BULETIN AL-JAWAD [edisi ke-2/tahun x/shafar - rabiul awal 1421 hijriah]

Apa Arti Sebuah Nama (Lambang) ?
Ust. Husein Al-Kaff

"Apa Arti Sebuah Nama (Lambang)?",Begitulah kata sastrawaan kenamaan abad pertengahan, William Shakespeare. Dalam tulisan ini, kami tidak bermaksud menyoroti apa yang dikatakan Shakespeare. Tapi sekedar meminjam kata-kata itu untuk judul tulisan ini. Kalau kami boleh menjawab, Apa arti sebuah nama ? Kami katakan,      " Nama sangat berarti ".Karena tanpa nama-nama manusia tidak bisa berkomunikasi dengan sesama manusia. Nama berperan sebagai pengantar dan penghubung apa yang ingin dikatakan seseorang kepada orang lain. Memberikan nama pada segala sesuatu merupakan ciri khas dari makhluk yang bernama manusia, dan karena nama pula manusia lebih mulia dari makhluk yang lain. Allah swt. setelah menyempurnakan bentuk manusia secara fisik, mengajarkan kepadanya nama-nama. " Dan ( Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya " (QS: Al Baqarah 31). Para ahli tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nama-nama ( al asma') dalam ayat ini adalah hal-hal yang mempunyai nama ( al musammayaat ). Benar sekali, bahwa tanpa ada yang dinamai, maka sebuah nama tidak berarti, bahkan tidak akan ada. Nama sekedar lebel untuk sesuatu sehingga manusia bisa menyebutnya dan mentranformasikannya dengan mudah kepada orang lain.

Sehubungan dengan ayat di atas, muncul sebuah pertanyaan, bagaimana Allah mengajarkan kepada Adam as. nama-nama semua itu, apakah dengan kata-kata satu persatu, sebagaimana kita belajar, atau dengan metode tertentu? Sudah bisa dipastikan, bahwa tidak mungkin secara rasio Allah swt. mengajar Adam dengan cara yang biasa berlaku di tengah manusia biasa. Karena hal itu bertentangan dengan ke-Maha Suci-an dan ke-Maha besar-an Allah swt.  Methode pengajarannya  sesuai dengan ke-Maha Tinggi-annya Allah swt.

Jadi nama hanya berperan sebagai pengantar. Oleh karena itu, jangan sampai nama itu menjadi penyebab perselisihan. Seringkali para ulama menyebutka ungkapan,     " laa musaahata fil ishthilah "   (tidak perlu kita berdebat panjang dalam istilah atau penamaan ).

Diceritakan bahwa ada dua orang dari dua kelompok manusia yang berbeda bahasanya mengadakan perjalanan. Mereka sampai ke sebuah pasar dengan bekal uang yang pas-pasan. Dengan uang yang ada itu, mereka ingin   membeli sesuatu yang paling dibutuhkan. Yang satu mengatakan, "Dengan uang yang ada ini  sebaiknya kita membeli khubuz ( bahasa Arab) ". Yang satu lagi mengatakan, "Tidak. Kita sebaiknya membeli  nun   (bahasa Persia) ". Mereka ribut berdebat dalam mempertahankan pendapatnya masing-masing. Sesampainya mereka di toko, mereka  menunjuk pada benda yang sama, yaitu roti.  Perdebatan yang melelahkan itu hanya karena perbedaan nama atau istilah.

Ilustrasi sederhana tadi menggambarkan bahwa seringkali manusia berdebat panjang dan bermusuhan hanya karena perbedaan dalam nama dan istilah untuk  makna yang sama, atau karena kesamaan nama untuk dua makna yang berbeda. Ada sebuah contoh untuk sebab kedua munculnya perselisihan, yaitu  perdebatan panjang antara para mutakallim dengan para failusuf Islam tentang, Apakah ada sesuatu yang " qadiim " selain Allah swt ?. Para mutakallim berpendapat bahwa yang qadiim hanya Allah dan selainNya adalah haadist.  Para failusuf berpendapat bahwa selain Allah juga ada yang qadiim, seperti  'aql awwal (akal pertama ). Buah dari perbedaan ini adalah, menurut para mutakallim, bahwa para failusuf itu musyrik karena mereka menganggap ada sesuatu selain Allah swt. sama denganNya dalam memiliki sifat qadiim. Dan para failusuf menuduh para mutakallim telah melecehkan Allah swt. sebagai Illat (Sebab) yang sempurna. Para failusuf meyakini bahwa Allah adalah Illat yang sempurna, maka secara niscaya akan mewujud ma'lul ( akibat-ciptaann)-Nya secara bersamaan denganNya. Kalau tidak, berarti Dia bukan Illat yang sempurna.

Sebenarnya saling mengkafirkan tidak perlu terjadi, kalau kedua kelompok itu memahami maksud dari istilah yang dipakai oleh lawan debatnya. Yang dimaksud qadiim oleh para mutakallim adalah qadiim dzati ( sesuatu yang tidak pernah tiada ). Sedangkan qadiim yang dimaksud oleh para failusuf adalah qadiim zamani. Tentu ada perdebatan lain yang lebih komplek dari ini yang berhubungan dengan qadiim juga, yang tidak perlu dikemukakan di sini.

Contoh lain, dalam sejarah khazanah intelektual Islam pernah muncul perdebatan theologis  yang sangat serius, yang mengakibatkan Imam Ahmad bin Hanbal, pemimpin kaum Salaf dibunuh oleh Khalifah al Makmun dari dinasti Abbasiyah. Waktu itu, ada dua pandangan tentang kalamullah, apakah qadiim atau bukan ?. Kaum Muktazilah, yang dikenal dengan kelompok rasionalis, berpendapat bahwa kalamullah adalah haadist atau makhluk. Kebalikan dari mereka, kaum Salaf dan Asy'ariyyah berpendapat bahwa kalamullah adalah qadiim. Kami tidak akan menjelaskan argumen  masing-masing dalam mempertahankan pandangan mereka. Tetapi yang ingin kami soroti adalah tentang apa sebenarnya makna dari kalam atau kalimat itu sendiri.   Al Qur'an acapkali menggunakan kata " kalimat dan kalam " tidak dalam pengertian " kata-kata " dan " kalimat " yang biasa kita pakai. Misalnya ayat yang berbunyi, "Katakanlah, seandainya laut itu tinta untuk kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya air laut itu habis sebelum kalima-kalimat Tuhanku habis, meskipun Kami datangkan lagi lautan tinta seperti itu". (QS: Al Kahfi 109 ), juga ayat: " Dan seandainya pohon-pohon yang ada di bumi itu pensil-pensil sedangkan lautan dan ditambah tujuh lautan lagi (sebagai tinta ), maka kalimat-kalimat Allah tidak habis. Sesungguhnya Allah Maha Mulia lagi Maha Bijaksana ". ( QS: Luqman 27 )                               

 Kalimat dalam kedua ayat ini tidak mungkin diartikan kalimat Qur'an biasa, karena  Qur'an yang berbentuk kalimat telah ditulis dan dicetak berjuta-juta, sementara pensil dan tinta masih siap menunggu gilirannya untuk dipakai menulis Qur'an. Kalimat disini adalah kenikmatan-kenikmatan dan ciptaan-ciptaan Allah swt. Yang tidak pernah habis dan berakhir, karena "Setiap saat  Dia dalam kesibukan (mencipta ) (  QS: Al Rahman 29).

Berhubungan dengan Nabi Isa as., Qur'an berfirman, "Sesungguhnya al Masih Isa  putra Maryam hanyalah utusan Allah dan kalimat-Nya" ( QS: Al Nisa' 171 ). Dalam ayat ini, Nabi Isa as. adalah utusan dan kalimat Allah swt. Bagaimanapun juga, kenikmatan Allah swt. dan Nabi Isa as. adalah ciptaan atau makhluk Allah swt. Kemudian kalamullah dalam arti Qur'an adalah ucapan-Nya, dan ucapanNya tidak lain dari ciptaan-Nya juga.

an kalimat-Nya" ( QS: Al Nisa' 171 ). Dalam ayat ini, Nabi Isa as. adalah utusan dan kalimat Allah swt. Bagaimanapun juga, kenikmatan Allah swt. dan Nabi Isa as. adalah ciptaan atau makhluk Allah swt. Kemudian kalamullah dalam arti Qur'an adalah ucapan-Nya, dan ucapanNya tidak lain dari ciptaan-Nya juga.

 Oleh karena itu, dalam sebuah dialog ilmiah, sebelum masing-masing mengajukan pendapat dan argumentasi yang mendukungnya, terlebih harus dijelaskan maksud dari materi yang akan didiskusikan agar tidak seperti dua orang yang berdebat tentang khubuz dan nun.

Manusia  di dunia ini tidak  lepas dari  pemberian nama. Nama sendiri adalah lambang atau simbol dari sebuah makna. Yang ingin disampaikan manusia bukanlah nama tetapi makna. Makna tersebut diberi lambang dengan kata-kata. Bahasa sendiri merupakan lambang dan simbol. (Untuk demi kemudahan berikutnya kami memilah kata lambang dan simbol, demi kemudahan bahasa)

Kecuali bahasa, lambang juga berperan lebih jauh dari itu. Menurut kaum urafa', dan memang demikian adanya,  bahwa alam secara keseluruhan adalah lambang dari satu wujud yang haqiqi. Mereka menyebut alam dan seisinya sebagai tajalli-tajalli Allah swt. Kata    "'alam" sendiri secara bahasa (linguistik) mengandung arti simbol, sama dengan kata  "qolab" yang berarti tempat mencetak atau yang dicetak.  Filusuf Mutaallih besar, Mulla Shadra ra. membagi wujud pada dua kategori ; wujud dzhilli dan wujud dzu dzhilli. (wujud bayangan dan wujud pemilik bayangan ). Alam, segala sesuatu selain Allah swt.- termasuk akal pertama, malaikat, jin dan lainnya- adalah wujud dzhilli, sedangkan wujud yang satunya  hanya Allah swt. Selayaknya sebuah bayangan dan simbol yang mempunyai ikatan yang kuat dengan pemilik simbol dan bayangan, maka eksistensi alam, sebagai simbol, ayat dan bayangan, mengantarkan manusia untuk mengenal Allah swt. Alqur'an sendiri sering mengajak kita untuk men-tadabburi ciptaan-ciptaanNya; benda-benda di langit, gunung, unta, laut dan bahkan diri kita sendiri. Dan semua itu adalah ayat, tanda dan simbol wujud Allah swt. bagi orang yang berpikir. Sehubungan dengan ini juga, Nabi saww. bersabda, "Barang siapa mengenal dirinya maka mengenal Tuhannya ". Artinya lewat pengenalan diri dan alam sebagai simbol dan ayat , kita akan mengenal Allah swt.

Oleh karena alam ini adalah lambang belaka dan wujud bayangan, maka termasuk ke dalam masalah ini adalah keberagamaan. Islam sebagaimana maknanya, kepasrahan diri kepada Allah swt. penuh dengan lambang dan simbol, baik dalam urusan muamalah maupun 'ubudiyah. Seseoarng ketika mengaku sebagai muslim tidak cukup dengan menyerap substansi Islamnya saja, tetapi juga dia harus mengikuti simbol dan lambang ke-Islam-an. Kalau tidak mengikuti atau menerima simbol dan lambang keislaman, maka dia bukan muslim. Ber-Islam tidak cukup dengan  mengimani Allah swt. dan hari akhirat dan lalu berbuat kebaikan terhadap sesama manusia dan ciptaan-ciptaanNya yang lain, seperti yang kini diyakini kaum humanis, seraya meninggalkan simbol dan lambang ke-Islam-an.  Menerima Islam berarti menerima semua konsekuensi dan, tentunya, resiko dari ajaran-ajaran Islam. Dikotomi pada ajaran-ajaran Islam tidak sesuai dengan perintah Allah swt. "Masuklah kalian ke dalam Islam secara kaaffah ( keseluruhan)".

Beriman kepada Allah swt. harus diteruskan dengan menyembah kepada-Nya menurut cara yang Ia inginkan dan tentukan, tidak menurut cara yang diinginkan manusia. Islam mengkritik cara ibadah kaum paganis (penyembah berhala), yang dianggapnya telah mensekutukan Allah swt. Padahal mereka meyakini Allah swt sebagai Pencipta. Qur'an menjelaskan, "Dan jika kamu bertanya kepada mereka, Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan ?. Mereka pasti mengatakan, 'Allah  (yang telah menciptakan semua itu)' ". ( QS: al 'Ankabut 61).

langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan ?. Mereka pasti mengatakan, 'Allah  (yang telah menciptakan semua itu)' ". ( QS: al 'Ankabut 61). Mereka meyakini wujud Allah yang telah menciptakan alam raya ini, dan mereka sebenarnya menyembah Allah swt., namun dengan cara mereka sendiri. "Tidaklah kami menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah semata ". (QS: al Zumar 3) Kesalahan mereka terletak pada  cara yang dipakai  untuk mengadakan komunikasi dengan-Nya. Islam diturunkan dalam rangka mengajarkan cara yang sesuai dengan kehendak Allah swt. Dan semua aturan dan ajaran Islam, khususnya yang menyangkut masalah ubudiyah, berupa simbol dan lambang. Sholat adalah simbol ketundukan dan pertemuan hamba dengan Allah swt., demikian pula puasa, haji dan lain sebagainya.

Kesimpulan, menggunakan lambang dan simbol dalam beragama sangat penting dan itu menyangkut kepasrahan manusia kepada Sang Pencipta Maha Besar secara total. Dan Allah swt. ingin disembah dengan cara yang Ia tetapkan.


index buletin