dan perawi yang sangat teliti secara serentak sebagaimana peristiwa
sebenarnya. Abu Mikhnaf memulai mengumpulkan sejarahnya, kebanyakan melalui cerita saksi
mata lebih kurang 25 setelah tragedi tersebut. Ini penting bagi kita menjadi selektif agar
senantiasa tetap berada dalam batas-batas akal. Agar dapat lebih selektif, kita harus
mengetahui bahan sejarah apakah yang tersedia dan di mana kita dapat menemukannya.
Adalah bukan dalam cakupan artikel ini untuk mempersoalkan semua sumber sejarah. Saya
hendak merujukkan pembaca kepada buku S.H.M. Jafri, The Origins and Early Development
of Shia Islam, Bab 7 [Dalam edisi berbahasa Indonesia Dari Saqifah Hingga
Imamah : Asal-usul dan Perkembangan Islam Syiah, terbitan Pustaka Hidayah,
Jakarta red.] Saya juga hendak merujukkan pembaca yang tertarik dengan pembahasan
ini kepada karya-karya lain berikut ini :
Jilid tertentu dari Thabari yang telah disebutkan di atas Al-Irsyad oleh Syeikh Mufid.
Artikel tentang Imam Husain oleh Veccia Vaghliers dalam Encyclopedia of Islam yang
banyak di dasarkan pada catatan Baladzuri.
G. Tujuan
Kita harus ingat bahwa hari ke-10 Muharram adalah sebuah periode yang penuh emosi dan
emosi ini telah diramaikan oleh para ahli mimbar untuk : (1) mengantarkan pesan-pesan
Karbala; (2) membangunkan kebencian terhadap semua yang dilakukan Yazid; dan (3)
memperbaharui kembali sebuah komitmen kepada Islam sebagaimana didakwahkan oleh Ahlul Bait
dan bagi tujuan yang mana Imam Husain telah curahkan seluruh hidupnya.
Kita tidak dapat mengabadikan ilusi bahwa azaiyah Husain bermakna hanya sekadar
beberapa tetes air mata, matam and prosesi-prosesi. Ini semua adalah cara dan bukan
akhir. Hal-hal tersebut hanya bermakna jika dapat membimbing kita menjadi seorang
Syiah yang lebih baik daripada kita pada tahun yang lalu.
Jika kita kehilangan pandangan terhadap tujuan-tujuan tersebut, kita mungkin menemukan
diri kita bertanggung jawab karena melupkan dan mengabaikan peristiwa yang mana para Imam
kita telah berkorban begitu banyak !.
Imam Husain sendiri menasihati kaum muslimin yang mengaku sebagai seorang Syiah agar
takut kepada Allah dan tidak membuat sebuah klaim palsu kalau pada hari kebangkitan nanti
dia dibangkitkan bersama para pendusta. Syiah kami, Imam
menambahkan,adalah orang yang hatinya suci dari kejahatan, penipuan, dan
penyelewengan. Perkataannya dan perbuatannya adalah hanya untuk mendapatkan ridha
Allah.
Kita harus selama sepuluh hari pertama Muharram yang akan datang ini menetapkan sikap
terhadap pertanyaan ini kepada diri kita dengan segala kesungguhan. Apakah kita siap
membuat komitmen kepada tujuan-tujuan Imam Husain atau apakah kita bersedia melanjutkan
dengan penuh keikhlasan pada keadaan kita saat ini, menunaikan apa yang dapat digambarkan
dengan baik sebagai sebuah basa-basi terhadap kesyahidan beliau dengan hanya menunjukkan
tangis saja ??
Seraya saya berdoa agar kita mulai, sebagaimana kita harus, mengerti filosofi dari
azaiyah Husain dan membuat suatu komitmen serius terhadap tujuan-tujuan dari Sang
Pemuka Para syuhada, saya betul-betul berharap bahwa tidak akan pernah terjadi di suatu
zaman ketika majlis-majlis digantikan oleh kuliah klinis mengabaikan semua emosi ! Akal
ketika didukung oleh emosi memiliki efek yang lebih berkesan, dan dan terakhir sekali
bahwa sebagai sebuah balasan secara rasional dari pesan Nabi Suci, beliau diberitahukan
Allah agar tidak meminta balasan selain cinta kepada Ahlul Bait. Cinta, selama menjadi
sebuah daya emosi, menjadi kemunafikan jika seseorang gagal untuk mengenali dan mengikuti
keinginan dari orang yang dicintai.
Semoga seluruh Muharram kita menjadi demonstrasi dari kecintaan kita, dan sebuah titik
temu emosi, akal, dan komitmen kepada Imam Husain a.s.
Referensi :
- Kitab Al-Irshad oleh Shaykh Mufid
- The History of Tabari, edisi berbahasa Inggris, jilid 19
- The Rising of al-Husayn oleh Shaykh Muhammad Mahdi Shams al-Deen
- Imam Husayn, the Saviour of Islam oleh Maulana Sayyid Muhammad Rizvi
- Al-Serat the Imam Husayn Conference Number, diterbitkan oleh the Muhammadi Trust,
July 1984.
- The Origins and Early Development of Shi'a Islam, oleh S.H.M. Jafri
- Al-Tawhid, Vol. II No.1, editorial.
- Al Tawhid, Vol. XIII, No. 3, halaman 41 sampai 74, yang mengutip artikel karya Syahid
Murtadha Muthaharri yang berjudul "Ashura : History and Popular Legend"
- The History of Azadari diterbitkan oleh Peermahomed Trust.
|
|