|
fikih
ahlulbait
|
|
|
|
Secara global, menjalankan praktik-praktik ubudiyah, fiqih dan hukum
Islam, seseorang bisa memilih taqlid atau ijtihad. Taqlid adalah
menjalankan hal-hal tersebut dengan berdasarkan pada fatwa marja.
Ijtihad adalah menjalankan hal-hal tersebut berdasarkan perolehannya
dari sumber-sumber syariat/hukum.
Soal:
Apakah muqolid itu?
Jawab:
Muqolib adalah orang yang bertaqlid.
Soal:
Apakah mujtahid itu?
Jawab:
Mujtahid adalah orang yang berijtihad.
Soal:
Apakah marja itu?
Jawab:
Marja adalah seorang mujtahid yang telah memenuhi syarat-syarat
marjaiyyah.
Soal: Apakah syarat-syarat marjaiyyah?
Jawab:
Syarat-syarat marjaiyyah adalah mujtahid, adil, wara
dalam agama Allah, tidak rakus dengan dunia kedudukan dan harta.
Dalam hadis disebutkan, "Barangsiapa di antara para fuqaha
(mujtahid) terdapat seorang faqih yang mengawasi dirinya, menjaga
agamanya, tidak mengikuti hawa nafsunya dan menaati perintah Allah,
maka orang-orang awam wajib mentaqlidinya." (Tahrir al-Washilah
hal.3 jil.I).
Soal:
Wajibkah orang awam bertaqlid dalam masalah-masalah ubudiyah (fiqih)?
Jawab:
Wajib menurut akal-urfi dan teks syariat.
Soal:
Apakah boleh bertaqlid kepada mujtahid yang berada di luar negeri?
Jawab:
Bertaqlid dalam masalah syariat (fiqih) kepada mujtahid yang
telah memenuhi syarat-syarat marjaiyyah tidak disyaratkan
berada pada suatu negeri dengan muqolidnya.
top
|
|
Soal:
Apakah diperbolehkan ber-taqlid kepada seorang yang bukan
marja dan tidak mempunyai Risalah Amaliah (buku
kumpulan fatwa seorang Mujtahid)?
Jawab:
Jika menurut orang yang ber-taqlid terbukti bahwa dia mujtahid
yang telah memenuhi syarat, maka tidak ada masalah (ber-taqlid
kepadanya).
Soal:
Sebagian orang yang tidak memiliki informasi yang memadai ketika
ditanya tentang siapakah marja-nya? Mereka menjawab,
"Kami tidak tahu." Atau mereka mengatakan, "Marja
kami adalah fulan." Namun mereka tidak merasa perlu
untuk merujuk dan mengamalkan risalah amaliah-nya, bagaimana
hukum perbuatan mereka ?
Jawab: Jika perbuatan-perbuatan mereka sesuai dengan ikhtiat
atau hukum yang sebenarnya (waqi) atau fatwa Mujtahid
yang harus diikuti, maka perbuatan-perbuatan mereka itu sah.
Soal:
Apakah boleh ber-taqlid kepada (Mujtahid) yang telah
wafat secara langsung?
Jawab:
Untuk ber-taqlid kepada Mujtahid yang sudah wafat
secara langsung hendaknya mengikuti (ketentuan) Mujtahid alam
yang masih hidup.
Soal:
Bagaimana caranya memilih marja dan memperoleh fatwanya
?
Jawab:
Memperoleh (bukti) ke-mujtahid-an atau ke-alam-an
marja adalah dengan mengujinya atau dengan memperoleh
informasi yang pasti walaupun dengan berita yang menyebar atau dengan
kemantapan jiwa atau dengan kesaksian dua orang adil dari para ahli
(fiqih). Dan untuk mendapatkan fatwa marja dengan
mendengar (secara langsung) darinya, atau dengan kutipan dari orang
yang adil atau dengan kutipan orang yang perkataannya dapat dipercaya
atau merujuk ke risalah amaliah-nya yang terjamin dari kesalahan.
top
|
|
Taqlid dan Ijtihad (3) |
Soal:
Apakah boleh berpindah dari Mujtahid Alam (lebih alim)
dalam masalah-masalah kontemporer karena dia tidak dapat (mempunyai)
fatwa tentangnya dari dalil-dalil yang terperinci ?
Jawab:
Jika mukallaf hendak berhati-hati dalam masalah itu atau
tidak dapat (berhati-hati) dan dia mendapatkan seorang mujtahid
lain yang alam dalam masalah itu, maka dia wajib berpindah
dan ber-taqlid kepadanya.
Soal: Apakah untuk berpindah dari fatwa-fatwa Imam Khomeini
r.a. harus merujuk kepada fatwa mujtahid yang diminta darinya izin
untuk tetap ber-taqlid kepada mujtahid yang telah wafat ?
Ataukah boleh merujuk kepada mujtahid yang lain ?
Jawab:
Berpindah taqlid tidak membutuhkan (meminta) izin, tetapi
boleh pindah kepada mujtahid yang memenuhi syarat-syarat sahnya
taqlid.
Soal:
Orang yang ber-taqlid kepada Imam Khomeini r.a. dan (sampai
sekarang) tetap ber-taqlid kepadanya, apakah diperbolehkan
merujuk kepada selainnya dalam suatu masalah tertentu, seperti tidak
menganggap kota Teheran termasuk kota besar ?*)
Jawab:
Boleh. Akan tetapi, sebaiknya tidak meninggalkan kehati-hatian untuk
tetap ber-taqlid kepada Imam Khomeini, kalau dia melihatnya
lebih alam dari mujtahid-mujtahid yang hidup.
*) Imam Khomeini r.a. membagi kota pada dua kategori : besar
dan tidak besar. Kota besar seperti Teheran, Jakarta, dan lain-lain
mempunyai ketentuan-ketentuan fatwa tersendiri sehubungan dengan
safar.
Soal:
Saya sampai pada usia akil baligh pada saat Imam Khomeini masih
hidup dan saya ber-taqlid kepadanya dalam beberapa masalah.
Namun masalah taqlid bagi saya (waktu itu) belum jelas, maka
apakah kewajiban saya sekarang ?
Jawab:
Jika Anda melakukan perbuatan-perbuatan ritual dan lainnya pada
saat Imam Khomeini hidup itu sesuai dengan fatwa-fatwanya dan ber-taqlid
kepadanya, meskipun pada beberapa masalah saja, maka Anda boleh
tetap bertaqlid kepadanya dalam semua masalah.
top
|
|
Soal:
Apakah keyakinan terhadap prinsip wilayat al-faqih, baik
dari sisi konseptual maupun aktual, merupakan masalah rasional (aqli)
ataukah masalah tekstual (syari)?
Jawab: Sesungguhnya wilayat al-faqih yang berarti
kekuasaan seorang faqih yang adil dan mumpuni (handal) dalam
masalah agama adalah masalah syari taabudi yang
didukung oleh akal.
Soal: Apakah hukum syariat itu bisa berubah dan invalid (tidak
berlaku) jika wali al-faqih memberikan keputusan yang bertentangan
dengan (hukum syariat) karena tuntutan kemaslahatan umum Islam dan
kaum Muslimin ?
Jawab: Tergantung situasi yang beragam.
Soal: Apakah orang yang tidak meyakini wilayat al-faqih
yang mutlak dianggap Muslim ?
Jawab: Tidak meyakini wilayat al-faqih yang mutlak
karena hasil ijtihad ataupun karena taqlid, pada masa ghaibnya Imam
Al-Mahdi (nyawa kami adalah tebusannya), tidak menyebabkan murtad
dan keluar dari Islam.
Soal: Apakah wali al-faqih memiliki wilayah takwiniyyah
yang dengannya dia dapat menghapus hukum-hukum agama karena adanya
maslahat umum ?
Jawab: Sepeninggal Rasulullah Saww tidak boleh menghapus
hukum-hukum syariat Islam. Adapun perubahan obyek hukum atau adanya
darurat ataupun adanya kendala yang temporer untuk melaksanakan
hukum, maka itu bukan penghapusan hukum. Wilayah takwiniyyah, menurut
pendapat yang meyakininya, khusus untuk Para Mashumin
as.
Soal: Apa sikap kita terhadap orang-orang yang tidak meyakini
otoritas seorang faqih yang adil kecuali dalam urusan-urusan
yang hasbiyah * saja ? Perlu diketahui bahwa wakil-wakil
mereka menyebarkan hal itu.
Jawab: Otoritas (Wilayah) faqih dalam memimpin masyarakat
dan mengatur urusan-urusan sosial di setiap zaman merupakan rukun
mazhab Syiah Itsna Asyariyyah. Masalah ini mempunyai
akar dalam prinsip Imamah. Jika seseorang mempunyai dalil untuk
tidak meyakininya, maka dia madzur (beralasan), tetapi
dia tidak boleh menyebarkan perpecahan dan perselisihan.
*) Urusan-urusan Hasbiyah adalah urusan-urusan kifayah yang
harus dijalankan dan memerlukan izin hakim (penguasa) syari
selain amar makruf nahi munkar (Al-Ishtilahat fi Rasail Amaliyyah,
hal.42).
top
|
|
Macam-macam Air:
- Air
Mutlak
- Air Mudhaf
- Air Mutanajjis
Air
mutlak adalah air yang suci dan menyucikan hadats dan khobats (kotoran
manusia dan air kencing) seperti air mengalir, sumber air, air sumur,
air hujan, dan air yang diam (Ada dua macam air diam yakni air yang
banyak dan air yang sedikit. Air yang banyak adalah air yang mencapai
satu kurr *).
Air mudhaf adalah air yang suci tetapi tidak menyucikan hadats dan
khobats (kotoran) seperti air buah-buahan (air jeruk, air anggur,
air delima dll.), atau air yang telah dicampur dengan zat lain seperti
air gula, air garam, air kopi, air bunga mawar dll.
Air mutanajjis adalah air mutlak yang bersentuhan dengan benda-benda
najis seperti, kotoran, kencing, darah dan lain-lain sehingga tidak
suci dan menyucikan. Air mutlak yang sedikit ketika bersentuhan
dengan benda najis, maka berubah menjadi mutanajjis, sekalipun tidak
berubah salah satu sifatnya, yakni warna, bau dan rasanya. Sedangkan
air mutlak yang banyak akan berubah menjadi mutanajjis jika bersentuhan
dengan benda najis dan berubah salah satu sifatnya (baunya, rasanya,
atau warnanya).
Demikian pula air mutlak lainnya (air yang mengalir, sumber air,
air sumur dan air hujan) akan menjadi mutanajjis jika bersentuhan
dengan benda najis dan berubah salah satu sifatnya.
Air diam yang bersambung dengan air yang mengalir dihukumi sama
dengan air yang mengalir dalam arti air itu tidak menjadi mutanajjis
jika bersentuhan dengan benda najis kecuali jika berubah salah satu
sifatnya.
Yang dimaksud dengan air hujan di atas adalah air yang tengah turun
dari langit atau yang terkumpul darinya di saat hujan turun.
Air musta'mal (air yang sudah terpakai) untuk wudhu' masih suci
dan menyucikan demikian pula yang musta'mal dari hadas besar (mandi
wajib) suci dan menyucikan dari hadats dan khobats. Air musta'mal
untuk khobats disebut "ghasalah" dan hukumnya mutanajjis.
catatan:
1 kurr kira-kira 374 liter. Kalau menggunakan jengkal tangan [normal]
kira-kira panjang tiga setengah, lebar tiga setengah, dalam tiga
setengan. [jengkal]
top
|
|
A. Takhalli (Buang Hajat)
1. Menutup aurat dari
pandangan manusia baik laki-laki maupun wanita, dewasa maupun anak-anak
dan orang gila yang mumayyiz*. Diharamkan melihat aurat orang
lain, sekalipun orang gila dan anak kecil yang mumayyiz, kecuali
anak kecil yang belum mumayyiz dan antara suami istri. Yang dimaksud
dengan aurat di sini adalah : bagi wanita, aurat depan dan aurat
belakang; dan bagi laki-laki, selain dua aurat itu, juga kedua buah
pelir. Tidak diperbolehkan melihat aurat orang lain meskipun dari
belakang cermin, kaca, dan air bening, kecuali dalam keadaan darurat
(terpaksa) seperti operasi.
2. Tidak menghadap atau membelakangi kiblat dengan dada atau perutnya.
B.
Istinja' (Membersihkan aurat dari najis [khobats])
1. Zakar (tempat keluar
air kencing) wajib dibasuh dengan air. Meskipun sekali saja dan
tidak cukup dengan selain air.
2. Tempat keluar air besar dapat disiram dengan air ataupun diusap
dengan benda yang dapat menghilangkan najis seperti batu, tanah
keras dan lain-lain. Tetapi lebih afdhal disiram dengan air dengan
keduanya lebih sempurna. Untuk membersihkan tempat keluar air besar
tidak disyaratkan tiga kali siraman atau usapan. Yang penting, tempat
itu bersih dan suci. Jika disiram dengan air, maka harus hilang
najis dan sisanya (yakni bagian-bagian kecil yang tidak terlihat).
Tetapi jika diusap, maka cukup dengan hilangnya najis.
C. Istibra' (Membersihkan
sisa-sisa air kencing di dalam zakar)
Istibra'dilakukan
dengan cara:
1. Mengusap dengan kuat antara lubang anus dan zakar sebanyak tiga
kali;
2. Meletakkan telunjuk di bawah batang zakar dan ibu jari di atas
batang zakar dan lalu mengusapkannya dengan tekanan hingga ujung
zakar sebanyak tiga kali;
3. Menekan ujung zakar [kepala zakar] tiga kali.
Jika setelah istibra' keluar cairan yang meragukan apakah air kencing
atau bukan maka dianggap suci dan tidak membatalkan wudhu tetapi
jika tidak istibra', maka dihukumi najis dan membatalkan wudhu'.
Catatan:
* Mumayyiz ialah batas kemampuan anak kecil mengetahui yang baik
dan yang buruk.
top
|
|
Wudhu'
terdiri dari :
1. Tiga basuhan yakni wajah, tangan
kanan, dan tangan kiri.
2. Tiga usapan yakni kepala bagian depan [sekitar kepala bagian
atas], kaki kanan dan kaki kiri.
Keterangan :
1. Basuhan wajah
Kadar yang wajib :
- Garis vertikal, dari tempat tumbuhnya rambut sampai ke dagu.
- Garis horizontal, lebar wajah yang tercakup oleh ibu jari dan
jari tengah.
2. Basuhan tangan
Tangan kanan dan tangan kiri, mulai dari siku hingga ujung kari.
Selesai membasuh tangan kiri tidak boleh menyentuh air lagi (mengambil
air baru).
3. Mengusap kepala
Dengan sisa air yang berada di tangan kita mengusap kepala bagian
depan, kulit atau rambutnya.
4. Mengusap kaki
Mulai dari ujung jari kaki sampai kepada sesuatu yang menonjol pada
bagian atas kaki (tempatnya lurus dengan ibu jari kaki. Tapi yang
afdhal pengusapan tadi dilanjutkan hingga pergelangan kaki. [Dari
sisi lebar cukup selebar satu jari, meskipun lebih baik seluruh
bagian kaki terusap.
PERLU PERHATIAN!
1. Basuhan
a. Ketika membasuh, basuhan harus dari atas ke bawah dan tidak boleh
dikembalikan [maksudnya, bolak-balik].
b. Dalam membasuh, basuhan pertama wajib, basuhan kedua sunnah,
dan basuhan ketiga haram.
c. Dalam membasuh harus dilebihkan dari kadar yang wajib agar kita
yakin bahwa kadar wajib benar-benar sudah terbasuh.
2. Usapan
a. Anggota yang diusap harus kering. Tolok ukur kering adalah apabila
kita sentuh bagian tersebut tidak basah yang akan berpindah ke tangan
kita.
b. Untuk mengusap kepala dan kaki diperbolehkan mengambil sisa air
yang berada di anggota wudhu' kita. Hal tersebut jika sisa air yang
berada di telapak tangan kita sudah kering [Apabila kita belum mengusap
kepala dan kaki namun seluruh anggota wudhu' yang lain sudah kering,
maka kita harus mengulangi lagi wudhu' dari permulaan].
Syarat-Syarat
Sahnya Wudhu':
1. Air yang dipergunakan untuk berwudhu'
harus suci dan mutlak (tidak mudhaf) [Lihat buletin Al-Jawad nomor
7 yang membahas masalah air].
2. Air tersebut harus mubah (halal)
3. Tempat air harus mubah
4. Tempat air tidak terbuat dari emas dan perak
5. Anggota wudhu' wajib suci
6. Ada kesempatan untuk berwudhu' dengan cukupnya waktu
7. Berwudhu' harus dengan niat qurbah (mendekatkan diri) kepada
Allah
8. Pelaksanan wudhu' harus tertib atau berurutan dan berkesinambungan
(tidak terputus)
9. Dilakukan sendiri jika mampu
10. Penggunaan air tidak membahayakan
11. Tidak ada penghalang yang bisa menghalangi sampainya air kepada
anggota wudhu'
12. Ruang yang diperlukan untuk berwudhu' harus mubah.
top
|
|
1. Keluarnya air kencing dan sesuatu yang dihukumi air kencing seperti
cairan (yang belum jelas) setelah kencing dan sebelum istibra'
(tentang istibra' lihat buletin Al-Jawad nomor 7).
2. Keluarnya tinja, baik dari tempatnya yang tabi'i atau yang lain,
banyak ataupun sedikit.
3. Keluarnya angin dari dubur, baik bersuara maupun tidak.
4. Tidur yang mengalahkan indera pendengar dan indera penglihat
(hilang kesadaran).
5. Segala sesuatu yang menghilangkan kesadaran seperti gila, pingsan,
mabuk, dan lain-lainnya.
6. Istihadhah kecil dan sedang (bagi wanita).
Catatan :
Seseorang yang mengidap penyakit beser (maslun) dan sering
kentut (mabthun) maka :
1. Jika dia mempunyai waktu yang cukup untuk bersuci dan shalat,
maka wajib menanti waktu tersebut dan mendirikan shalat pada waktu
tersebut.
2. Jika dia tidak mempunyai waktu untuk bersuci dan shalat, dan
setiap shalat keluar hadats, sekali atau dua kali atau tiga kali
tetapi dia dapat wudhu' dan melanjutkan shalat, maka setiap kali
hadats hendaknya dia segera berwudhu' dan melanjutkan shalatnya.
3. Jika dia tidak dapat melakukan (seperti yang kedua), karena terus
menerus kencing dan kentut, maka hendaknya berwudhu' setiap akan
shalat.
4. Orang yang beser wajib menjaga kencingnya agar tidak menyebar
dengan mengenakan kantong yang mengandung busa/kapas.
5. Orang yang mengidap beser dan sering kentut tidak wajib meng-qodlo
shalat yang dilakukannya setelah sembuh. Kecuali kalau dia sembuh
sementara waktu shalat masih ada, maka dia wajib mengulanginya.
top
|
|
1. Anggota wudhu yang dibasuh (muka dan tangan)
a. Jabirah yang menutupi muka atau tangan jika dapat dilepaskan,
maka hendaknya dilepaskan; dan
b. Jika tidak dapat dilepaskan, dan dapat menyentuhkan air ke bagian
bawah jabirah, maka menyentuhkan air ke bagian bawah jabirah, harus
dilakukan, kalau tidak dapat menyentuhkan air, maka cukup mengusap
di atas jabirah saja.
2. Anggota wudhu yang diusap (kepala dan kaki)
a. Jika jabirah itu dapat dilepaskan, maka wajib dilepaskan dan
mengusap kepala atau kaki dengan air.
b. Jika tidak dapat dilepaskan, maka cukup dengan mengusapkan [air]
di atas jabirah.
3. Balutan yang menutup kulit yang sehat yang berada di sekitar
luka. Jika tertutupi dengan jabirah, dihukumi sama dengan yang terluka.
Tetapi jika jabirah itu menutupi kulit sehat yang bukan berada di
sekitar luka, maka wajib dilepaskan dan lalu membasuh atau mengusapnya.
Dan jika tidak bisa dilepaskan, maka ihtiyath (hati-hati) berwudhu
juga bertayammum.
4. Jika jabirah itu najis, maka hendaknya meletakkan kain di atasnya
dan lalu mengusapnya.
5. Luka yang terbuka yang tidak bisa dibasuh cukup dengan membasuh
di sekitarnya, tetapi lebih hati-hati di samping itu, juga meletakkan
kain di atasnya, lalu mengusapnya.
top
|
|
Sebab-sebab
Mandi Junub
- 1.
Keluarnya mani dan cairan yang dihukumi mani, seperti cairan yang
meragukan sebelum istibra'. Ciri-ciri mani adalah cairannya keluar
memuncrat dengan syahwat dan setelah itu badan menjadi lemas,
kecuali bagi orang yang sakit dan wanita cukup dengan adanya syahwat
atau orgasme.
- 2.
Jima' (bersebadan), sekalipun tidak ejakulasi. Jima' terjadi dengan
masuknya bagian atas zakar (hasyafah) ke dalam vagina
atau anus.
Hukum-hukum
Junub
- Perkara-perkara
yang kesahannya tergantung pada mandi junub :
- 1.
Shalat dengan semua macamnya kecuali shalat jenazah
- 2.
Thawaf
- 3.
Puasa Ramadhan dan puasa qadha Ramadhan artinya seorang yang dengan
sengaja menunda mandi sampai waktu subuh, maka puasanya batal.
-
- Perkara-perkara
yang diharamkan bagi orang yang junub :
-
- 1.
Menyentuh tulisan Alquran, nama Allah, Sifat-sifat dan Asma-Nya,
juga nama para nabi dan para imam.
- 2.
Masuk ke dalam Masjid Al-Haram ( di Mekah dan Madinah)
- 3.
Menetap di dalam masjid
- 4.
Meletakkan sesuatu di dalam masjid sekalipun dari luar atau sambil
lewat.
- 5.
Membaca surat-surat 'azhimah yakni surat Al-'Alaq, An-Najm, As-Sajdah,
dan Fushilat.
-
- Perkara-perkara
yang dimakruhkan bagi yang junub :
- 1.
Makan
- 2.
Minum
- 3.
Membaca lebih dari tujuh ayat selain dari surat-surat 'azhimah
- 4.
Menyentuh kulit dan kertas Alquran
- 5.
Tidur
- 6.
Memakai daun pacar
- 7.
Berjima'
- 8.
Membawa mushhaf.
top
|
|
- Cara-cara
Mandi Junub
- 1.
Niat. Dalam niat harus ikhlas
-
- 2.
Membasuh permukaan kulit.
- -
Jika ada penghalang sampainya air ke kulit maka wajib dihilangkan
dan jika seseorang mempunyai rambut atau bulu yang tebal, maka
wajib memasukkan jari-jarinya ke tengah rambut /bulu sehingga
air sampai ke kulit.
- -
Tidak diharuskan membasuh bagian dalam mata, hidung, telinga dan
lainnya.
-
- 3.
Tertib bagi yang mandi tartibi (yakni membasuh seluruh kepala,
termasuk leher. Kemudian membasuh/menyiram badan sebelah kanan
termasuk leher dan membasuh/menyiram badan sebelah kiri termasuk
leher juga.
- -
Kemaluan dan pusar masuk kepada dua bagian badan (kanan dan kiri)
- -
Setelah tertib dilakukan sebaiknya membasuh/menyiram seluruh tubuh
sekaligus.
-
- Syarat-syarat
Mandi Junub
- 1.
Air yang mutlak (suci dan menyucikan)
- 2.
Air yang mubah (bukan air milik orang lain atau tanpa seizin pemiliknya)
- 3.
Mandi sendiri (tidak dimandikan orang lain) kecuali bagi yang
tidak mampu.
- 4.
Tidak ada yang menghalangi penggunaan air, seperti sakit.
- 5.
Tempat air yang suci.
- -
Setelah mandi wajib tidak diwajibkan wudhu untuk shalat
- -
Jika di tengah mandi wajib, keluar angin, sah mandinya, tetapi
wajib wudhu untuk shalat.
- -
Jika seorang yang junub shalat lalu ragu-ragu apakah sebelum shalat,
mandi atau tidak, maka shalatnya dianggap sah. Tetapi untuk shalat
berikutnya harus mandi lagi.
- -
Jika banyak penyebab mandi baik mandi wajib ataupun sunnah, maka
cukup mandi sekali saja untuk seluruhnya.
top
|
|
Pertama,
untuk sahnya perbuatan seperti shalat dan bagian-bagiannya yang tertinggal
karena lupa (kecuali shalat jenazah), thawaf, dan puasa di bulan Ramadhan
dan puasa Qadha.
Kedua,
untuk diperbolehkannya atau tidak diharamkannya melakukan sebuah
perbuatan seperti menyentuh nama (isim) Allah dan sifat-sifat-Nya
yang tertentu, menyentuh nama para Nabi as. dan para Imam as., masuk
ke dalam Mesjid Haram (di Mekah dan Madinah), menetap di mesjid-mesjid,
meletakkan sesuatu di dalam mesjid, dan membaca surat-surat 'Azhimah
(yaitu surat yang mengandung ayat sajdah seperti surat An-Najm,
Fushshilat, As-Sajdah dan Al-'Alaq).
- Catatan-catatan
:
- 1.
Jika ragu-ragu tentang bagian dari anggota-anggota mandi setelah
melakukannya, seperti jika seseorang ragu-ragu tentang kesahan
badan sebelah kanan setelah ia membasuhnya, maka anggaplah sah.
- 2.
Jika seseorang berhadas kecil (seperti kentut, kencing, buang
air) di tengah-tengah mandi, maka teruskanlah mandinya dan setelah
mandi hendaknya wudhu.
- 3.
Jika seorang yang sedang junub melaksanakan shalat, kemudian ragu-ragu
apakah dia sudah mandi atau belum, maka anggaplah shalatnya sah
dan hendaknya mandi untuk melakukan shalat-shalat berikutnya.
Tetapi jika keraguan itu muncul di tengah-tengah shalat, maka
shalatnya batal dan wajib baginya mengulangi shalat setelah mandi.
- 4.
Segala jenis mandi tidak bisa menggantikan wudhu kecuali mandi
junub.
- 5.
Seorang yang pada badannya terdapat jabirah (luka yang dibalut
/ diperban) kemudian dia berhadas besar (seperti junub), maka
hendaknya dia mengusapkan air ke atas jabirah itu dan membasuh
anggota badan yang sehat dan hendaknya mandi secara tartibi, bukan
irtimasy (lihat buletin Al-Jawad No.12 Tahun I).
top
|
|
Seorang yang telah tampak padanya tanda-tanda mati (sekarat) diwajibkan
menunaikan hak-hak Allah seperti shalat, puasa, dan lain-lain serta
hak-hak manusia seperti melunaskan utang dan mengembalikan amanat
kepada para pemiliknya. Jika dia tidak dapat menjalankan kewajiban-kewajiban
itu, maka dia wajib memberikan wasiat.
Hukum Mayat :
1. Di saat sakratul maut
Di saat seorang sedang sakratul maut diwajibkan dipalingkan ke arah
kiblat, dengan cara terlentang di atas punggungnya yang jika dia
duduk maka posisinya menghadap kiblat. Memalingkan mayat ke arah
kiblat hukumnya fardhu kifayah.
2. Memandikan mayat
- Memandikan mayat hukumnya fardhu kifayah (mayat anak-anak atau
dewasa) kecuali :
a. Bayi keguguran yang belum berusia empat bulan. Bayi ini tidak
wajib dimandikan tetapi cukup dibalut dengan kain lalu dikuburkan.
Adapun jika sudah berusia empat bulan maka mayat bayi dimandikan,
dikafani, dan dikuburkan. b. Seorang syahid yang dibunuh demi membela
Islam, tidak wajib dimandikan dan tidak wajib dikafani. Dia cukup
dikuburkan dengan bajunya. Gugurnya kewajiban mandi dan kafan bila
seorang syahid mati di tengah berkecamuknya perang.
Syarat-syarat Orang yang Memandikan
1. Baligh
2. Berakal
3. Beriman
4. Sesama jenis kelamin antara yang memandikan dengan yang dimandikan
kecuali :
a. Anak kecil yang usianya belum lebih dari tiga
tahun.
b. Suami isteri. Masing-masing boleh memandikan
yang lain.
c. Mahram. Jika tidak ada orang yang sejenis
kelamin dengan mayat, maka saudara mahramnya
boleh memandikannya.
top
|
|
- Cara Memandikan
Mayat
- 1.
Menghilangkan benda-benda najis dari badan mayat.
- 2.
Dimandikan tiga kali : pertama, dimadikan dengan air yang
dicampuri daun bidara (sidr), kemudian dimandikan dengan
air yang dicampuri kapur barus dan terakhir dimandikan dengan
air murni.
Adapun
cara memandikannya dengan tiga macam air tersebut sama dengan cara
mandi junub, yaitu terlebih dahulu membasuh kepala dan lehernya,
kemudian membasuh badan sebelah kanan (yakni badan bagian kanan
dari pusar ke samping kanan dan dari leher sampai ke kaki) dan membasuh
badan sebelah kiri.
Beberapa
Masalah Yang Berkaitan Dengan Memandikan Mayat.
1.
Jika kesulitan (berhalangan) mendapatkan daun bidara atau kapur
barus atau keduanya, maka ada beberapa gambaran. Pertama,
[bila] yang tidak ada adalah daun bidara, maka dimandikan dengan
air murni sebagai ganti air yang dicampuri daun bidara, kemudian
dimandikan dengan air yang dicampuri kapur barus dan dimandikan
dengan air murni. Kedua, [bila] yang tidak ada adalah kapur
barus, maka dimandikan dengan air yang dicampuri daun bidara, kemudian
dengan air murni sebagai ganti air yang dicampuri dengan kapur barus
dan dimandikan dengan air murni. Ketiga, [bila] yang tidak
ada adalah keduanya ( daun bidara dan kapur barus), maka dimandikan
tiga kali dengan air murni semuanya.
2.
Jika tidak ada air untuk memandikan mayat, maka ditayammumi sebanyak
tiga kali sebagai ganti ketiga mandi tersebut. Mayat yang terluka
atau terbakar boleh ditayammumi jika memandikannya akan menyebabkan
kulitnya terkelupas.
3.
Jika tidak terdapat air yang cukup kecuali untuk satu kali mandi
saja, maka jika yang ada adalah daun bidara, maka dimandikan dengan
air yang dicampuri daun bidara, kemudian ditayammumi dua kali sebagai
ganti mandi dengan air campuran kapur barus dan mandi dengan air
murni. Dan jika daun bidara tidak ada, maka dimandikan dengan air
murni sebagai ganti air yang dicampur dengan daun bidara, dan kemudian
ditayammumi dua kali sebagai ganti air campuran kapur barus dan
air murni.
4.
Jika tidak terdapat air yang cukup kecuali untuk dua kali mandi
saja, maka ada beberapa gambaran.
Pertama,
jika yang ada adalah daun bidara saja, maka dimandikan dengan air
daun bidara kemudian dengan air murni sebagai ganti air campuran
kapur barus kemudian ditayammumi sebagai ganti air murni. Kedua,
Jika yang ada adalah kapur barus saja, maka dimandikan dengan air
murni sebagai ganti air campuran daun bidara, kemudian dimandikan
dengan air kapur barus kemudian ditayammumi sebagai ganti mandi
dengan air murni. Ketiga, Jika daun bidara dan kapur barus
ada, maka dimandikan dengan air yang dicampur daun bidara dan air
yang dicampur kapur barus kemudian ditayammumi sebagai ganti mandi
dengan air murni.
top
|
|
1. Cara Mengkafani
Mayat : Mengkafani mayat hukumnya fardhu kifayah dan kafan harus
terdiri dari tiga helai kain ; mi'zar ( kain yang menutupi antara
pusar dan lutut), qomish ( kain yang menutupi antara dua bahu sampai
betis ) dan izar ( kain yang menutupi seluruh badan ).
2. Syarat-syarat kain kafan : a. Kain yang mubah ( tidak boleh menggunakan
kain milik orang lain kecuali kalau diizinkan), b. Kain yang suci
( tidak boleh menggunakan kain yang terkena najis atau terbuat dari
barang najis, seperti kulit bangkai ), c. Kain kafan tidak terbuat
dari sutra, walaupun mayat itu wanita atau anak kecil, d. Kain kafan
tidak terbuat kulit binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya.
Tahnith Mayat
Men-tahnith mayat hukumnya fardhu kifayah, baik mayat itu anak kecil
atau besar. Tahnith mayat dilakukan setelah memandikan.
Tahnith adalah mengusapkan kapur barus di tujuh anggota sujud (
dahi, perut kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua ibu jari
telapak kaki ).
Menshalati Mayat
Menshalati mayat muslim hukumnya fardhu kifayah dan tidak boleh
menshalati mayat kafir.
a. Cara Shalat Mayat adalah setelah niat bertakbir lima kali; setelah
takbir pertama mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah takbir
kedua membaca shalawat. Setelah takbir ketiga mendoakan kaum muslimin
dan muslimat, dan mukminin dan mukminat. Setelah takbir keempat
mendoakan mayat dan kemudian takbir kelima sebagai penutup shalat.
b. Dalam pelaksanaan shalat mayat tidak ada azan, iqamat, ruku',
sujud, tasyahhud dan salam.
Syarat-syarat Shalat Mayat.
1. Niat.
2. Menentukan mayat yang akan dishalati, misalnya shalat mayat ini.
3. Menghadap kiblat.
4. Shalat sambil berdiri
5. Meletakan mayat didepan orang yang shalat dengan posisi terlentang
di atas punggungnya dan kepala mayat terletak di sebelah kanan orang
yang shalat.
6. Antara orang yang shalat dengan mayat tidak ada penghalang.
7. Jarak antara orang yang shalat dengan mayat tidak terlalu jauh.
8. Salah satu diantara keduanya tidak lebih tinggi posisinya atau
lebih rendah.
9. Shalat dilakukan setelah memandikan, mengkafani dan men-tahnith.
Dalam pelaksanaan shalat mayat tidak disyaratkan suci dari hadas
(berwudhu).
Menguburkan Mayat
Menguburkan mayat muslim hukumnya fardhu kifayah. Caranya adalah
meletakan badannya di dalam lubang kubur sambil menghadap kiblat
dengan berbaring di atas samping kanan dan kemudian menutupinya
dengan tanah sehingga aman dari binatang buas dan baunya tidak tercium
oleh manusia.
top
|
|
Shalat jenaza
hukumnya wajib kifayah bagi setiap muslim. Apabila telah ada seorang
muslim yang melakukan shalat jenazah untuknya, maka gugurlah kewajiban
itu menshalatinya bagi yang lain. Shalat jenazah harus dilakukan dengan
niat qurbatan ilallah (mendekatkan diri pada Allah).
Tata Cara Shalat Jenazah
Shalat jenazah terdiri dari lima takbir. Pelaksanaannya, setelah takbir
pertama bacalah dua kalimat syahadat. Setelah takbir kedua, bacalah
shalawat kepada Rasulullah Saww. Setelah takbir ketiga bacalah doa
untuk kaum muslimin. Setelah takbir keempat, bacalah doa khusus
untuk jenazah, kemudian bacalah takbir kelima sebagai penutup shalat
jenazah.
Secara ringkas, cara pelaksanaan shalat jenazah tersebut adalah:
Setelah niat dan menentukan (nama dan jenis kelamin) jenazah yang
akan dishalatkannya, maka lakukanlah serangkaian bacaan dan amalan
berikut ini,
Takbir pertama, |
|
(Allah
Mahabesar),aku bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Takbir kedua, |
|
(Allah Mahabesar), ya Allah,
curahkanlah rahmat-Mu kepada Nabi Muhammad Saww. dan keluarga Muhammad.
Takbir Ketiga,
|
|
(Allah Mahabesar), Ya
Allah, ampunilah seluruh dosa dan kesalahan kaum mukmini laki-laki
dan kaum mukmin perempuan.
Takbir Kempat, |
|
(Allah Mahabesar), Ya
Allah, ampunilah seluruh dosa dan kesalahan jenazah ini.
Takbir kelima, "Allahu Akbar" dan selesailah shalat jenazah
tersebut. |
|
|
1. Hukum
menguburkan mayat Muslim adalah wajib kifayah.
Yang dimaksud menguburkan ialah menyembunyikan mayat di dalam lubang
tanah. Oleh karena itu, menyembunyikannya di dalam tumpukan tanah
tidak sah. Lubang kubur itu hendaknya dapat menjaga jasad mayat
dari binatang buas dan baunya tidak menyebar ke luar.
2. Mayat yang mati di lautan, jika tidak bisa diantar ke daratan,
maka setelah dimandikan, dikafani dan dishalati, diletakkan di atas
papan yang dibebani barang yang berat kemudian dibuang ke laut.
3. Posisi mayat ketika dikuburkan menghadap kiblat, yakni membaringkannya
ke sebelah kanan.
4. Biaya penguburan diambil dari uang warisan sebelum dibagikan.
5. Anggota tubuh mayat yang terpisah hendaknya dikuburkan bersama
dalam satu lubang.
6. Jika seseorang mati di dalam sumur dan tidak bisa dikeluarkan,
juga tidak bisa dipalingkan ke kiblat, maka dibiarkan di dalam sumur
saja, lalu sumur itu ditutup sehingga menjadi kuburannya.
7. Menguburkan mayat tidak boleh di tanah milik orang lain.
8. Mayat kafir tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum Muslimin.
Demikian pula tidak boleh menguburkan mayat Muslim di pekuburan
kaum kafir.
Hal-hal yang Disunahkan dalam Penguburan.
1. Kedalaman kuburan sesuai dengan tinggi badan si mayat.
2. Membuat lubang lahad di tanah yang keras (yaitu membuat lubang
seukuran mayat di dinding kuburan yang mengarah ke kiblat) atau
syaq di tanah yang lentur (membuat lubang seukuran mayat di dalam
lubang kuburan).
3. Sebelum dikuburkan di dalam kuburan, mayat laki-laki hendaknya
diletakkan pada arah kakinya, sedangkan mayat perempuan pada arah
kiblat. 4. Hendaknya mayat dikuburkan tidak sekaligus.
5. Ikatan-ikatan kain kafan dilepas setelah diletakkan di dalam
kuburan.
6. Bagian mukanya dibuka dan pipinya menempel ke tanah dan punggungnya
disanggah dengan bantal dari tanah agar tidak terlentang badannya.
7. Orang yang turun ke bawah kuburan hendaknya bersuci, kepalanya
terbuka dan kancingnya terbuka.
8. Selain keluarga yang muhrim hendaknya melemparkan dengan punggung
telapak tangannya.
9. Mentalqininya dengan akidah-akidah yang hak setelah diletakkan
di dalam kuburan dan sebelum diuruk.
10. Meninggikan kuburan setinggi empat jari rapat atau renggang.
11. Mencipratkan air di atas kuburannya dari kepala sampai kaki.
12. Meletakkan tangan di atas kuburan dengan merenggangkan jari-jari
sambil menekan, dan membacakan surah Al-Qadr tujuh kali serta memintakan
ampun untuknya.
top
|
|
|
|
|