|
JENJANG - JENJANG SPIRITUAL
Sebuah Pengantar Tentang Irfan
Seperti yang sudah saya jelaskan atau
mungkin belum, bahwa setiap disiplin ilmu itu mempunyai istilah-istilah tersendiri yang
mereka gunakan untuk mempermudah orang-orang yang akan atau sedang mendalami ilmu
tersebut.
Dalam kajian tentang irfan atau tasawuf juga ada beberapa istilah tasawuf
yang mesti diketahui oleh orang yang ingin mempelajari tasawuf. Meskipun mengetahui
istilah tidak berarti telah menguasai atau mengalami irfan.
Saya akan keluar sedikit dari tema pembicaraan. Pernah menantu Imam Khomeini bernama
Sayyidah Fatimah Thabathabai - kalau tidak salah, dia seorang doktor dan dosen di
sebuah Universitas Teheran - meminta kepada Imam Khomeini sebagai mertuanya, untuk
mengajarkan filsafat. Imam Khomeini menjawab dengan sebuah syair berbahasa Persia yang
intinya, bahwa yang sekarang kamu ketahui ini, wahai Fatimah, adalah : fa, lam, sin,
fa, ta saja (maksudnya falsafah). Jadi Anda hanya baru mengetahui kulit atau
istilah-istilah filsafat saja. Anda belum memahami inti dari filsafat.
Dalam irfan atau tasawuf; ada istilah-istilah yang digunakan untuk
menjelaskan latihan-latihan ( riyadhah ) dan pengalaman-pengalaman spritual.
Seseorang bisa saja menguasai istilah-istilah irfan dan tasawuf tetapi belum
tentu dia mengalami dan menjalankan riyadhah. Atau dengan kata lain, ada orang yang ahli
tentang irfan dan ada pula orang arif atau shufi.
Perbedaan ini muncul, diantaranya, karena istilah merupakan bagian dari ilmu hushuli
sedangkan pengalaman-pengalaman spiritual adalah ilmu hudhuri. Syeikh Taqi Misbah
Yazdi dalam menjelaskan kedua macam ilmu ini mengatakan, bahwa ilmu hushuli adalah
ilmu yang diperoleh oleh seseorang melalui media atau perantara. Sedangkan ilmu hudhuri
adalah ilmu yang diperoleh tanpa melalui media dan perantara. Meskipun demikian, bukan
berarti istilah tidak diperlukan. Istilah perlu diketahui guna mempermudah penyampaian
tentang sebuah ilmu pengetahuan, khususnya masalah Tasawuf. Al-Qusyairi, seorang tokoh
sufi, dalam bukunya Risalah Al-Qusyairiyyah sebuah buku yang menjadi
referensi atau rujukan para sufi, baik Sunnah atau Syiah mencantumkan
istilah-istilah yang tidak bisa dipahami kecuali oleh orang yang belajar secara khusus
tentang tasawuf. Ketika ditanya, Mengapa demikian ? Dia menjawab,Saya sengaja
sebutkan istilah-istilah ini supaya tasawuf itu tidak menjadi buku kacangan atau buku
bacaan pengantar tidur.. Oleh karenanya beliau sengaja menaruh istilah-istilah yang
sulit supaya tidak semua orang membacanya dengan sendiri. Mesti ada seseorang yang menjadi
pembimbing dalam memahami istilah-istilah tersebut, atau, paling tidak, seorang yang
hendak membaca irfan, hendaknya memiliki dasar-dasar irfan dan filsafat yang cukup.
Saya kira dalam semua disiplin ilmu juga seperti itu. Dalam ilmu kedokteran misalnya, ada
istilah-istilah yang mereka gunakan yang tidak dipahami oleh kalangan luar mereka. Saya
sebagai orang awam tentang kedokteran, tidak mengerti istilah-istilah kedokteran itu. Itu
adalah hal yang wajar. Mereka, para dokter saja yang memahami istilah-istilah itu. Atau
Anda yang berkecimpung di dunia tekhnik misalnya, juga memahami istilah-istilah tekhnik.
Sangatlah wajar kalau saya tidak memahami istilah-istilah tersebut. Demikian pula halnya
dengan tasawuf. Tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu mempunyai terminologi atau istilah
yang khusus diketahui oleh orang-orang yang belajar tentang itu saja.
Maqaamat dan Ahwaal
Ala kulli hal, secara umum ada dua istilah yang beredar di kalangan urafa,
yaitu maqaamat dan ahwal. Maqaamat ( bentuk jamak dari maqam )adalah
jenjang-jenjang atau tahapan-tahapan spritual. Ahwal atau hal-hal adalah
keadaan spritual yang dialami pesuluk . Dua istilah ini cukup populer di kalangan mereka.
Dalam hampir semua kitab irfan dan tasawuf, mereka menjelaskan tentang maqam-maqam
dan hal-hal. Meskipun dalam penjelasannya berbeda-beda, tetapi intinya sama. Boleh
jadi perbedaan itu karena, mungkin, pengalaman-pengalaman mereka yang tidak sama atau
perbedaan itu muncul karena perbedaan dalam mengungkapkan pengalaman spiritual mereka
ketika berjumpa (liqa') dengan Allah Taala.. Mereka benar semuanya selagi
tidak keluar dari koridor syariat. Apa itu maqaamaat dan apa itu ahwal atau
hal-hal ? Disebutkan dalam kitab Manaazil al Saairiin, bahwa maqaamaat
adalah tahapan-tahapan, atau, disebut juga, manazil yakni jenjang-jenjang spiritual
yang dilalui seorang pesuluk menuju Allah. Seorang pesuluk ketika sampai ke satu jenjang,
dia berhenti sejenak atau beberapa waktu sambil ber-mujahadah dalam jenjang
tersebut, sampai sekiranya Allah SWT mempersiapkan untuknya jalan untuk mencapai jenjang
yang kedua dan jenjang berikutnya. Itulah definisi maqam, yaitu jenjang atau
tahapan yang dilalui oleh seorang pesuluk. Ber-mujahadahpada setiap jenjang
spritual artinya dia bersungguh-sungguh membersihkan hati, mengontrol jiwa, agar tidak
terjerumus dalam kehancuran, dan agar tidak turun kembali dari jenjang yang sudah dilalui.
Kemudian setelah dia istiqomah dalam bermujahadah, Allah mempersiapkan baginya untuk
mencapai maqam berikutnya atau jenjang berikutnya. Dia terus ber-mi'raj dan menaik
dari satu maqam yang mulia ke maqam yang lebih mulia. Tsumma dana fatadalla fakaana
qooba qawsaini aw adna.
Sebagai contoh, ada yang dinamakan maqam taubat . Taubat merupakan sebuah tahapan.
Untuk sampai pada maqam ini tidak sekedar mengucapkan astaghfirullah saja, tetapi
seorang pesuluk harus meninggalkan segala bentuk dosa dan kemaksiatan. Juga berada pada
maqam ini perlu beberapa waktu dalam keadaan tidak bebrbuat dosa dan kemaksiatan.
Bertaubat sejenak atau beberapa saat saja, misalnya menyesali dosa dan kemaksiatan dan
bertekad untuk tidak mengulanginya lagi pada malam al qadar, lalu hari esoknya itu kembali
berbuat dosa, hal demikian tidak menjadikan dia masuk ke maqam taubat.. Maqam taubat di
sini adalah menjaga diri dari berbuat dosa setelah menyesalai dan meninggalkannya untuk
sekian waktu. Untuk berapa lama ? Saya tidak paham.
Kemudian setelah dia istiqomah dalam taubat, Allah swt. mempersipkan baginya untuk menaik
ke maqam berikutnya, maqam wara misalnya. Pada maqam ini juga dia harus
istiqomah dengan wara' untuk tempo tertentu.. Tidak sehari atau dua hari
tentunya. Setelah itu, Allah mempersiapkan ke maqam berikutnya, maqam az-Zuhud,
misalnya dan seterusnya.
Jadi dalam perpindahan dari satu maqam atau tahapan ke tahapan yang lain itu perlu
waktu, tidak sebentar, karena yang penting yang penting dalam bersuluk adalah istiqamah.
Di sini saya tertarik dengan ungkapan dalam buku ini ( Manaazil al Saairin -ed),
sehingga Allah mempersiapkan . Allah swt. yang mempersiapkan. Bukan si
pesuluk atau siapapun, tetapi Allah yang mempersiapkan. Allah yang mengangkat dia ke maqam
berikutnya. Allah yang memberi satu maqam kepadanya bukan dia yang mencari maqam. Jadi
perpindahan dari satu maqam ke maqam yang lain, secara otomatis atau, sifatnya alami. Oleh
karena itu, tidak mungkin seseorang langsung ke maqam wara sebelum melewati
maqam taubat. Tadi saya katakan, " Allah yang mempersiapkan bukan siapapun
selainnya ". Jadi yang menentukan dia pindah ke maqam wara, siapa yang
menentukan ? Allah SWT. Bukan si pesuluk tapi Allah Taala yang menentukan. Itulah
artinya maqam-maqam atau jenjang-jenjang spiritual.
Adapun ahwal atau hal-hal adalah hembusan-hembusan spiritual yang dihirup oleh
seorang pesuluk, sehingga jiwa si pesuluk mendapatkan kesegaran ketika menghirup
hembusan-hembusan spritual Ilahi (nasamaat ruhiyyah) tersebut. Hembusan ini tidak
lama. Ia akan berlalu dan pergi hilang. Jiwa pesuluk terus mendambakan kembalinya hembusan
Ilahi. Ahwal sifatnya sementara dan sejenak. Salah satu bentuk ahwal ialah, apa
yang mereka sebut, Al-Unus billah. Unus itu artinya perasaan
asyik, artinya ber-asyik-ma'syuk dengan Allah swt. Misalnya, ketika dia shalat, dia
merasakan kenikmatan shalat. Dalam berdoa merasa kenikmatan.. Mungkin kita pun pernah
mengalami hal demikian, tentu dengan kadar yang berbeda, meskipun kita belum bersuluk.
Allah kadang-kadang memberi kepada kita hembusanNya sehingga kita menikmati ibadah dengan
khusyu, senang, namun hilang lagi. Untuk mencoba seperti itu lagi tidak bisa. Imam Ali as.
pernah mengatakan, Ketahuilah bahwa Allah mempunyai hembusan di
hari-harimu. Artinya di hari-hari kita ini, Allah memberikan hembusan kepada
kita.
Contoh lain dari ahwal adalah mukasyafah atau kasyaf. Sewaktu-waktu
Allah bukakan kepada seorang pesuluk tabir sehingga dia mengetahui haqiqat segala
sesuatu. Penglihatannya menembus dimensi-dimensi materi. Mukasyafah juga sifatnya
insidental, sejenak dan temporer. Ahwal tidak dicari tapi Allah yang memberinya
kepada seorang pesuluk dan tidak datang sekehendak pesuluk.
Al-Junaid, salah seorang arif mengatakan, Hal adalah datang ke hati
tapi tidak kekal, ia akan hilang. Sebentar ia datang kemudian hilang lagi. Ahwal
ini datang kepada seseorang yang sedang mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Abu Nashr Al-Thusi menjelaskan bahwa maqaamaat ruuhiyyah, seperti, wara,
zuhud, faqr, sabar, ridha, tawakal dan yang lainnya adalah jenjang-jenjang pesuluk.
Kemudian dia meneruskan, "Adapun ahwal adalah sesuatu yang datang ke dalam
hati karena kesucian zikir dan tidak lama, sebentar saja. Hal diperoleh bukan
melalui mujahadah atau ibadah. Tidak seperti maqam yang diperoleh dengan mujahadah.
Hal datang secara tiba-tiba. Tiba-tiba seorang pesuluk merindukan Allah, menangis, khusyu,
musyahadah.
Maqam Yaqadzah
Urafa mengatakan bahwa maqam pertama adalah yaqazhah, kesadaran, bangun atau
keterjagaan. Jadi maqam pertama adalah yaqazhah, sadar atau dia jaga, tidak lengah.
Yaqazhah lawan dari ghaflah (kelengahan) Yaqazhah sadar atau terjaga
dari kelengahan spiritual. Dia sadar bahwa dia itu diciptakan oleh Allah Taala,
bahwa dia di sini untuk menyembah Allah. Ghaflah di sini artinya ghaflah
dari Allah karena hanya memikirkan dunia saja, memikirkan materi sehingga lengah dan lupa
kepada Allah SWT. Ghaflah adalah penyakit ruhani yang besar. Allah berfirman :
Mereka melupakan Allah (mereka ghaflah kepada Allah), maka Allah lupakan mereka.
Seorang ketika lupa kepada Allah, dia berada pada titik bahaya. Sebagai akibatnya, dia
akan melupakan dirinya sendiri dan melupakan segalanya sehingga jauh dari kebenaran.
Itulah ghaflah sebagai lawan dari yaqazhah.
Jadi tahap pertama, yaqazhah artinya bangkit dari tidur, dari kelengahan. Para
urafai mengawali kitab-kitabnya dengan menyebutkan masalah yaqazhah,
masalah kesadaran. Kesadaran atau keterjagaan modal pertama, karena tanpa ini orang tidak
mungkin melanjutkan perjalanan spiritualnya kepada Allah SWT. Perjalanan menuju Allah swt
harus dimulai dengan sadar.. Sekarang bagaimana agar kita ini yaqazhah ? Ada tiga
cara agar kita masuk ke maqam pertama, yaqazhah.
Pertama, memperhatikan atau menyadari nikmat atau kenikmatan-kenikmatan Allah SWT.
Memperhatikan atau menyadari karunia-karunia Allah SWT yang begitu besar dan banyak
sehingga timbul kesadaran bahwa dia tidak mampu mensyukuri karunia-karunia Allah SWT. Dia
sadar bahwa begitu banyak karunia Tuhan dan dia pun sadar bahwa dia tidak mampu mensyukuri
semua kenikmatan dari Allah SWT. Sadar akan ketidak berdayaan mensyukuri nikmat Allah
adalah modal perjalanan menuju Allah Swt.
Allah SWT berfirman : "Kalau kalian menghitung-hitung nikmat Allah, kalian tidak
akan mampu menghitungnya. Seseorang yang akan sampai ke maqam pertama, maqam yaqazhah,
dia harus tahu betapa banyaknya nikmat Tuhan sehingga dia mengakui bahwa dia tidak bisa
mensyukurinya. Kesadaran bahwa dia tidak berdaya dalam mensyukuri nikmat Tuhan itulah cara
yang pertama untuk yaqazhah. Sebaliknya orang yang merasa mampu dan berdaya adalah
awal petaka seorang manusia. Allah berfirman :Sesungguhnya manusia itu akan
berbuat taghut, berbuat zalim, berbuat kesalahan, ketika melihat dirinya cukup.. Saya
hebat, saya mampu ", ketika merasa dirinya cukup dan tidak menyadari karunia-karunia
karunia Allah, maka itulah awal pertama seseorang menjadi zalim, orang yang ghaflah.
Jadi, agar sampai ke maqam yaqazhah seorang pesuluk harus belajar menyadari dan
belajar mengetahui betapa banyaknya karunia Allah SWT. Betapa banyaknya kebaikan Allah
Taala yang diberikan kepada kita. Karunia Allah bermacam-macam, tidak hanya
berbentuk materi. Namun kebanyakan manusia itu mengukur nikmat dengan materi. Dia
bersyukur ketika mendapatkan dapat rezeki, ketika tidak mendapatkan rezeki, tidak
bersyukur. Padahal siapa tahu ketika dia tidak mendapat rezeki, dia malah lebih khusyu
ibadahnya. Kenikmatan Allah sering dianggap hanya berbentuk materi. Kenikmatan yang
berbentuk spiritual tidak dianggap kenikmatan. Kenikmatan dari Allah bisa berbentuk materi
dan non-materi..
Ketika orang ingin sampai ke maqam yaqazhah, harus menyadari bahwa begitu banyak
karunia Allah Taala yang luas. Tidak hanya berbentuk materi tapi juga non materi.
Coba kita bayangkan masalah syukur. Tatkala seseorang bersyukur kepada Allah Taala,
menyadari begitu banyaknya karunia Allah Taala dan dia sadar bahwa dia tidak mampu
menghitungnya, akhirnya bersyukur alhamdulillah. Syukur ini bisa kita ungkapkan
lewat ucapan, dan itu yang minimal, dan bisa juga dengan tindakan..
Kedua, untuk sampai ke maqam yaqazhah adalah mempelajari dosa-dosa,
mempelajari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, dan menyadari tentang bahaya dari dosa.
Artinya mengetahui perbuatan-perbuatan yang tidak baik, apa saja hal-hal yang bisa
memperkeruh hati, apa akibat dari perbuatan. Setiap yang kita lakukan itu ada akibatnya,
apapun juga, kebaikan atau kejahatan. Jadi dosa yang kita kerjakan itu bisa melahirkan
satu akibat.Kita mesti mempelajari dosa-dosa dan apa akibat yang akan muncul dari dosa
tersebut. Dalam doa Kumail ada kalimat : Ya Allah ampunilah dosa-dosa
yang merobek-robek keterjagaan.",Ampunilah dosa-dosa yang menyebabkan turunnya
bala", " Ampunilahdosa-dosa yang menghalangi doa ".
Kita tidak khusyu dalam ibadah, bisa jadi akibat dosa. Orang yang makan khumus dan orang
yang tidak mengeluarkan khumus tidak akan khusyu ibadahnya. Allah akan menarik kekhusyuan
dari orang yang makan khumus atau tidak mengeluarkan khumus. Orang yang tidak shalat apa
akibatnya ?, orang yang tidak zakat apa akibatnya?, orang yang berbuat kemaksiatan apa
akibatnya?. Semua itu mesti dipelajari sehingga timbul yaqadzah. Kemudian setelah
mengetahui dosa-dosa, kita mengencangkan langkah kita untuk meninggalkan dosa. Melepaskan
dari ikatan-ikatan dosa dan minta kepada Allah agar diselamatkan dari dosa. Ini adalah
cara kedua untuk yaqazhah.
Seorang sahabat Nabi saww. bernama Abu Hudzaifah Al-Yamani yang digelari sebagai shahibul
sirr Nabi atau pemilik rahasia Nabi, yang mengetahui rahasia-rahasia Nabi.Dia
mengetahui siapa sahabat-sahabat Nabi yang munafik. Setelah Nabi saww. wafat, salah
seorang sahabat yang terkenal kebesarannya bertanya, Sebutkan, apakah saya termasuk
yang munafik atau tidak?. "Abu Hudzaifah tidak menjawab karena Nabi mewasiatkan
untuk tidak membuka rahasia. Setelah Nabi meninggal, dia pengikut Imam Ali as. yang setia.
Dia mengatakan, dalam riwayat yang populer di kalangan Sunnah dan Syiah, "Saya
bertanya kepada Nabi tentang hal-hal yang tidak baik, tentang dosa-dosa. Aku menanyakan
hal ini kepada Nabi agar aku bisa menghindarinya atau meninggalkannya ".Mempelajari
dosa bukan untuk melakukannya tapi untuk menghindarinya. Hal itu dilakukan agar sampai ke
maqam yaqazhah.
Kemudian cara yang Ketiga, adalah memperhatikan ibadah-ibadah yang sudah kita
lakukan dan ibadah-ibadah yang kita tinggalkan di hari-hari yang lalu. Mengadakan evaluasi
tentang amal ibadah kita. Evaluasi ini dilakukan setiap hari bukan setahun sekali.[]
____________
Ceramah Ustadz Husein Alkaff dalam paket
kajian tentang 'irfan di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad. Ditranskrip oleh: Donny
Somadijaya, SH. |
|