|
- Apa Arti Sebuah Nama (Lambang) ?
- Ust. Husein Al-Kaff
"Apa Arti Sebuah Nama (Lambang)?",Begitulah kata
sastrawaan kenamaan abad pertengahan, William Shakespeare. Dalam tulisan ini, kami tidak
bermaksud menyoroti apa yang dikatakan Shakespeare. Tapi sekedar meminjam kata-kata itu
untuk judul tulisan ini. Kalau kami boleh menjawab, Apa arti sebuah nama ? Kami katakan, " Nama sangat berarti
".Karena tanpa nama-nama manusia tidak bisa berkomunikasi dengan sesama manusia. Nama
berperan sebagai pengantar dan penghubung apa yang ingin dikatakan seseorang kepada orang
lain. Memberikan nama pada segala sesuatu merupakan ciri khas dari makhluk yang bernama
manusia, dan karena nama pula manusia lebih mulia dari makhluk yang lain. Allah swt.
setelah menyempurnakan bentuk manusia secara fisik, mengajarkan kepadanya nama-nama.
" Dan ( Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya " (QS: Al Baqarah 31).
Para ahli tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nama-nama ( al asma') dalam ayat
ini adalah hal-hal yang mempunyai nama ( al musammayaat ). Benar sekali, bahwa tanpa ada
yang dinamai, maka sebuah nama tidak berarti, bahkan tidak akan ada. Nama sekedar lebel
untuk sesuatu sehingga manusia bisa menyebutnya dan mentranformasikannya dengan mudah
kepada orang lain.
Sehubungan dengan ayat di atas, muncul sebuah pertanyaan,
bagaimana Allah mengajarkan kepada Adam as. nama-nama semua itu, apakah dengan kata-kata
satu persatu, sebagaimana kita belajar, atau dengan metode tertentu? Sudah bisa
dipastikan, bahwa tidak mungkin secara rasio Allah swt. mengajar Adam dengan cara yang
biasa berlaku di tengah manusia biasa. Karena hal itu bertentangan dengan ke-Maha Suci-an
dan ke-Maha besar-an Allah swt. Methode
pengajarannya sesuai dengan ke-Maha
Tinggi-annya Allah swt.
Jadi nama hanya berperan sebagai pengantar. Oleh karena
itu, jangan sampai nama itu menjadi penyebab perselisihan. Seringkali para ulama
menyebutka ungkapan, "
laa musaahata fil ishthilah " (tidak
perlu kita berdebat panjang dalam istilah atau penamaan ).
Diceritakan bahwa ada dua orang dari dua kelompok manusia
yang berbeda bahasanya mengadakan perjalanan. Mereka sampai ke sebuah pasar dengan bekal
uang yang pas-pasan. Dengan uang yang ada itu, mereka ingin
membeli sesuatu yang paling dibutuhkan. Yang satu mengatakan, "Dengan
uang yang ada ini sebaiknya kita membeli
khubuz ( bahasa Arab) ". Yang satu lagi mengatakan, "Tidak. Kita sebaiknya
membeli nun
(bahasa Persia) ". Mereka ribut berdebat dalam mempertahankan
pendapatnya masing-masing. Sesampainya mereka di toko, mereka menunjuk pada benda yang sama, yaitu roti. Perdebatan yang melelahkan itu hanya karena
perbedaan nama atau istilah.
Ilustrasi sederhana tadi menggambarkan bahwa seringkali
manusia berdebat panjang dan bermusuhan hanya karena perbedaan dalam nama dan istilah
untuk makna yang sama, atau karena kesamaan
nama untuk dua makna yang berbeda. Ada sebuah contoh untuk sebab kedua munculnya
perselisihan, yaitu perdebatan panjang antara
para mutakallim dengan para failusuf Islam tentang, Apakah ada sesuatu yang " qadiim
" selain Allah swt ?. Para mutakallim berpendapat bahwa yang qadiim hanya Allah dan
selainNya adalah haadist. Para failusuf
berpendapat bahwa selain Allah juga ada yang qadiim, seperti 'aql awwal (akal pertama ). Buah dari perbedaan
ini adalah, menurut para mutakallim, bahwa para failusuf itu musyrik karena mereka
menganggap ada sesuatu selain Allah swt. sama denganNya dalam memiliki sifat qadiim. Dan
para failusuf menuduh para mutakallim telah melecehkan Allah swt. sebagai Illat (Sebab)
yang sempurna. Para failusuf meyakini bahwa Allah adalah Illat yang sempurna, maka secara
niscaya akan mewujud ma'lul ( akibat-ciptaann)-Nya secara bersamaan denganNya. Kalau
tidak, berarti Dia bukan Illat yang sempurna.
Sebenarnya saling mengkafirkan tidak perlu terjadi, kalau
kedua kelompok itu memahami maksud dari istilah yang dipakai oleh lawan debatnya. Yang
dimaksud qadiim oleh para mutakallim adalah qadiim dzati ( sesuatu yang tidak pernah tiada
). Sedangkan qadiim yang dimaksud oleh para failusuf adalah qadiim zamani. Tentu ada
perdebatan lain yang lebih komplek dari ini yang berhubungan dengan qadiim juga, yang
tidak perlu dikemukakan di sini.
Contoh lain, dalam sejarah khazanah intelektual Islam
pernah muncul perdebatan theologis yang
sangat serius, yang mengakibatkan Imam Ahmad bin Hanbal, pemimpin kaum Salaf dibunuh oleh
Khalifah al Makmun dari dinasti Abbasiyah. Waktu itu, ada dua pandangan tentang
kalamullah, apakah qadiim atau bukan ?. Kaum Muktazilah, yang dikenal dengan kelompok
rasionalis, berpendapat bahwa kalamullah adalah haadist atau makhluk. Kebalikan dari
mereka, kaum Salaf dan Asy'ariyyah berpendapat bahwa kalamullah adalah qadiim. Kami tidak
akan menjelaskan argumen masing-masing dalam
mempertahankan pandangan mereka. Tetapi yang ingin kami soroti adalah tentang apa
sebenarnya makna dari kalam atau kalimat itu sendiri.
Al Qur'an acapkali menggunakan kata " kalimat dan kalam " tidak
dalam pengertian " kata-kata " dan " kalimat " yang biasa kita pakai.
Misalnya ayat yang berbunyi, "Katakanlah, seandainya laut itu tinta untuk
kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya air laut itu habis sebelum kalima-kalimat Tuhanku habis,
meskipun Kami datangkan lagi lautan tinta seperti itu". (QS: Al Kahfi 109 ), juga
ayat: " Dan seandainya pohon-pohon yang ada di bumi itu pensil-pensil sedangkan
lautan dan ditambah tujuh lautan lagi (sebagai tinta ), maka kalimat-kalimat Allah tidak
habis. Sesungguhnya Allah Maha Mulia lagi Maha Bijaksana ". ( QS: Luqman 27 )
Kalimat dalam
kedua ayat ini tidak mungkin diartikan kalimat Qur'an biasa, karena Qur'an yang berbentuk kalimat telah ditulis dan
dicetak berjuta-juta, sementara pensil dan tinta masih siap menunggu gilirannya untuk
dipakai menulis Qur'an. Kalimat disini adalah kenikmatan-kenikmatan dan ciptaan-ciptaan
Allah swt. Yang tidak pernah habis dan berakhir, karena "Setiap saat Dia dalam kesibukan (mencipta ) ( QS: Al Rahman 29).
Berhubungan dengan Nabi Isa as., Qur'an berfirman,
"Sesungguhnya al Masih Isa putra Maryam
hanyalah utusan Allah dan kalimat-Nya" ( QS: Al Nisa' 171 ). Dalam ayat ini, Nabi Isa
as. adalah utusan dan kalimat Allah swt. Bagaimanapun juga, kenikmatan Allah swt. dan Nabi
Isa as. adalah ciptaan atau makhluk Allah swt. Kemudian kalamullah dalam arti Qur'an
adalah ucapan-Nya, dan ucapanNya tidak lain dari ciptaan-Nya juga.
an kalimat-Nya" ( QS: Al Nisa' 171 ). Dalam ayat ini,
Nabi Isa as. adalah utusan dan kalimat Allah swt. Bagaimanapun juga, kenikmatan Allah swt.
dan Nabi Isa as. adalah ciptaan atau makhluk Allah swt. Kemudian kalamullah dalam arti
Qur'an adalah ucapan-Nya, dan ucapanNya tidak lain dari ciptaan-Nya juga.
Oleh karena
itu, dalam sebuah dialog ilmiah, sebelum masing-masing mengajukan pendapat dan argumentasi
yang mendukungnya, terlebih harus dijelaskan maksud dari materi yang akan didiskusikan
agar tidak seperti dua orang yang berdebat tentang khubuz dan nun.
Manusia di
dunia ini tidak lepas dari pemberian nama. Nama sendiri adalah lambang atau
simbol dari sebuah makna. Yang ingin disampaikan manusia bukanlah nama tetapi makna. Makna
tersebut diberi lambang dengan kata-kata. Bahasa sendiri merupakan lambang dan simbol.
(Untuk demi kemudahan berikutnya kami memilah kata lambang dan simbol, demi kemudahan
bahasa)
Kecuali bahasa, lambang juga berperan lebih jauh dari itu.
Menurut kaum urafa', dan memang demikian adanya, bahwa
alam secara keseluruhan adalah lambang dari satu wujud yang haqiqi. Mereka menyebut alam
dan seisinya sebagai tajalli-tajalli Allah swt. Kata
"'alam" sendiri secara bahasa (linguistik) mengandung arti
simbol, sama dengan kata "qolab"
yang berarti tempat mencetak atau yang dicetak. Filusuf
Mutaallih besar, Mulla Shadra ra. membagi wujud pada dua kategori ; wujud dzhilli dan
wujud dzu dzhilli. (wujud bayangan dan wujud pemilik bayangan ). Alam, segala sesuatu
selain Allah swt.- termasuk akal pertama, malaikat, jin dan lainnya- adalah wujud dzhilli,
sedangkan wujud yang satunya hanya Allah swt.
Selayaknya sebuah bayangan dan simbol yang mempunyai ikatan yang kuat dengan pemilik
simbol dan bayangan, maka eksistensi alam, sebagai simbol, ayat dan bayangan, mengantarkan
manusia untuk mengenal Allah swt. Alqur'an sendiri sering mengajak kita untuk
men-tadabburi ciptaan-ciptaanNya; benda-benda di langit, gunung, unta, laut dan bahkan
diri kita sendiri. Dan semua itu adalah ayat, tanda dan simbol wujud Allah swt. bagi orang
yang berpikir. Sehubungan dengan ini juga, Nabi saww. bersabda, "Barang siapa
mengenal dirinya maka mengenal Tuhannya ". Artinya lewat pengenalan diri dan alam
sebagai simbol dan ayat , kita akan mengenal Allah swt.
Oleh karena alam ini adalah lambang belaka dan wujud
bayangan, maka termasuk ke dalam masalah ini adalah keberagamaan. Islam sebagaimana
maknanya, kepasrahan diri kepada Allah swt. penuh dengan lambang dan simbol, baik dalam
urusan muamalah maupun 'ubudiyah. Seseoarng ketika mengaku sebagai muslim tidak cukup
dengan menyerap substansi Islamnya saja, tetapi juga dia harus mengikuti simbol dan
lambang ke-Islam-an. Kalau tidak mengikuti atau menerima simbol dan lambang keislaman,
maka dia bukan muslim. Ber-Islam tidak cukup dengan mengimani
Allah swt. dan hari akhirat dan lalu berbuat kebaikan terhadap sesama manusia dan
ciptaan-ciptaanNya yang lain, seperti yang kini diyakini kaum humanis, seraya meninggalkan
simbol dan lambang ke-Islam-an. Menerima
Islam berarti menerima semua konsekuensi dan, tentunya, resiko dari ajaran-ajaran Islam.
Dikotomi pada ajaran-ajaran Islam tidak sesuai dengan perintah Allah swt. "Masuklah
kalian ke dalam Islam secara kaaffah ( keseluruhan)".
Beriman kepada Allah swt. harus diteruskan dengan menyembah
kepada-Nya menurut cara yang Ia inginkan dan tentukan, tidak menurut cara yang diinginkan
manusia. Islam mengkritik cara ibadah kaum paganis (penyembah berhala), yang dianggapnya
telah mensekutukan Allah swt. Padahal mereka meyakini Allah swt sebagai Pencipta. Qur'an
menjelaskan, "Dan jika kamu bertanya kepada mereka, Siapakah yang menciptakan langit
dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan ?. Mereka pasti mengatakan, 'Allah (yang telah menciptakan semua itu)' ". ( QS:
al 'Ankabut 61).
langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan ?.
Mereka pasti mengatakan, 'Allah (yang telah
menciptakan semua itu)' ". ( QS: al 'Ankabut 61). Mereka meyakini wujud Allah yang
telah menciptakan alam raya ini, dan mereka sebenarnya menyembah Allah swt., namun dengan
cara mereka sendiri. "Tidaklah kami menyembah mereka melainkan agar mereka
mendekatkan kami kepada Allah semata ". (QS: al Zumar 3) Kesalahan mereka terletak
pada cara yang dipakai untuk mengadakan komunikasi dengan-Nya. Islam
diturunkan dalam rangka mengajarkan cara yang sesuai dengan kehendak Allah swt. Dan semua
aturan dan ajaran Islam, khususnya yang menyangkut masalah ubudiyah, berupa simbol dan
lambang. Sholat adalah simbol ketundukan dan pertemuan hamba dengan Allah swt., demikian
pula puasa, haji dan lain sebagainya.
Kesimpulan, menggunakan lambang dan simbol dalam beragama
sangat penting dan itu menyangkut kepasrahan manusia kepada Sang Pencipta Maha Besar
secara total. Dan Allah swt. ingin disembah dengan cara yang Ia tetapkan. |
|